Rotating X-Steel Pointer

Sabtu, 17 Juli 2010

PELAKSANAAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) DALAM UNDANG UNDANG NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

Oleh :
Dyah Permata Budi Asri*


Pemberlakuan UU No. 40 Tahun 2007 menggantikan UU No. 1 Tahun 1995

Pada tanggal 16 Agustus 2007, pemerintah mengesahkan peraturan yang mengatur mengenai Perseroan Terbatas yaitu Undang-undang No. 40 Tahun 2007 yang menggantikan UU Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995. Keberadaan Undang-undang Perseroan Terbatas tersebut diharapkan mampu menjamin terselenggaranya iklim usaha yang kondusif, dimana perseroan terbatas sebagai suatu pilar pembangunan perekonomian perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional.
Diundangkannya Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dilatar belakangi berbagai macam faktor, salah satunya faktor adalah adanya pekembangan perekonomian dunia serta kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi saat ini, yang mengharuskan setiap perkembangan yang terjadi di masyarakat diakomodir oleh suatu aturan hukum yang sesuai dengan perkembangan dan kondisi masyarakat saat ini, sehingga apabila terjadi persoalan di dalam masyarakat, hukum dapat dijadikan sebagai pedoman atau rule of law.
Undang-undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada khususnya dalam bidang perekonomian. Terlebih dalam hukum bisnis, di mana sebagai akibat pengaruh globalisasi dan perdagangan bebas telah memberikan perubahan yang drastis dalam kehidupan perekonomian pada umumnya dan dunia usaha pada khususnya.
Eksistensi Perseroan Terbatas sangat penting, mengingat perseroan terbatas merupakan salah satu bentuk perusahaan di Indonesia yang sangat penting dan dominan dalam perekonomian. Oleh karena itu, aturan mengenai hukum Perseroan Terbatas perlu senantiasa diperbaharui dalam rangka untuk penyempurnaan aturan hukum mengenai Perseroan Terbatas.
______________
SH.,M.Kn., Dosen Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta

Diundangkannya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas membawa cukup banyak perubahan signifikan bagi dunia usaha di Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut wajib dicermati oleh semua pihak, agar semua kegiatan usaha perseroan senantiasa dijalankan dalam koridor hukum yang tepat dan benar.
Salah satu bentuk penyempurnaan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 adalah pembaharuan tentang konsep pengelolaan perseroan. Pendirian perseroan terbatas dihadapkan pada dua kepentingan, yaitu kepentingan pemegang saham/ pemilik serta kepentingan masyarakat luas dalam hal ini adalah stake holder dan share holders. Sehingga dengan dua kepentingan yang saling tarik menarik ini, diharapkan pada pengelolaan perseroan yang bisa mengakses kepentingan kedua belah pihak.
Tujuan pembaharuan Undang-undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007, salah satunya adalah untuk mendukung implementasi GCG atau Good Corporate Governance. Pengelolaan yang baik lazim disebut dengan Good Corporate Governance (GCG) atau prinsip Tata Kelola Usaha yang Baik. Prinsip Tata Kelola Usaha yang Baik diadopsi dari Undang-undang No. 1 Tahun 1995 maupun Undang-undang No. 40 Tahun 2007.

Arti penting Good Corporate Governance (GCG)
GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Prinsip dasar yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pilar adalah:
1. Negara dan perangkatnya menciptakan peraturan perundang-undangan yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten (consistent law enforcement) .
2. Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman dasar pelaksanaan usaha.
3. Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak yang terkena dampak dari keberadaan perusahaan, menunjukkan kepedulian dan melakukan kontrol sosial (social control) secara obyektif dan bertanggung jawab.
Tata kelola perusahaan adalah suatu subjek yang memiliki banyak aspek. Salah satu topik utama dalam tata kelola perusahaan adalah menyangkut masalah akuntabilitas dan tanggung jawab/ mandat, khususnya implementasi pedoman dan mekanisme untuk memastikan perilaku yang baik dan melindungi kepentingan pemegang saham. Fokus utama lain adalah efisiensi ekonomi yang menyatakan bahwa sistem tata kelola perusahaan harus ditujukan untuk mengoptimalisasi hasil ekonomi, dengan penekanan kuat pada kesejahteraan para pemegang saham. Ada pula sisi lain yang merupakan subjek dari tata kelola perusahaan, seperti sudut pandang pemangku kepentingan, yang menunjuk perhatian dan akuntabilitas lebih terhadap pihak-pihak lain selain pemegang saham, misalnya karyawan atau lingkungan.
Sampai saat ini para ahli tetap menghadapi kesulitan dalam mendefinisikan GCG yang dapat mengakomodasikan berbagai kepentingan. Tidak terbentuknya definisi yang akomodatif bagi semua pihak yang berkepentingan dengan GCG disebabkan karena cakupan GCG yang lintas sektoral. Definisi CGC menurut Bank Dunia adalah aturan, standar dan organisasi di bidang ekonomi yang mengatur perilaku pemilik perusahaan, direktur dan manajer serta perincian dan penjabaran tugas dan wewenang serta pertanggungjawabannya kepada investor (pemegang saham dan kreditur). Tujuan utama dari GCG adalah untuk menciptakan sistem pengendaliaan dan keseimbangan (check and balances) untuk mencegah penyalahgunaan dari sumber daya perusahaan dan tetap mendorong terjadinya pertumbuhan perusahaan.
Inti dari kebijakan tata kelola perusahaan adalah agar pihak-pihak yang berperan dalam menjalankan perusahaan memahami dan menjalankan fungsi dan peran sesuai wewenang dan tanggung jawab. Pihak yang berperan meliputi pemegang saham, dewan komisaris, komite, direksi, pimpinan unit dan karyawan.
Konsep Good Corporate Governance (GCG) adalah konsep yang sudah saatnya diimplementasikan dalam perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia, karena melalui konsep yang menyangkut struktur perseroan, yang terdiri dari unsur-unsur RUPS, direksi dan komisaris dapat terjalin hubungan dan mekanisme kerja, pembagian tugas, kewenangan dan tanggung jawab yang harmonis, baik secara intern maupun ekstern dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan demi kepentingan shareholders dan stakeholders.
Konsen pemerintah terhadap GCG cukup beralasan. Bulan Juni 2006 yang lalu, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) merilis Persepsi Standart Corporate Governance. Dari 12 negara yang disurvey, Indonesia menduduki posisi ke 10 dengan skor 7.5. Rangking pertama diduduki oleh Singapore dengan skor 2.4, diikuti Jepang (3.8) dan Hong Kong (4.2). Skor yang rendah itu memesankan bahwa sejak diperkenalkan tahun 1999, dengan membentuk Komite Nasional Corporate Governance yang kemudian berhasil melahirkan Code for Good Corporate Governance, CG belum lagi membawakan perubahan yang signifikan bagi perkembangan perseroan.

Prinsip-prinsip dalam GCG
Dalam Undang-undang No 40 Tahun 2007 prinsip-prinsip Good Corporate Governance harus mencerminkan pada hal-hal sebagai berikut :
1. Transparansi;
Yaitu keterbukaan yang diwajibkan oleh Undang-undang seperti misalnya mengumukan pendirin PT dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia ataupun Surat Kabar. Serta keterbukaan yang dilakukan oleh perusahaan menyangkut masalah keterbukaan informasi ataupun dalam hal penerapan management keterbukaan, informasi kepemilikan Perseroan yang akurat, jelas dan tepat waktu baik kepada share holders maupun stakeholder.
2. Akuntabilitas;
Adanya keterbukaan informasi dalam bidang financial dalam hal ini ada dua pengendalian yang dilakukan oleh direksi dan komisaris. Direksi menjalankan operasional perusahaan, sedangkan komisaris melakukan pengawasan terhadap jalannya perusahaan oleh Direksi, termasuk pengawasan keuangan. Sehingga sudah sepatutnya dalam suatu perseroan, Komisaris Independent mutlak diperlukan kehadirannya. Sehingga adanya jaminan tersedianya mekanisme, peran dan tanggung jawab jajaran manajemen yang professional atas semua keputusan dan kebijakan yang diambil sehubungan dengan aktivitas operasional perseroan
3. Responsibility;
Pertanggung jawaban perseroan baik kepada share holders maupun stakeholder dengan tidak merugikan kepentingan para share holders maupun anggota masyarakat secara luas. Yang ditekankan dalam UU ini perseroan haruslah berpegang pada hukum yang berlaku.
4. Fairness.
Prinsip keadilan menjamin bahwa setiap keputusan dan kebijakan yang diambil adalah demi kepentingan seluruh pihak yang berkepetingan baik itu pelanggan, share holders ataupun masyarakat luas.
Selain itu prinsip keadilan ini tercermin dalam Pasal 53 ayat 2 “ Setiap saham dalam klasifikasi yang sama memberikan kepada pemegangnya hak yang sama.” Pasal ini menunjukkan unsur fairness (non diskriminatif) antar pemegang saham dalam klasifikasi yang sama untuk memperoleh hak-haknya, seperti Hak untuk mengusulkan dilaksanakannya RUPS, hak untuk mengusulkan agenda tertentu dalam RUPS dan lain-lain.

Prinsip GCG yang paling relevan dengan pengembangan sistem dan mekanisme internal perusahaan adalah accountability. Berdasarkan prinsip ini, pertama-tama masing-masing komponen perusahaan, seperti komisaris, direksi, internal auditor dituntut untuk mengerti hak, kewajiban, wewenang dan tanggung jawabnya. Hal tersebut penting sehingga masing-masing komponen mampu melaksanakan tugas secara professional.
Dengan demikian masing-masing pihak baik Direksi maupun Komisaris perlu mengamankan investasi dan aset perusahaan. Dalam hal ini Direksi harus memiliki sistem dan pengawasan internal, yang meliputi bidang keuangan, operasional, risk management dan kepatuhan (compliance). Sedangkan Komisaris menjaga agar tidak terjadi mismanagement dan penyalahgunaan wewenang oleh Direksi dan para pejabat eksekutif perusahaan.
Tujuan Penerapan Good Corporate Governance
Penerapan sistim GCG diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) melalui beberapa tujuan berikut:
1. Meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan kesinambungan suatu organisasi yang memberikan kontribusi kepada terciptanya kesejahteraan pemegang saham, pegawai dan stakeholders lainnya dan merupakan solusi yang elegan dalam menghadapi tantangan organisasi kedepan
2. Meningkatkan legitimasi organisasi yang dikelola dengan terbuka, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan
3. Mengakui dan melindungi hak dan kewajiban para share holders dan stakeholders
Dalam menerapkan nilai-nilai Tata Kelola Perusahaan, Perseroan menggunakan pendekatan berupa keyakinan yang kuat akan manfaat dari penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik. Berdasarkan keyakinan yang kuat, maka akan tumbuh semangat yang tinggi untuk menerapkannya sesuai standar internasional. Guna memastikan bahwa Tata Kelola Perusahaan diterapkan secara konsisten di seluruh lini dan unit organisasi, Perseroan menyusun berbagai acuan sebagai pedoman bagi seluruh karyawan. Selain acuan yang disusun sendiri, Perseroan juga mengadopsi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal penerapan prinsip GCG harus disadari bahwa penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik hanya akan efektif dengan adanya asas kepatuhan dalam kegiatan bisnis sehari-hari, terlebih dahulu diterapkan oleh jajaran manajemen dan kemudian diikuti oleh segenap karyawan. Melalui penerapan yang konsisten, tegas dan berkesinambungan dari seluruh pelaku bisnis.
Dengan pemberlakukan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas akankah implementasi GCG di Indonesia akan terwujud ? Hal ini tergantung pada penerapan dan kesadaran dari perseroan tersebut akan pentingnya prinsip GCG dalam dunia usaha.



Hubungan antara GCG dengan CSR (Corporate Social Responsibility)
Di dalam salah satu prinsip GCG terkandung pengertian Responsibility disamping ke tiga prinsip lainnya dalam GCG. Prinsip Responsibility penekanannya diberikan kepada kepentingan stakeholders perusahaan. Stakholders di sini dapat didefinisikan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Termasuk di dalamnya adalah karyawan, pelanggan, konsumen, masyarakat di lingkungan sekitarnya serta pemerintah selaku regulator.
Dari penjelasan tersebut prinsip responsibility dalam GCG melahirkan gagasan Corporate Social Responsibility (CSR) atau peran serta perusahaan dalam mewujudkan tanggung jawab sosialnya. Dalam gagasan CSR perusaahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab terhadap nilai perusahaan (corporate value) yang direflesikan ke dalam kondisi keuangan perusahaan saja, namun tanggung jawab perusahaan harus juga berpijak pada tanggung jawab social dan lingkungan.
Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana anggapan masyarakat sekitar muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan lingkungan hidup. Kita ambil contoh dari kasus Lumpur Lapindo Sidoarjo Jawa Timur.
Kesadaran tentang pentingnya mempraktikkan CSR ini menjadi tren global seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).
Menghadapi tren global tersebut, saatnya perusahaan melihat serius pengaruh dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan dari setiap aktivitas bisnisnya, serta melaporkan kepada stakeholder-nya setiap tahun. Laporan bersifat nonfinansial yang dapat digunakan sebagai acuan oleh perusahaan dalam melihat dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan, diantaranya Sustainability Reporting Guidelines yang dikeluarkan oleh Global Reporting Initiative (GRI) dan Value Reporting yang digagas perusahaan konsultan dunia Pricewaterhouse Coopers (PwC).
Kita semua berharap bahwa perusahaan yang beroperasi di Indonesia tidak hanya memperhatikan sisi GCG dan melupakan aspek CSR. Karena kedua aspek tersebut bukan suatu pilihan yang terpisah, melainkan berjalan beriringan untuk meningkatkan keberlanjutan operasi perusahaan.