Rotating X-Steel Pointer

Rabu, 01 September 2010

Arah Penyempurnaan Keputusan Menteri Dalam Negeri 29 Tahun 2002 Pasca Pemberlakuan PP 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan

Oleh : Daeng M. Nazier

PENDAHULUAN
Tanggal 13 Juni 2005 yang baru lalu, bangsa Indonesia telah menunjukkan komitmennya kembali dalam melanjutkan agenda reformasi di bidang keuangan negara dan daerah, yaitu dengan menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Standar akuntansi pemerintahan menurut Peraturan Pemerintah ini merupakan prinsip-prinsip akuntansi yang harus diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah. Penetapan PP 24/2005 diyakini merupakan salah satu strategi dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance).
Sebagaimana telah kita sadari bersama, upaya-upaya untuk mewujudkan good governance dalam pelaksanaan otonomi daerah telah pula digulirkan, antara lain dengan membangun instrumen peraturan perundang-undangan. Beberapa peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan penyelenggaraan otonomi daerah dan berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah antara lain adalah (1) Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan tiga paket peraturan perundang-perundangan tentang keuangan negara yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang memayungi pengelolaan keuangan negara maupun keuangan daerah. Dalam keseluruhan peraturan perundang-undangan ini, semangat yang mengemuka adalah keinginan dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik, diantaranya adalah keinginan untuk mewujudkan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan.
Demikian pula jauh sebelumnya, perwujudan kepemerintahan yang baik di lingkungan Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota telah diupayakan dengan pemberian dan pelaksanaan otonomi yang luas. Hal ini diwujudkan antara lain dengan diundangkannya dua undang-undang yang masing-masing berkenaan dengan Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota serta Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dalam tataran yang lebih operasional bagi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang 25 Tahun 1999 telah pula diundangkan beberapa Peraturan Pemerintah (PP) yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah antara lain : (a) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan; (b) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah; (c) Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan; dan (d) Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah.
Kemudian selanjutnya untuk kepentingan yang jauh lebih operasional lagi, terutama sebagai penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000, maka telah diupayakan untuk mengembangkan sistem pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan akuntabel, melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Dengan telah diundangkannya PP 24 Tahun 2005, tentunya membawa konsekuensi bagi pengaturan tentang tatacara pengakuan, penilaian dan penyajian laporan keuangan Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota. Makalah ini akan mencoba menjelaskan secara umum mengenai arah penyempurnaan sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBD berdasarkan Kepmendagri 29 Tahun 2002 paska berlakunya PP 24 Tahun 2005. Dua hal utama yang akan kami uraikan dalam makalah ini, pertama akan kami uraikan mengenai arah penyempurnaan yang terkait dengan pengakuan, penilaian dan penyajian laporan keuangan; dan kedua adalah gambaran umum mengenai pengembangan dan penyesuaian sistem akuntansinya.
DESAIN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
Sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Selain itu, melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu kepada Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah.
Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa : kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintahan yang diserahkan; kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; hak untuk mengelola kekayaan caerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan. Dengan pengaturan tersebut, dalam hal ini pada dasarnya Pemerintah menerapkan prinsip "uang mengikuti fungsi".
Di dalam Undang-Undang mengenai Keuangan Negara, terdapat penegasan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan; dan kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari presiden sebagian diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa gubernur/bupati/walikota bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah. Dengan demikian pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah, yaitu dalam Undang-Undang mengenai Pemerintahan Daerah.
Selanjutnya dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah tersebut di atas, Daerah memiliki seperangkat hak dan kewajiban yang secara tegas diamanatkan pada pasal 21 dan 22 UU 32 Tahun 2004. Hak yang dimiliki daerah adalah : (a) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; (b) memilih pimpinan daerah; (c) mengelola aparatur daerah; (d) mengelola kekayaan daerah; (e) memungut pajak daerah dan retribusi daerah; (f) mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah; (g) mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan (h) mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Kemudian dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban antara lain : (a) melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (b) meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat; (c) mengembangkan kehidupan demokrasi; (d) mewujudkan keadilan dan pemerataan; (e) meningkatkan palayanan dasar pendidikan; (f) menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan; (g) menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak; (h) mengembangkan sistem jaminan sosial; (i) menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; (j) mengembangkan sumber daya produktif di daerah; (k) melestarikan lingkungan hidup; (l) mengelola administrasi kependudukan; (m) melestarikan nilai sosial budaya; (n) membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan (o) kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Hak dan kewajiban daerah sebagaimana dimaksud kemudian diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk anggaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah ini hendaknya dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada peraturan perundang-undangan.
Kemudian dalam pasal 167 UU 32 Tahun 2004 ditegaskan, bahwasanya belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. Perlindungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat tersebut diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak, serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Belanja daerah dimaksud harus pula mempertimbangkan analisis standar belanja, standar harga, tolak ukur kinerja, dan standar pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam tataran operasional, maka amanat pengelolaan keuangan daerah dalam UU 32 Tahun 2004 akan dijabarkan lagi ke dalam Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam era pemberlakuan UU 22 Tahun 1999 dan UU 25 Tahun 1999 penjabaran operasionalnya adalah PP 105 Tahun 2000. Kemudian PP 105 Tahun 2000 ini dijabarkan secara lebih operasional ke dalam Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002. Dengan kata lain, agar lebih operasional lagi maka UU 32 Tahun 2004 akan dijabarkan lebih lanjut ke dalam Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri.

POKOK-POKOK PENGATURAN PENGAKUAN, PENILAIAN DAN PELAPORAN BERDASARKAN KEPMENDAGRI 29 TAHUN 2002 VERSUS PP 24 TAHUN 2005
Pokok-pokok pengaturan mengenai pengakuan, penilaian dan pelaporan akuntansi berdasarkan Kepmendagri 29 Tahun 2002 telah diatur dalam lampiran XXIX Kepmendagri dimaksud, yaitu tentang kebijakan akuntansi. Dalam kebijakan akuntansi tersebut pada dasarnya dikemukakan mengenai prinsip-prinsip utama akuntansi pengakuan, penilaian dan pelaporan keuangan pemerintah daerah. Beberapa perbedaan yang terkait dengan pengakuan, penilaian dan pelaporan akuntansi berdasarkan Kepmendagri 29 Tahun 2002 dengan PP 24 Tahun 2005 dapat dikemukakan berikut ini.
Basis Akuntansi
Dalam Kepmendagri 29 Tahun 2002 basis akuntansi yang digunakan adalah basis kas modifikasian. Artinya transaksi dan kejadian diakui atas dasar kas modifikasian, yaitu merupakan kombinasi antara dasar kas dengan dasar akrual. Transaksi penerimaan kas atau pengeluaran kas dibukukan pada saat uang diterima atau dibayar (dasar kas). Pada akhir periode dilakukan penyesuaian untuk mengakui transaksi dan kejadian dalam periode berjalan, meskipun penerimaan atau pengeluaran kas dari transaksi dan kejadian dimaksud belum terealisasikan. Sementara itu, PP 24 Tahun 2005 menggunakan basis kas untuk pengakuan pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam Laporan Realisasi Anggaran, dan basis akrual untuk aset, kewajiban dan ekuitas dana (cash towards accrual).
Basis kas untuk Laporan Realisasi Anggaran berarti bahwa pendapatan diakui pada saat kas diterima di Rekening Kas Umum Daerah atau oleh entitas pelaporan, dan belanja diakui pada saat kas dikeluarkan dari Rekening Kas Umum Daerah atau oleh entitas pelaporan. Basis akrual untuk Neraca berarti bahwa aset, kewajiban dan ekuitas dana diakui dan dicatat pada saat terjadinya transaksi atau pada saat kejadian atau kondisi lingkungan berpengaruh pada keuangan pemerintah tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau dibayar.
Pengakuan Aset Tetap
Dalam Kepmendagri 29 Tahun 2002 aktiva tetap yang diperoleh bukan dari donasi diakui pada akhir periode berdasarkan jumlah belanja modal yang telah diakui pada periode berkenaan. Pada PP 24 Tahun 2005 aset tetap diakui pada saat hak kepemilikan berpindah dan/atau saat diterima.
Depresiasi Aset Tetap
Kepmendagri 29 Tahun 2002 telah mengatur tentang depresiasi aset tetap. Aset daerah berupa aktiva tetap selain tanah yang digunakan untuk operasional secara langsung oleh Pemerintah Daerah didepresiasikan dengan metode garis lurus berdasarkan umur ekonomisnya. Depresiasi atas aktiva tetap dapat digunakan untuk pembentukan dana yang selanjutnya disebut dana depresiasi, guna penggantian aset pada saat akhir masa ekonomis aset bersangkutan. Pengaturan pembentukan dana depresiasi disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah dan ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah. Pengisian Dana Depresiasi bersumber dari kontribusi tahunan penerimaan APBD kecuali dari Dana Alokasi Khusus, Pinjaman Daerah dan Dana Darurat. Penggunaan dana depresiasi dianggarkan pada : (a) kelompok pembiayaan, jenis penerimaan daerah, obyek transfer dari dana depresiasi; dan (b) bagian, kelompok, dan jenis belanja modal.
Dalam PP 24 Tahun 2005, depresiasi digunakan untuk mengakui penurunan nilai aset sehubungan dengan adanya pemakaian, keausan, atau kerusakan, dan tidak ada pembentukan dana depresiasi. Metode penyusutan yang dapat digunakan antara lain adalah metode garis lurus; metode saldo menurun; dan metode unit produksi.
Kewajiban
Hutang (kewajiban) menurut Kepmendagri 29 Tahun 2002 diakui pada akhir periode akuntansi berdasarkan jumlah pembiayaan yang berupa penerimaan hutang PFK dan hutang dalam negeri yang telah diakui dalam periode berjalan. Sementara itu dalam PP 24 Tahun 2005 kewajiban diakui pada saat dana pinjaman diterima dan/atau kewajiban timbul.
Jenis dan cakupan Laporan Keuangan
Pada dasarnya jenis dan cakupan laporan keuangan yang harus disajikan oleh pemerintah daerah berdasarkan Kepmendagri 29 Tahun 2002 dan PP 24 Tahun 2005 tidak berbeda, yaitu masing-masing mengamanatkan 4 (empat) jenis laporan keuangan. Perbedaan diantara keduanya hanyalah berkisar pada istilah yang digunakan, sementara itu substansinya relatif sama.
Menurut Kepmendagri 29 Tahun 2002 keempat jenis laporan tersebut adalah Neraca, Laporan Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Nota Perhitungan APBD. Sementara itu menurut PP 24 Tahun 2005, keempat jenis laporan tersebut adalah Neraca, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Dengan demikian secara istilah yang berbeda adalah Laporan Aliran Kas, dan Nota Perhitungan APBD dalam Kepmendagri 29 Tahun 2002, sementara dalam PP 24 Tahun 2005 diistilahkan Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Penyajian dan Pengungkapan Informasi Keuangan
Terdapat beberapa perbedaan penyajian dan pengungkapan informasi dalam laporan keuangan antara Kepmendagri 29 Tahun 2002 dengan PP 24 Tahun 2005. Perbedaan dimaksud diantaranya adalah berkait dengan istilah akun yang digunakan dan klasifikasinya. Dalam neraca, perbedaan istilah akun yang digunakan mencakup akun-akun aktiva, hutang, dan ekuitas. Kepmendagri 29 Tahun 2002 menggunakan istilah akun “aktiva” sebagai sumber daya ekonomis yang dimiliki atau dikuasai dan dapat diukur dengan satuan uang. Sedangkan berdasar PP 24 Tahun 2004 menggunakan istilah akun “aset”. Demikian pula terdapat perbedaan antara istilah akun “hutang” dengan akun “kewajiban” ketika mendefinisikan kewajiban kepada pihak ketiga sebagai akibat transaksi keuangan masa lalu. Sementara itu tidak terdapat perbedaan istilah akun “ekuitas” ketika mendefinisikan jumlah kekayaan bersih yang merupakan selisih antara jumlah “aktiva” dengan “hutang”. Meskipun terdapat perbedaan istilah akun yang digunakan, namun secara substansial tidaklah terdapat perbedaan yang signifikan.
Dalam Laporan Perhitungan APBD (Laporan Realisasi Anggaran) perbedaan yang muncul terutama berkaitan dengan klasifikasi akun belanja. Dalam Keputusan Kepmendagri 29 Tahun 2002 mengelompokkan belanja menjadi belanja aparatur dan belanja publik. Kelompok belanja aparatur daerah adalah bagian belanja berupa belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat. Sementara itu belanja pelayanan publik adalah bagian belanja berupa belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat. PP 24 Tahun 2005 tidak mengelompokkan atau membedakan antara belanja aparatur daerah dengan belanja pelayanan publik.
Menurut PP 24 Tahun 2005 belanja diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja), organisasi dan fungsi. Klasifikasi ekonomi adalah pengelompokan belanja yang didasarkan pada jenis belanja untuk melaksanakan suatu aktivitas. Klasifikasi ekonomi untuk pemerintah daerah meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah dan bantuan sosial. Klasifikasi menurut organisasi yaitu klasifikasi berdasarkan unit organisasi di pemerintah daerah antara lain belanja Sekretaris Daerah, Dinas, dan Lembaga Teknis Daerah lainnya. Sedangkan klasifikasi fungsi adalah klasifikasi yang didasarkan pada fungsi-fungsi utama pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat seperti fungsi pelayanan umum, ekonomi, kesehatan dan lain-lainnya. Sementara itu menurut Kepmendagri 29 Tahun 2002 klasifikasi belanja telah mengatur klasifikasi secara ekonomi dan organisasi tetapi belum mengatur secara klasifikasi menurut fungsi.
Selanjutnya berdasarkan klasifikasi ekonomi, Kepmendagri 29 Tahun 2002 menggunakan struktur biaya sebagaimana lazimnya digunakan dalam akuntansi biaya, yaitu ada belanja tidak langsung dan belanja langsung dengan menggunakan kelompok belanja administrasi umum; belanja operasi dan pemeliharaan; belanja modal; belanja bagi hasil dan bantuan keuangan; dan belanja tak tersangka. Di lain pihak, PP 24 Tahun 2005 dalam klasifikasi ekonomi mengelompokkannya menjadi kelompok belanja operasi, belanja modal, dan belanja tak terduga.
Dalam Laporan Arus Kas perbedaan terjadi dalam hal pengklasifikasiannya yaitu menurut Kepmendagri 29 Tahun 2002 informasi laporan arus kas dikelompokkan menjadi aktivitas operasi, aktivitas investasi dan aktivitas pembiayaan. Selanjutnya dalam kebijakan akuntansi menurut Kepmendagri dimaksud dijelaskan mengenai pengertian ketiga aktivitas tersebut. Aktivitas operasi adalah penerimaan dan pengeluaran kas yang ditujukan untuk kegiatan operasional dalam suatu periode akuntansi. Aktivitas investasi adalah perolehan atau pelepasan investasi jangka panjang, aktiva tetap, dana cadangan dan aktiva lain-lain. Sedangkan aktivitas pembiayaan adalah penambahan atau pengurangan sumber dana dari hutang dan ekuitas dana. Sementara itu menurut PP 24 Tahun 2005 informasi laporan arus kas dikelompokkan menjadi aktivitas operasi, aktivitas investasi, aktivitas pembiayaan dan aktivitas non anggaran. Dengan demikian, perbedaan yang muncul adalah perbedaan klasifikasinya. Menurut PP 24 Tahun 2005 arus kas dari aktivitas non anggaran mencerminkan penerimaan dan pengeluaran kas bruto yang tidak mempengaruhi anggaran pendapatan, belanja dan pembiayaan pemerintah. Arus kas dari aktivitas non anggaran antara lain Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) dan kiriman uang. PFK menggambarkan kas yang berasal dari jumlah dana yang dipotong dari Surat Perintah Membayar atau diterima secara tunai untuk pihak ketiga misalnya potongan taspen dan askes. Kiriman uang menggambarkan mutasi kas antar rekening kas umum daerah.

GAMBARAN UMUM SISTEM AKUNTANSI BERDASAR KEPMENDAGRI 29/2002
Dalam Kepmendagri 29/2002 guna membangun sistem pertanggungjawaban, secara khusus telah diatur mengenai pembangunan sistem akuntansi keuangan derah melalui penetapan tatausaha keuangan; pembangunan sistem dan prosedur akuntansi; penentuan catatan dan laporan yang dihasilkan; serta penetapan kebijakan akuntansi yang diperlukan dalam menyusun dan menghasilkan laporan keuangan. Laporan keuangan daerah yang dihasilkan pemerintah merupakan “media” perwujudan dan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah.
Upaya perwujudan akuntabilitas melalui instrumen Kepmendagri 29/2002 sesungguhnya dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan amanat Peraturan Pemerintah 105 Tahun 2000, yaitu dalam pasal 35 yang mengamanatkan bahwa “ penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah berpedoman pada standar akuntansi keuangan pemerintah”.
Penyusunan laporan keuangan yang berpedoman pada standar akuntansi keuangan adalah dalam rangka peningkatan kualitas laporan keuangan sehingga laporan keuangan dimaksud dapat meningkat kredibilitasnya dan pada gilirannya akan dapat mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan pemerintah daerah.
Dari gambaran mengenai hakekat standar akuntansi pemerintah yang menjadi pedoman penyusunan dan penyajian laporan keuangan, maka standar akuntansi ini adalah merupakan pedoman yang sangat diperlukan. Namun sayangnya sampai dengan pertengahan tahun 2005, standar dimaksud belum dapat terwujud, hal ini sesungguhnya terjadi antara lain akibat ketidakjelasan mengenai institusi maupun lembaga yang berwenang untuk menerbitkan standar bagi instansi pemerintah. Dengan demikian ketiadaan standar akuntansi pemerintah menjadikan kredibilitas laporan keuangan yang telah disusun oleh Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota pada masa lalu menjadi berkurang. Meskipun mungkin saja penyusunan dan penyajian laporan keuangan telah dilakukan sesuai dengan Kepmendagri 29 Tahun 2002 sekalipun.
Sebagaimana kita ketahui bersama dalam tataran paket undang-undang keuangan negara, terutama Undang-Undang 17 tahun 2003 telah secara tegas mengamanatkan bahwa pertanggungjawaban pelaksanaan APBD berupa laporan keuangan yang terdiri dari Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah.
Selanjutnya dalam undang-undang yang sama diamanatkan pula bahwasanya bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Standar akuntansi pemerintah yang digunakan dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan pemerintah disusun oleh suatu komite standar yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Maksud dan Tujuan Pengembangan Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah
Tujuan pengembangan sistem akuntansi dalam lingkungan pemerintah daerah pada dasarnya adalah dalam rangka mengadministrasikan dan menyusun laporan keuangan. Laporan keuangan disusun dalam rangka menyediakan informasi yang relevan mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi suatu entitas pelaporan baik Satuan Kerja Perangkat Daerah maupun tingkat Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota selama satu periode pelaporan yaitu satu tahun anggaran. Laporan keuangan pemerintah terutama digunakan untuk : (a) dapat membandingkan realisasi pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan dengan anggaran yang telah ditetapkan; (b) menilai kondisi keuangan; (c) mengevaluasi efektivitas dan efisiensi entitas pelaporan, dan (d) membantu menentukan ketaatannya terhadap peraturan perundang-undangan.
Laporan keuangan yang dihasilkan pada dasarnya dapat digunakan pula untuk empat kepentingan, yaitu pertama akuntabilitas, artinya suatu instansi pemerintah seharusnya mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan yang periodik.
Kedua, kepentingan manajerial artinya laporan keuangan yang telah disusun dan disajikan dapat digunakan dalam membantu para pengguna dalam mengevaluasi pelaksanaan kegiatan suatu entitas pelaporan dalam periode pelaporan. Hal ini akan memudahkan fungsi-fungsi perencanaan, pengelolaan dan pengendalian atas seluruh aset, kewajiban, dan ekuitas dana pemerintah bagi kepentingan masyarakat.
Ketiga, kepentingan transparansi artinya kita dapat memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang-undangan.
Sementara itu kepentingan yang keempat adalah kepentingan keseimbangan antargenerasi (intergenerational equity) artinya laporan keuangan dapat membantu para pengguna dalam mengetahui kecukupan penerimaan pemerintah pada periode pelaporan dalam membiayai seluruh pengeluaran yang dialokasikan dan mengetahui pula apakah generasi yang akan datang diasumsikan akan ikut menanggung beban pengeluaran tersebut.
Pembangunan Sistem Akuntansi Berdasarkan Kepmendagri 29/2002 (perspektif normatif)
Satu hal penting lainnya yang harus kota pahami bersama adalah mengenai cara untuk menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas melalui pembangunan sistem akuntansi. Sistem akuntansi pemerintah merupakan serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran dan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan pemerintah. Dengan demikian setiap Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota diharapkan bertanggungjawab untuk mengembangkan suatu sistem akuntansi yang :
1. Mempunyai sistem pengkodean unit organisasi dan klasifikasi buku besar yang seragam.
2. Mempunyai seperangkat buku besar dan buku pembantu yang bisa menyediakan ikhtisar transaksi akuntansi dan identifikasi ke dokumen sumber.
3. Mencatat transaksi/kejadian sesuai dengan standar akuntansi yang berterima umum yaitu standar akuntansi pemerintahan.
4. Memiliki pengendalian internal berupa organisasi, prosedur dan catatan yang mempertimbangkan pengamanan aset dan keandalan catatan-catatan keuangan. Pengendalian internal didesain untuk mendapatkan keyakinan yang wajar bahwa transaksi-transaksi dicatat sebagaimana mestinya. Dengan demikian Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota dapat mempersiapkan laporan keuangan dan mendukung akuntabilitas aktiva; akses ke aktiva terotorisasi dengan baik; dan bahwa akuntabilitas pencatatan aktiva dibandingkan dengan fisik aktiva pada suatu periode tertentu bila ada perbedaan diperlakukan dengan benar.
5. Menyediakan informasi yang berarti (penting dan bermanfaat) dan tepat waktu, agar para pengguna dapat menggunakannya untuk pengambilan keputusan dan pelaporan yang tepat waktu.
Dari gambaran tersebut di atas, laporan keuangan yang berkualitas harus didukung oleh sistem akuntansi keuangan yang dapat diandalkan. Dalam rangka membantu pemerintah memenuhi kewajiban pelaporan keuangan, perlu suatu pedoman sistema akuntansi keuangan. Sebagaimana telah kami jelaskan di muka, maka pedoman penyelenggaraan sistem akuntansi keuangan daerah yang selama ini digunakan adalah sebagaimana tertuang dalam sebagian substansi Kepmendagri 29 Tahun 2002.
Bagi Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota, sesungguhnya pelaporan keuangan diperlukan guna memberikan informasi yang penting dan relevan kepada para pemakai laporan keuangan, sehingga dapat membantu mereka dalam membuat keputusan dengan cara yang terbaik. Pengungkapan dalam laporan keuangan tahunan merupakan sumber informasi untuk pengambilan keputusan.
Disamping itu pula, baik masyarakat umum maupun jajaran Pemerintahan Daerah membutuhkan pula suatu laporan yang dapat memberikan informasi mengenai kinerja pemerintahan dalam rangka mengelola dana masyarakat. Masyarakat luas perlu mengetahui berbagai sumber-sumber dan penggunaan keuangan pemerintahan, beserta kesesuainannya dengan peraturan perundang-undangan.
Untuk mengakomodasi hal-hal tersebut di atas, perlu disusun suatu pedoman sistem akuntansi. Pedoman sistem akuntansi keuangan ini juga diperlukan untuk menghasilkan laporan keuangan yang dapat diaudit (auditable) sehingga memudahkan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam hal transparansi pengelolaan keuangan. Pedoman sistem akuntasi keuangan daerah sebagaimana telah diamanatkan dalam Kepmendagri 29 Tahun 2002, sekali lagi dimaksudkan sebagai pedoman bagi jajaran Pemerintahan di Propinsi, Kabupaten dan Kota dalam menyiapkan laporan keuangan yang akan menjadi media bagi masyarakat dan pihak-pihak lain yang terkait untuk mengetahui pengelolaan keuangan Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota.
Dengan telah diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, membawa konsekuensi bagi kita jajaran pemerintah di Propinsi, Kabupaten dan Kota untuk menghasilkan Laporan Keuangan yang penyusunan dan penyajiannya sesuai dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar laporan keuangan yang dihasilkan berkualitas, akuntabel dan kredibel.
Dalam Kepmendagri 29 Tahun 2002 telah dikembangkan suatu sistem akuntansi yang meliputi antara lain penetapan tatausaha keuangan; pembangunan sistem dan prosedur akuntansi; penentuan catatan dan laporan yang dihasilkan; serta penetapan kebijakan akuntansi yang diperlukan. Dalam tata usaha keuangan telah dikemukakan dan ditetapkan mulai dari pejabat yang berwenang untuk melakukan otorisasi, melakukan penyimpanan ataupun pencatatan transaksi keuangan. Dalam tataran ini Kepmendagri telah menetapkan beberapa pejabat yang memiliki otoritas di bidang keuangan daerah, mulai dari penetapan pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani Surat Keputusan Otorisasi (SKO), Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Surat Perintah Membayar (SPM), dan pejabat yang diberi wewenang untuk mengesahkan Surat Pertanggungjawaban (SPJ).
Selanjutnya dalam rangka prosedur dan administrasi keuangan daerah telah diatur pula antara lain mengenai mekanisme dan prosedur yang berlaku pada setiap satuan kerja pengguna anggaran dalam mengeluarkan uang; pemberian wewenang dan prosedur administrasi pemegang kas; serta penetapan formulir yang digunakan dalam penatausahaan pemegang kas. Formulir dan catatan yang digunakan oleh pemegang kas antara lain terdiri dari : SPP Beban Tetap, Rincian SKO, register SKO, register SPP, dan register SPM. Sementara itu buku-buku yang digunakan meliputi antara lain Buku Kas Umum Pemegang Kas, Buku Bank, Buku Panjar dan Buku PPN/PPh.
Kepmendagri 29 Tahun 2002 telah mengatur pula mengenai prosedur dan kewenangan yang diperlukan dalam rangka penerimaan kas dan pengeluaran kas. Baik penatausahaan maupun akuntansinya telah diuraikan pula di dalamnya. Hal yang perlu kita cermati bersama adalah bahwasanya sistem pengeluaran kas yang dianut dalam sistem yang ada pada hakekatnya adalah sistem Uang Untuk Dipertanggungjawabkan (UUDP), dengan demikian prosedur dan mekanisme yang berlaku mengikuti mekanisme UUDP.
Kemudian dalam rangka klasifikasi Buku Besar, baik untuk akuntansi anggaran maupun akuntansi keuangan Kepmendagri 29 telah pula menetapkan kode rekening (akun) baik untuk Pos Anggaran maupun Pos Neraca. Kode rekening akuntansi anggaran meliputi kode akun untuk Pos Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan. Sementara itu kode akun untuk Pos Neraca meliputi kode akun untuk Aktiva, Hutang dan Ekuitas Dana. Dengan demikian pengaturan buku besar untuk keperluan akuntansi telah pula dipersiapkan.
Secara umum gambaran sistem dan prosedur akuntansi sebagaimana dimaksud dalam Kepmendagri 29 Tahun 2002 meliputi : (a) sistem dan prosedur penerimaan kas; (b) sistem dan prosedur akuntansi pengeluaran kas; (c) sistem dan prosedur akntansi selain kas; (d) sistem dan prosedur pengelolaan kas kecil pada satuan pemegang kas. Produk akhir dari keseluruhan sistem akuntansi yang elah diuraikan di atas adalah laporan/informasi keuangan. Berdasarkan sistem akuntansi yang dibangun ini, laporan yang dihasilkan akan meliputi laporan triwulanan dan laporan akhir tahun anggaran.

Arah Perkembangan Pengelolaan Keuangan Daerah dan Implikasinya terhadap Sistem Akuntansi Pemerintahan
Sebagaimana telah diuraikan di muka, dengan telah diundangkannya (1) Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan tiga paket peraturan perundang-undangan tentang keuangan negara yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang memayungi pengelolaan keuangan negara maupun keuangan daerah. Keseluruhan peraturan ini membawa konsekuensi terhadap penyelenggaraan pengelolaan keuangan daerah, yang selanjutnya akan membawa dampak bagi perubahan PP 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Beberapa perubahan mendasar yang akan dirujuk oleh revisi PP 105 tersebut antara lain adalah :
a. Memperjelas Esensi Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah (PKPKD) melalui pelimpahan tugas kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah; artinya dengan berubahnya struktur kekuasaan pemerintahan dari sentralisasi kepada desentralisasi membawa pengaruh antara lain : PKPKD melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD), yang didasarkan atas prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan, menguji, dan menerima/mengeluarkan uang; memerankan Sekretaris Daerah selaku koordinator dan pengendalian penyelenggaraan Pemerintah Daerah; dan Pejabat Pengelola Keuangan Daerah bertanggungjawab kepada Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah melalui Sekretaris Daerah;
b. Menajamkan Proses Komunikasi Penyusunan APBD antara Pemerintah Daerah dengan DPRD; artinya dengan mempertajam kualitas substansi dan proses komunikasi antara Pemerintah Daerah dengan DPRD dalam penyusunan APBD; perlu mempertajam transformasi dokumen dari RPJMD, RPKD, KUA, PPA, RKA-SKPD menjadi R/APBN melalui Pejabat Pengelola Keuangan Daerah;
c. Memperjelas informasi Laporan Keuangan dengan mengebolarisasi Nota Perhitungan APBD dalam bentuk Catatan atas Laporan Keuangan;
d. Progress Report Triwulanan berubah menjadi Laporan Semesteran dan Prognosis; yang artinya dapat meningkatkan kualitas komunikasi pelaporan dari Pemerintah Daerah kepada DPRD dengan format waktu pelaporan secara semesteran dan prakiraan anggaran semester berikutnya;
e. Meningkatkan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam Pelaksanaan Penatausahaan dan Pertanggungjawaban;
f. Meningkatkan fungsi dan peran Kas Daerah, dengan berubah menjadi Bendaharawan Umum Daerah (BUD); artinya mempertajam dan mempertegas nomenklatur pemegang kas; melakukan desentralisasi administratif keuangan kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah dan Pejabat Pengguna Anggaran.
Dari berbagai pokok-pokok perubahan yang akan dilakukan dalam revisi PP 105 Tahun 2002 dan pengundangan PP 24 Tahun 2005, maka akan membawa konsekuensi pula terhadap perubahan Kepmendagri 29 Tahun 2002. Beberapa perubahan yang akan terkait dengan perubahan Kepmendagri dimaksud, terutama terkait dengan sistem akuntansi dan laporan keuangan antara lain adalah :
a. Basis Akuntansi yang akan digunakan adalah merujuk kepada Standar Akuntansi Pemerintahan yang berlaku yaitu menggunakan basis kas untuk pengakuan pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam Laporan Realisasi Anggaran; dan basis akrual untuk aset, kewajiban dan ekuitas dana.
b. Melakukan penyesuaian secukupnya atas Pengakuan Aset Tetap dan kewajiban (hutang). Dalam Kepmendagri 29 Tahun 2002, aktiva tetap yang diperoleh bukan dari donasi diakui pada akhir periode berdasarkan jumlah belanja modal yang telah diakui pada periode berkenaan diubah pengakuannya menjadi diakui pada saat hak kepemilikan berpindah dan/atau saat diterima sebagaimana ketentuan pada PP 24 Tahun 2005. Hutang (kewajiban) menurut Kepmendagri 29 Tahun 2002 diakui pada akhir periode akuntansi berdasarkan jumlah pembiayaan yang berupa penerimaan hutang PFK dan hutang dalam negeri yang telah diakui dalam periode berjalan. Disesuaikan menjadi diakui pada saat dana pinjaman diterima dan/atau kewajiban timbul, sesuai dengan PP 24 Tahun 2005.
c. Depresiasi Aset Tetap, dirujuk berdasarkan PP 24 yaitu depresiasi digunakan untuk mengakui penurunan nilai aset sehubungan dengan adanya pemakaian, keausan, atau kerusakan, dan tidak ada pembentukan dana depresiasi. Sementara itu meode penyusutan dapat menggunakan antara lain metode garis lurus; metode saldo menurun; dan metode unit produksi.
d. Penyesuaian atas istilah laporan keuangan, terutama Laporan Perhitungan APBD menjadi Laporan Realisasi Anggaran; dan Nota Perhitungan APBD menjadi Catatan atas Laporan Keuangan.
e. Penyajian dan pengungkapan informasi dalam laporan keuangan dilakukan penyesuaian istilah ataupun pengklasifikasiannya bilamana diperlukan, seperti istilah aktiva menjadi aset dan lain sebagainya. Demikian pula untuk belanja akan dilakukan pula penyesuaian klasifikasi seperlunya.
f. Sebagai suatu kesatuan sistem akuntansi, akan pula dilakukan revisi seperlunya mengenai sistem dan prosedur pengeluaran uang, yang selama ini menerapkan sistem UUDP menjadi sistem Uang Yang Harus Dipertanggungjawabkan (UYHD).
g. Bagan Perkiraan (akun) akan dimodifikasi seperlunya dalam rangka memenuhi kebutuhan pemerintah secara nasional terutama penambahan akun-akun untuk klasifikasi fungsi.
h. Periode pelaporan triwulanan akan disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku menjadi semesteran.

STRATEGI PERCEPATAN REFORMASI PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
Dalam rangka mengajjtisipasi percepatan perubahan sistem pengelolaan keuangan menjadi paket undang-undang keuangan negara (UU No. 17/2003, UU No. 1/2004 dan UU No. 15/2004) dan paket undang-undang tentang pemerintahan dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah (UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004), maka perlu dilakukan langkah-langkah strategis yang signifikan dan meliputi :
1. Melakukan Penataan Legal Basis di Lingkungan Pemerintah Pusat
Hal ini dilaksanakan melalui penyelesaian Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengganti PP 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Rancangan Peraturan Menteri Dalam Negeri (RPMDN) Pengganti Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 yang akan diselesaikan sebelum akhir tahun 2005. Posisi penyelesaian RPP dan rancangan Permendagri tersebut saat ini sudah berada pada tahap pembahasan draft akhir oleh tim perumus antar Departemen/LPND dan Daerah.
2. Melakukan Penataan Legal Basis di Lingkungan Pemerintah Daerah
Sejalan dengan adanya revisi peraturan perundangan tentang pengelolaan keuangan negara, maka pada tingkatan pemerintah daerah perlu dilakukan penyelarasan terhadap peraturan dimaksud. Oleh karena itu perlu dilakukan penyesuaian secukupnya terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
3. Melakukan Sosialisasi Peraturan Perundangan kepada Stakeholders
Guna mempercepat proses pemahaman dan penyatuan persepsi tentang reformasi pengelolaan keuangan daerah yang telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, maka perlu dilakukan kegiatan sosialisasi dan diseminasi. Pemahaman dan penyatuan persepsi ini diperlukan tidak saja kepada pihak-pihak yang akan mengimplementasikan peraturan dimaksud, namun juga kepada pihak-pihak yang akan melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan reformasi pengelolaan keuangan daerah.
4. Merevisi Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah
Berdasarkan sistem pengelolaan yang baru ini, maka pemerintah daerah memerlukan beberapa penyempurnaan terhadap sub-sistem dari sistem pengelolaan keuangan yang selama ini telah berjalan. Beberapa sub-sistem pengelolaan keuangan yang memerlukan revisi diantaranya adalah terkait dengan sub-sistem perencanaan dan penganggaran; sub-sistem menajemen kas; sub-sistem akuntansi dan pelaporan; sub-sistem pemeriksaan (audit), sub-sistem pengadaan atas barang dan jasa; serta sub-sistem monitoring dan evaluasi. Pembangunan sistem dan revisi sistem yang ada hendaknya dilakukan secara selektif, bertahap dan berkesinambungan.
5. Melakukan Aliansi Strategis
Saat ini dengan keterbatasan sumber daya di lingkungan Pemerintah Daerah, maka pemenuhannya dapat dilakukan melalui kerjasama dengan institusi/lembaga yang kompeten. Kerjasama dapat dilakukan melalui kegiatan pendampingan ataupun asistensi terhadap pembangunan dan pengembangan sistem pengelolaan keuangan yang dibutuhkan daerah.
Disamping itu hal yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya untuk melakukan pembangunan dan pengembangan kompetensi sumber daya manusia pada umumnya, khususnya kompetensi di bidang keuangan.
6. Melakukan Penataan Kelembagaan
Melalui reformasi pengelolaan keuangan daerah, pengaturan fungsi-fungsi manajemen keuangan mempunyai dampak pada pengaturan kelembagaan. Oleh karena itu, bagi jajaran Pemerintah Daerah perlu segera mengantisipasi pembentukan organisasi pengelola keuangan daerah yang mendasarkan kepada adanya prinsip pemisahan fungsi antara yang mengotorisasi (otorisator), mengesahkan (ordonatur) dan mencatat (comptabel).
7. Membangun dan Mengembangkan Daerah Media Inkubator (DMI)
Untuk mempercepat reformasi keuangan daerah melalui strategi DMI dilakukan kegiatan-kegiatan yang meliputi antara lain : pendampingan, asistensi, dan fasilitasi penerapan seluruh sistem yang dikembangkan untuk kepentingan daerah agar dapat menghasilkan tata kepemerintahan yang baik (good governance) yang pada akhirnya dapat mewujudkan iklim demokrasi dan kesejahteraan masyarakat.
Pada tahap awal, penyiapan DMI dilakukan dengan menetapkan 12 provinsi sebagai DMI tingkat Propinsi. Kegiatan yang dilaksanakan dalam tahun 2005 meliputi pemetaan kapasitas sumber daya daerah dan infrastruktur teknologi informasi yang berada di provinsi yang bersangkutan. Demikian pula pemetaan ini dilakukan terhadap Ditjen BAKD sebagai fasilitator penerapan DMI.
8. Melakukan Evaluasi dan Monitoring
Untuk mengetahui perkembangan atas implementasi sisem pengelolaan keuangan negara dan daerah, kegiatan monitoring dan evaluasi perlu dilakukan secara terjadwal dan sistematis. Hasil evaluasi dan monitoring diharapkan dapat memberikan umpan balik bagi penyempurnaan pengelolaan keuangan daerah yang berkelanjutan.
9. Memberlakukan Masa Transisi Penerapan Peraturan Perundang-undangan
Perubahan terhadap ketentuan pengelolaan keuangan negara/daerah akan membawa dampak tidak saja bagi penyelenggara negara, namun juga bagi masyarakat umum lainnya. Sistem pengelolaan keuangan daerah yang selama ini telah terbangun dan tertata akan memerlukan waktu yang cukup untuk dirubah dan diimplementasikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang baru. Oleh karena itu tidaklah berlebihan bilamana penerapan peraturan perundangan yang baru perlu disesuaikan dengan kondisi kemampuan dan lingkungan pemerintahan pada umumnya.
Misalnya, untuk mempersiapkan laporan keuangan sesuai SAP yang diatur dalam PP 24/2005, pemerintah daerah tidak perlu langsung melakukan perubahan sistem akuntansinya, tetepi cukup melakukan konversi laporan keuangan dari format lama kepada format baru sesuai SAP. Konversi akan dilakukan melalui dukungan teknologi informasi dengan menggunakan suatu “aplikasi konversi” yang akan diberikan secara cuma-cuma (gratis) oleh Pemerintah kepada Daerah. Bagi daerah yang memerlukan pendampingan dalam melakukan konversi dapat meminta bantuan kepada Ditjen BAKD Depdagri. Contoh lainnya yang memerlukan masa transisi adalah penyusunan APBD dan perubahan APBD tahun 2006 yang masih berpedoman pada peraturan lama (PP 105/2000 da KMDN 29/2002).