Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
Organisasi Perdagangan Dunia (bahasa Inggris: WTO, World Trade Organization) adalah organisasi internasional yang mengawasi banyak persetujuan yang mendefinisikan "aturan perdagangan" di antara anggotanya (WTO, 2004a). Didirikan pada 1 Januari 1995 untuk menggantikan GATT, persetujuan setelah Perang Dunia II untuk meniadakan hambatan perdagangan internasional. Prinsip dan persetujuan GATT diambil oleh WTO, yang bertugas untuk mendaftar dan memperluasnya.
WTO merupakan pelanjut Organisasi Perdagangan Internasional (ITO, International Trade Organization). ITO disetujui oleh PBB dalam Konferensi Dagang dan Karyawan di Havana pada Maret 1948, namun ditutup oleh Senat AS (WTO, 2004b).
WTO bermarkas di Jenewa, Swiss. Direktur Jendral sekarang ini adalah Pascal Lamy (sejak 1 September 2005). Pada Juli 2008 organisasi ini memiliki 153 negara anggota. Seluruh anggota WTO diharuskan memberikan satu sama lain status negara paling disukai, sehingga pemberian keuntungan yang diberikan kepada sebuah anggota WTO kepada negara lain harus diberikan ke seluruh anggota WTO (WTO, 2004c).
Pada akhir 1990-an, WTO menjadi target protes oleh gerakan anti-globalisasi.
WTO memiliki berbagai kesepakatan perdagangan yang telah dibuat, namun kesepakatan tersebut sebenarnya bukanlah kesepakatan yang sebenarnya. Karena kesepakatan tersebut adalah pemaksaan kehendak oleh WTO kepada negara-negara untuk tunduk kepada keputusan-keputusan yang WTO buat. Privatisasi pada prinsip WTO memegang peranan sungguh penting. Privatisasi berada di top list dalam tujuan WTO. Privatisasi yang didukung oleh WTO akan membuat peraturan-peraturan pemerintah sulit untuk mengaturnya. WTO membuat sebuah peraturan secara global sehingga penerapan peraturan-peraturan tersebut di setiap negara belum tentulah cocok. Namun, meskipun peraturan tersebut dirasa tidak cocok bagi negara tersebut, negara itu harus tetap mematuhinya, jika tidak, negara tersebut dapat terkena sangsi ekonomi oleh WTO. Negara-negara yang tidak menginginkan keputusan-keputusan yang dirasa tidak fair, tetap tidak dapat memberikan suaranya. Karena pencapaian suatu keputusan dalam WTO tidak berdasarkan konsensus dari seluruh anggota. Merupakan sebuah rahasia umum bahwa empat kubu besar dalam WTO (Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan Uni Eropa) lah yang memegang peranan untuk pengambilan keputusan. Pertemuan-pertemuan besar antara seluruh anggota hanya dilakukan untuk mendengarkan pendapat-pendapat yang ada tanpa menghasilkan keputusan. Pengambilan keputusan dilakukan di sebuah tempat yang diberi nama “Green Room.” Green Room ini adalah kumpulan negara-negara yang biasa bertemu dalam Ministerial Conference (selama 2 tahun sekali), negara-negara besar yang umumnya negara maju dan memiliki kepentingan pribadi untuk memperbesar cakupan perdagangannya. Negara-negara berkembang tidak dapat mengeluarkan suara untuk pengambilan kepu
CONTOH KERJASAMA
• ASEAN Free Trade Area (AFTA)
• NAFTA
• Komunitas EROPA
• Asean Plus 3
• Chiang Mai Initiative
• Economic Cooperation Framework Agreement (antara ROC dan PRC)
• ASEAN – Australia – New Zealand Free Trade Area (AANZFTA)
• ASEAN–India Free Trade Area (AIFTA)
• ASEAN–Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP)
• ASEAN–Korea Free Trade Area (AKFTA)
• APEC
• OPEC, etc..
AFTA
Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (Bahasa Inggris: ASEAN Free Trade Area, AFTA) adalah sebuah persetujuan oleh ASEAN mengenai sektor produksi lokal di seluruh negara ASEAN.
Ketika persetujuan AFTA ditandatangani resmi, ASEAN memiliki enam anggota, iaitu, Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Vietnam bergabung pada 1995, Laos dan Myanmar pada 1997 dan Kamboja pada 1999. AFTA sekarang terdiri dari sepuluh negara ASEAN. Keempat pendatang baru tersebut dibutuhkan untuk menandatangani persetujuan AFTA untuk bergabung ke dalam ASEAN, namun diberi kelonggaran waktu untuk memenuhi kewajiban penurunan tarif AFTA.
Tujuan AFTA
• Meningkatkan daya saing ASEAN sebagai basis produksi dalam pasar dunia melalui penghapusan bea dan halangan non-bea dalam ASEAN
• Menarik investasi asing langsung ke ASEAN
Mekanisme utama untuk mencapai tujuan di atas adalah skema "Common Effective Preferential Tariff" (CEPT).
Anggota ASEAN memiliki pilihan untuk mengadakan pengecualian produk dalam CEPT dalam tiga kasus:
• Pengecualian sementara
• Produk pertanian sensitif
• Pengecualian umum (Sekretariat ASEAN, 2004)
1. History
A proposal to set up a Free Trade Area in Asean was first mooted by the Thai Prime Minister Anand Panyarachun, which was agreed upon with amendments during the ASEAN Seniors Economic Official Meeting (AEM) in Kuala Lumpur. In January 1992, the ASEAN members signed the Singapore Declaration at the heart of which was the creation of AFTA in 15 years. This is a comprehensive program of tariff reduction in the region, which is to be carried out in phases through the year 2008. This deadline was subsequently moved forward and AFTA became fully operational on 1 January 2003.
Over the course of several years, the initial program of tariff reductions was broadened and accelerated and other "AFTA Plus" activities were initiated. This includes efforts to eliminate non-tariff barriers, harmonisation of customs nomenclature, valuation, and procedures and development of common product certification standards.
2. The Common Effective Preferential Tariff (CEPT) scheme
Unlike the EU, AFTA does not apply a common external tariff on imported goods. Each ASEAN member may impose tariffs on goods entering from outside ASEAN based on its national schedules. However, for goods originating within ASEAN, ASEAN members are to apply a tariff rate of 0 to 5 percent (the more recent members of Cambodia, Laos, Myanmar and Vietnam, aka CMLV countries, were given additional time to implement the reduced tariff rates). This is known as the Common Effective Preferential Tariff (CEPT) scheme.
ASEAN members have the option of excluding products from the CEPT in three cases: 1.) Temporary exclusions; 2.) Sensitive agricultural products; 3.) General exceptions. Temporary exclusions refer to products for which tariffs will ultimately be lowered to 0-5%, but which are being protected temporarily by a delay in tariff reductions.
Sensitive agricultural products include commodities such as rice. ASEAN members have until 2010 to reduce the tariff levels to 0-5%.
General exceptions refer to products which an ASEAN member deems necessary for the protection of national security, public morals, the protection of human, animal or plant life and health, and protection of articles of artistic, historic, or archaeological value. ASEAN members have agreed to enact zero tariff rates on virtually all imports by 2010 for the original signatories, and 2015 for the CMLV countries.
3. Rule of Origin
The CEPT only applies to goods originating within ASEAN. The general rule is that local ASEAN content must be at least 40% of the FOB value of the good. The local ASEAN content can be cumulative, that is, the value of inputs from various ASEAN members can be combined to meet the 40% requirement. The following formula is applied:
Raw material cost + Direct labor cost + Direct overhead cost + Profit + Inland transport cost x 100% FOB value
However, for certain products, special rules apply:
• Change in Chapter Rule for Wheat Flour;
• Change of Tariff Sub-Heading for Wood-Based Products;
• Change in Tariff Classification for Certain Aluminum and Articles thereof.
The exporter must obtain a “Form D” certification from its national government attesting that the good has met the 40% requirement. The Form D must presented to the customs authority of the importing government to qualify for the CEPT rate. Difficulties have sometimes arisen regarding the evidentiary proof to support the claim, as well how ASEAN national customs authorities can verify Form D submissions. These difficulties arise because each ASEAN national customs authority interprets and implements the Form D requirements without much coordination.
4. Administration
Administration of AFTA is handled by the national customs and trade authorities in each ASEAN member. The ASEAN Secretariat has authority to monitor and ensure compliance with AFTA measures, but has no legal authority to enforce compliance. This has led to inconsistent rulings by ASEAN national authorities. The ASEAN Charter is intended to bolster the ASEAN Secretariat’s ability to ensure consistent application of AFTA measures.
ASEAN national authorities have also been traditionally reluctant to share or cede sovereignty to authorities from other ASEAN members (although ASEAN trade ministries routinely make cross-border visits to conduct on-site inspections in anti-dumping investigations). Unlike the EU or NAFTA, joint teams to ensure compliance and investigate non-compliance have not been widely used. Instead, ASEAN national authorities must rely on the review and analysis of other ASEAN national authorities to determine if AFTA measures such as rule of origin are being followed. Disagreements may result between the national authorities. Again, the ASEAN Secretariat may help mediate a dispute but has no legal authority to resolve it.
ASEAN has attempted to improve customs coordination through the implementation of the ASEAN Single Window project. The ASEAN Single Window would allow importers to submit all information related to the transaction to be entered electronically once. This information would then be shared with all other ASEAN national customs authorities.
5. Dispute resolution
Although these ASEAN national customs and trade authorities coordinate among themselves, disputes can arise. The ASEAN Secretariat has no legal authority to resolve such disputes, so disputes are resolved bilaterally through informal means or through dispute resolution.
An ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism governs formal dispute resolution in AFTA and other aspects of ASEAN. ASEAN members may seek mediation and good offices consultations. If these efforts are ineffective, they may ask SEOM to establish panel of independent arbitrators to review the dispute. Panel decisions can be appealed to an appellate body formed by the ASEAN Economic Community Council.
The Protocol has almost never been invoked because of the role of SEOM in the dispute resolution process. SEOM decisions require consensus among all ASEAN members, and since both the aggrieved party and the alleged transgressor are both participating in SEOM, such consensus cannot be achieved. This discourages ASEAN members from invoking the Protocol, and often they seek dispute resolution in other fora such as the WTO or even the International Court of Justice. This can also be frustrating for companies affected by an AFTA dispute, as they have no rights to invoke dispute resolution yet their home ASEAN government may not be willing to invoke the Protocol. The ASEAN Secretary General has listed dispute resolution as requiring necessary reform for proper administration of AFTA and the AEC.
6. Further trade facilitation efforts
Efforts to close the development gap and expand trade among members of ASEAN are key points of policy discussion. According to a 2008 research brief published by the World Bank as part of its Trade Costs and Facilitation Project, [2] ASEAN members have the potential to reap significant benefits from investments in further trade facilitation reform, due to the comprehensive tariff reform already realised through the ASEAN Free Trade Agreement.
This new analysis suggests examining two key areas, among others: port facilities and competitiveness in the Internet services sector. Reform in these areas, the report states, could expand ASEAN trade by up to 7.5 percent ($22 billion) and 5.7 percent ($17 billion), respectively. By contrast, cutting applied tariffs in all ASEAN members to the regional average in Southeast Asia would increase intra-regional trade by about 2 percent ($6.3 billion). [3]
7. Membership
Countries that agree to eliminate tariffs among themselves:
• Brunei
• Indonesia
• Malaysia
• Philippines
• Singapore
• Thailand
• Myanmar
• Cambodia
• Laos
• Vietnam
Regular Observers
• Papua New Guinea
• East Timor
The most recent ASEAN meeting was observed also by :
• People's Republic of China
• Japan
• South Korea
• India
• Australia
• New Zealand
NAFTA (IGO) Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara
Sebuah organisasi antarpemerintah (IGO) merupakan suatu organisasi yang terdiri dari negara berdaulat (disebut negara anggota), atau organisasi internasion lalinnya. Organisasi antarpemerintah sering disebut organisasi internasional, meskipun sebutan ini dapat juga melingkupi organisasi nonpemerintah internasional seperti organisasi nirlaba (NGO) internasional atau korporasi multinasional.
Organisasi antarpemerintah adalah aspek penting dari hukum internasional umum. IGO didirikan atas traktat yang berperan sebagai piagam yang membentuk kelompok. Traktat dibentuk ketika perwakilan (pemerintah) dari beberapa negara melalui proses ratifikasi, menyediakan IGo dengan status hukum internasional.
Organisasi antarpemerintah dalam arti hukum berbeda dari kelompok simpel atau koalisi negara, seperti G8 atau Kuartet. Kelompok atau asosiasi seperti itu tidak didirikan atas dokumen konstituen dan berdiri hanya sebagai kelompok tugas.
Organisasi antarpemerintah juga harus dibedakan dari perjanjian. Banyak perjanjian (seperti North American Free Trade Agreement (NAFTA), atau General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) sebelum pendirian World Trade Organization) tidak mendirikan suatu organisasi dan bergantung pada negara anggotau ntuk administrasi mereka agar diakui secara hukum sebagai komisi ad hoc. Perjanjian lainnya telah membuat pelengkap administratif yang tidak ditujukan untuk memperoleh status hukum internasional.
NAFTA ( North American Free Trade Agreement)
Pada tanggal 12 Agustus 1992, dengan sejumlah persetujuan atas berbagai masalah penting, maka pemerintah Meksiko, Kanada, dan Amerika Serikat menciptakan NAFTA (North American Free Trade Agreement ) untuk menciptakan blok ekonomi yang luas.
Tujuan dari NAFTA adalah penghapusan hambatan perdagangan bebas ( tarif, persyaratan izin import, tarif pengguna bea masuk ) untuk memperkuat kekuatan ekonomi ketiga negara tesebut.
GATT
GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) atau perjanjian umum tentang tarif-tarif dan perdagangan didirikan pada tahun 1948 di Genewa, Swiss. Pada waktu didirikan, GATT beranggotakan 23 negara, tetapi pada saat sidang terakhir di Marakesh pada 5 April 1994 jumlah negara penandatangan sebanyak 115 negara. Kesepakatan dalam GATT yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1948 tertuang dalam tiga prinsip, yaitu:
• Prinsip resiprositas, yaitu perlakuan yang diberikan suatu negara kepada negara lain sebagai mitra dagangnya harus juga diberikan juga oleh mitra dagang negara tersebut.
• Prinsip most favored nation, yaitu negara anggota GATT tidak boleh memberikan keistimewaan yang menguntungkan hanya pada satu atau sekelompok negara tertentu.
• Prinsip transparansi, yaitu perlakuan dan kebijakan yang dilakukan suatu negara harus transparan agar diketahui oleh negara lain.
Sesuai dengan perkembangannya, masing-masing negara anggota GATT menghendaki adanya perdagangan bebas. Pada pertemuan di Marakesh, Maroko 5 April 1994 GATT diubah menjadi World Trade Organization (WTO) mulai tanggal 1 Januari 1995.
Komunitas Eropa
Komunitas Eropa, paling penting dari ketiga Komunitas-Komunitas Eropa, awalnya didirikan pada 25 Maret 1957 dengan penandatanganan Perjanjian Roma di bawah nama Komunitas Ekonomi Eropa. Kata 'Ekonomi' dihilangkan dari namanya oleh Perjanjian Maastricht tahun 1992, yang mana pada waktu yang sama secara efektif membuat Komunitas Eropa yang pertama dari tiga pilar Uni Eropa, yang disebut Pilar Komunitas.
ASEAN Plus 3
ASEAN Plus Three (APT) atau Kerja sama ASEAN Plus Three (APT) adalah kerjasama antara lain paling menonjol di bidang keuangan terdiri dari 10 anggota ASEAN plus China, Jepang dan Republik Korea. sejak tahun 1997 pada saat kawasan Asia sedang dilanda krisis ekonomi. Dalam periode 10 (sepuluh) tahun pertama 1997-2007 mekanisme dan pelaksanaan kerja sama APT didasarkan kepada Joint Statement on East Asia Cooperation. KTT APT pertama berlangsung pada Desember 1997 di Kuala Lumpur.
ASEAN Plus Three is a forum that functions as a coordinator of cooperation between Association of Southeast Asian Nations and the three East Asian nations of China, Japan, and South Korea.
The first leaders' meeting was held in 1997 and the group's significance and importance was strengthened by the Asian Financial Crisis. The grouping was institutionalised by 1999 [4] .
ASEAN Plus Three, in establishing the Chiang Mai Initiative, has been credited as forming the basis for financial stability in Asia [5] , the lack of such stability being a contributing factor to the Asian Financial Crisis. The Asian Currency Unit (ACU) is a proposed weighted index of currencies for ASEAN+3. The ACU was inspired by the now defunct European Currency Unit, replaced by the Euro. The Asian Currency Unit's purpose is to help stabilize the region's financial markets. The ACU as it is proposed is a currency basket and not a real currency, i.e., a weighted index of East Asian currencies that will function as a benchmark for regional currency movements. [6] [7]
The Asian Development Bank is currently reviewing different options concerning the technical aspects related to the ACU calculation, including the nature of the basket, the choice of fixed weights vs. fixed units, the selection of currencies to be included in the basket, the choice of weights, the criteria for their periodical revision, and other aspects as well. The Asian Development Bank was to announce the details of the ACU in March 2006 or later. [8] However external pressures delayed this announcement although the concept was still being studied in detail [9] . A panel discussion in February 2007 cited technical and political obstacles as having prevented the project from advancing [10] . The unit, limited to ASEAN+3, was still said to be moving forward by mid-July 2007
ACFTA
The Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN–Tiongkok (bahasa Inggris: ASEAN–China Free Trade Area, ACFTA), adalah suatu kawasan perdagangan bebas di antara anggota-anggota ASEAN dan Tiongkok (Cina). Kerangka kerjasama kesepakatan ini ditandatangani di Phnom Penh, Cambodia, 4 November 2002, dan ditujukan bagi pembentukan kawasan perdagangan bebas pada tahun 2010,[1][2] tepatnya 1 Januari 2010.[3][4] Setelah pembentukannya ini ia menjadi kawasan perdagangan bebas terbesar sedunia dalam ukuran jumlah penduduk dan ketiga terbesar dalam ukuran volume perdagangan, setelah Kawasan Perekonomian Eropa dan NAFTA
Aliansi Strategis KSEI dan CDP
Investor Indonesia yang memiliki saham di bursa efek Singapura, mulai tahun depan tidak perlu membuka rekening di Depositori Sentral Singapura (Central Securities Depository/CDP). Cukup memiliki rekening efek di KSEI, maka si investor bisa memantau portofolio efeknya di Singapura. Penyelesaian transaksi sahamnya pun bisa dilakukan di KSEI.
Sebaliknya, investor Singapura yang membeli efek di bursa Indonesia bisa menggunakan jasa CDP untuk menyelesaikan transaksi sahamnya dan mendepositkan portofolio investasinya di Indonesia. Hal itu dimungkinkan dengan adanya kerjasama cross border settlement antara KSEI dan CDP yang telah ditandatangani 10 November lalu di Singapura.
Pelaku pasar yang diuntungkan dengan adanya kemudahan itu, patut bersyukur pada kecanggihan teknologi. Karena melalui e-commerce, dimungkinkan terjalinnya aliansi antar lembaga bursa maupun antar depository di berbagai negara untuk penyelenggaraan cross border link.
Dengan adanya kerjasama antara KSEI dan CDP, kedua belah pihak akan menyediakan jasa kustodi secara timbal balik untuk penyelesaian transaksi efek oleh pihak asing yang menjadi partisipan masing-masing. Tetapi, sebelum kerjasama itu efektif, KSEI dan CDP akan mempelajari sistem dan tata cara penyelesaian efek di masing-masing negara. “Makanya, baru pada kuartal pertama 2001, cross border settlement antara KSEI dan CDP dimulai,” ujar Billy, kepala Divisi Hukum KSEI.
Menurut Direktur Utama KSEI, Erry Firmansyah, kerjasama awal ini, merupakan langkah penting untuk meningkatkan kerja sama lebih lanjut antar pasar modal di regional. “Para investor di pasar modal Indonesia akan memperoleh keuntungan karena perdagangan lintas batas dapat diselesaikan dengan lebih mudah’” ujarnya.
Aliansi dengan CDP, kata Erry, merupakan kerjasama pertama KSEI dengan pasar modal luar negeri.Ia berharap, selanjutnya KSEI dapat melakukan kerja sama dengan depositori-depositori lainnya di wilayah regional.
Menurut President Singapore Exchange, Ang Swee Tian, kerja sama dengan KSEI sesuai dengan visi perusahaannya, yakni, memperbesar jaringan di pasar Asia “Hubungan bilateral dalam menfasilitasi penyelesaian efek lintas batas ini merupakan kerangka kerja yang tepat untuk membangun hubungan yang efisien di wilayah regional," ujarnya.
KSEI akan membuka rekening kolektif di CDP untuk mengelola efek-efek yang diperdagangkan di Singapura untuk kepentingan investor Indonesia. Sebaliknya CDP akan membuka rekening di KSEI untuk mengelola efek-efek yang diperdagangkan di Indonesia. Investor di kedua negara dapat memilih, menyimpan dan menyelesaikan efeknya di KSEI atau CDP.
Cross border transaction dan Cross border settlement pada dasarnya merupakan transaksi efek dan penyelesaian transaksi antara pihak-pihak yang berada di negara yang berbeda.
Penyelesaian transaksi lintas negara dapat terjadi di negara salah satu pihak atau bahkan di luar negara kedua belah pihak.
Transaksi dan penyelesaian lintas negara itu hanya bisa terjadi bila ada link antar depository tempat masing-masing pihak menyimpan efek yang ditransaksikan. Dengan adanya kerjasama cross border link dan cross border settlement, pihak pembeli dan penjual dapat melakukan perdagangan efek dan melakukan settlement melalui depository-nya masing-masing. Crossborder link dapat dilakukan secara bilateral antar dua depository maupun multilateral yang melibatkan banyak negara
Keuntungan dengan adanya crossborder settlement antara lain, menghemat biaya settlement, mempercepat proses settlement, dan meningkatkan likuiditas Efek. Namun, crossborder settlement hanya dapat dilakukan pada efek tanpa warkat. Jadi, pelaku pasar baru bisa optimal memanfaatkan akses crossborder setllement untuk seluruh efek yang ada di Indonesia setelah semua efek di bursa Indonesia tuntas dikonversi menjadi saham elektronik pada akhir 2001.
ASEAN – JAPAN COMPREHENSIVE ECONOMIC PARTNERSHIP
A. PENDAHULUAN
ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP) merupakan kesepakatan
antara negara-negara anggota ASEAN dengan Jepang untuk mewujudkan kawasan
perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan
perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa,
peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi
untuk mendorong hubungan perekonomian para Pihak AJCEP dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Jepang.
B. LANDASAN HUKUM & CAKUPAN FTA
Landasan pembentukan perdagangan bebas ASEAN dan Jepang adalah Joint
Declaration of the Leaders of the Comprehensive Economic Partnertship between
ASEAN and Japan yang ditandatangani pada tanggal 5 Nopember 2002, serta
Framework for Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and Japan yang
ditandatangani tanggal 8 Oktober 2003.
Dalam KTT ASEAN-Japan ke-8, Para Kepala Negara ASEAN dan Jepang menyetujui
Perjanjian Kerjasama Ekonomi ASEAN-Jepang dan mulai dilakukan negosiasi pada
bulan April 2005 dan ditandatangani pada bulan Maret dan April 2008 secara adreferendum.
Persetujuan telah berlaku efektif per 1 Desember 2008.
Persetujuan AJCEP merupakan suatu persetujuan ekonomi antara ASEAN dan Jepang
yang bersifat komprehensif serta mencakup bidang perdagangan barang, jasa,
investasi, SPS, TBT dan kerjasama ekonomi.
Persetujuan AJCEP telah diratifikasi melalui Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2009
tanggal 19 November 2009 tentang Pengesahan Persetujuan AJCWP.
C. TUJUAN AJCEP
• Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan barang,
perdagangan jasa dan investasi antara negara-negara anggota.
• Meliberalisasi perdagangan secara progresif dan menciptakan suatu sistem yang
transparan dan untuk mempermudah investasi.
• Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan
kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negaranegara
anggota.
D. MANFAAT
Akses pasar ekspor Indonesia ke Jepang akan meningkat: (i) sejak entry into
force 7.287 pos tariff di Jepang akan bebas bea masuk atau 80% total pos tariff
Jepang; (ii) bebas bea masuk akan meningkat hingga 90% total pos tariff dalam
5 tahun kedepan
Dalam Persetujuan AJCEP jumlah Exclusion List Jepang sebesar 627 pos tarif
atau lebih rendah dibandingkan Persetujuan IJEPA (886 pos tarif)
Jepang memberikan komitmen yang lebih baik dalam Persetujuan AJCEP untuk
sekitar 363 pos tarif dibanding komitmennya di IJEPA seperti ikan dan produk
perikanan, sayuran, buah tropis, jus, kakao, makanan olahan, minyak dan gas,
kulit dan produk kulit, kayu lapis, kertas & produk kertas, alas kaki, perhiasan
dsb.
Meningkatkan investasi Jepang di Indonesia, saat ini Jepang termasuk salah
satu negara investor terbesar Indonesia.
Meningkatkan akses pasar Indonesia ke Jepang baik dari segi perdagangan
barang maupun jasa (tenaga kerja).
Terjadinya alih teknologi.
Manfaat lainnya dari Persetujuan AJCEP antara lain adalah:
Indonesia memiliki Exclusion List yang lebih besar dibanding Jepang (854 pos
tarif vs 627 pos tarif)
Kriteria ROO yang lebih baik untuk general rules yaitu RVC 40% atau Change in
Tariff Classification (CTC) dalam 4 digit
Mencakup bagian DSM, SPS dan TBT yang tidak terdapat dalam IJEPA
Menyediakan program-program kerjasama ekonomi dan kegiatan capacity
building
E. PERDAGANGAN BARANG
Secara umum komitmen Indonesia berbasis pada posisi Indonesia Japan Economic
Partnership Agreement (IJEPA), namun komitmen Indonesia dalam AJCEP lebih
konservatif dibanding IJEPA. Kategori liberalisasi tarif bea masuk dibagi menjadi 2
(dua) yaitu penghapusan tarif (Normal Track) dan penurunan tarif (Sensitive Track).
I. Modalitas
a) Normal Track (NT) – ASEAN sebesar 90% dari total pos tarif dan Jepang
sebesar 92% dari total pos tarif dan nilai dagang, terdiri atas eliminasi dalam
tempo 10 tahun (88%) dan penghapus lebih lanjut (4%)
b) Sensitive Track (ST) - 8% dari total pos tarif 6 digit dan nilai dagang.
Khusus untuk Sensitive Track tersebut, modalitas dibagi atas 3 (tiga) elemen yaitu:
Sensitive List (SL) – 4.8% hanya dari nilai dagang, diturunkan hingga
mencapai tingkat tarif 0-5% dengan maksimum 2% dari nilai dagang
dicadangkan untuk Tariff Rate Quota (RTQ) sebagai safety-net measures;
Highly Sensitive List (HSL) – 2.2% hanya dari nilai dagang, diturunkan hingga
mencapai tingkat tarif lebih dari 50% dan sebagian mencapai tingkat tarif tidak
lebih dari 20%
Exclusion List (EL) – sebanyak 1 dari nilai dagang dan 1-3% dari pos tarif.
Jadwal Indonesia
Jumlah pos tarif yang akan mengalami penghapusan tarif dalam Normal Track
sebanyak 9.873 pos tarif atau 88.1% dari 11.159 total pos tarif. Pada saat entry
to force Indonesia menghapuskan sebanyak 3.897 pos tarif atau 34,8% dari
total pos tarif. Penghapusan tarif untuk Normal Track pada tahun ke-11 dari
entry to force.
Sedangkan jumlah pos tarif yang berada dalam Sensitive Track berjumlah 1.335
atau sebesar 11.9%. Hal ini dikategorikan menjadi 3 kelompok yaitu: (i)
Standstill, (ii) penurunan tarif menjadi 5% sebanyak 17 kali dan (iii) exclusion.
Sebanyak 304 pos tarif mengalami standstill dimana tidak akan mengalami
penurunan/penghapusan pos tarif dan 177 pos tarif akan mengalami
penurunan pos tariff menjadi 5% pada tahun ke-17 setelah persetujuan ini
memasuki entry into force. Sebanyak 854 produk atau 7.7% dari total pos tarif
berada dalam Exclusion. List yang antara lain terdiri dari: daging, jeruk, gula,
beras, tepung, alkohol, produk kimia, limbah farmasi, besi baja, alat mesin
pertanian, senjata, dan lainnya.
Jadwal Jepang
Jumlah pos tarif yang akan mengalami penghapusan tarif dalam Normal Track
sebanyak 7.882 pos tarif atau 86.5% dari total pos tarif. Pada saat entry to
force Jepang menghapuskan sebanyak 7.287 pos tarif atau 80% dari 9.111
total pos tarif. Penghapusan tarif untuk Normal Track pada tahun ke-11 dari
entry to force.
Jepang akan mengeliminasi tarif bea masuk hingga 90% dalam 5 tahun
kedepan.
Sensitive Track berjumlah 1.229 pos tarif dikategorikan dalam 3 (tiga) kategori
yaitu Sensitive List sebanyak 205 pos tarif, Highly Sensitive List sebanyak 397
pos tarif dan Exclusion List sebanyak 627 pos tarif.
Sebanyak 627 produk atau 6.9% dari total pos tarif berada dalam Exclusion List
yang antara lain terdiri dari : daging, ikan, keju, jamur, tepung, kedelai,
rokok,produk makanan jadi, dan kepompong sutra.
II. ROO (Rules of Origin)
Barang disebut sebagai originating goods dan berhak untuk mendapatkan konsesi
tarif apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut :
wholly obtained or produced;
non-originating material (Regional Value Content-RVC tidak lebih dari 40%
atau mengalami Change in Tariff Classification-CTC pada level 4-digit);
F. PERDAGANGAN JASA & INVESTASI
ASEAN dan Jepang sepakat untuk menegosiakan lebih lanjut dibidang perdagangan
jasa dan kesepakatan dibidang investasi.
Negosiasi dibidang jasa dan investasi akan dimulai setelah seluruh negara AJCEP
mengimplementasikan chapter perdagangan barang.
G. KERJASAMA EKONOMI
Bidang kerjasama ekonomi dalam skema AJCEP mencakup area sebagai
berikut:Trade-Related Procedures; Business Environment; Intellectual Property;
Energy; Information and Communications Technology; Human Resource
Development; Small and Medium Enterprises; Tourism and Hospitality;
Transportation and Logistics; Agriculture, Fisheries and Forestry; Environment;
Competition Policy; dan area lain yang disepakati bersama.
Sub-Committee on Economic Cooperation akan dibentuk pada saat entry to force
persetujuan ini untuk memonitor perlaksanaan kegiatan kerjasama ekonomi tersebut.
Kegiatan kerjasama ekonomi minimal melibatkan 2 (dua) negara anggota ASEAN
dan Jepang.
ASEAN - KOREA FREE TRADE AREA
A. PENDAHULUAN
ASEAN-Korea Free Trade Area (AkFTA) merupakan kesepakatan antara negaranegara
anggota ASEAN dengan Korea untuk mewujudkan kawasan perdagangan
bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan
barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan
ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk
mendorong hubungan perekonomian para Pihak AKFTA dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Korea.
B. LANDASAN HUKUM & CAKUPAN AKFTA
Pada pertemuan KTT ASEAN-Korea pada bulan Nopember 2004 di Vientiane, Laos
para Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN dan Korea menyepakati “Joint
Declaration on Comprehensive Cooperation Partnership between ASEAN and Korea,
establishing ASEAN-Korea Free Trade Area” sebagai landasan hukum bagi
pembentukan ASEAN dan Korea FTA
Framework Agreement dan Persetujuan Penyelesaian Sengketa AKFTA selanjutnya
ditandatangani para Menteri Ekonomi ASEAN dan Korea pada tanggal
13 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia. Persetujuan Perdagangan Barang
AKFTA ditandatangani pada tanggal 24 Agustus 2006 di Kuala Lumpur, Malaysia,
sedangkan Persetujuan Jasa AKFTA ditandatangani pada saat KTT ASEAN di
Singapura tahun 2007 dan Persetujuan Investasi ASEAN Korea ditandatangani pada
KTT ASEAN Korea pada bulan Juni 2009 di Jeju Island, Korea.
AKFTA telah menjadi sebuah persetujuan FTA yang komprehensif dengan telah
ditandatanganinya persetujuan-persetujuan dibidang perdagangan barang,
perdagangan jasa dan investasi.
Peraturan Nasional Terkait Persetujuan AKFTA
• Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 tentang
Pengesahan Framework Agreement On Comprehensive economic Co-Operation
Among The Government of the Member Countries of the Association of
Southeast Asian Nations and the Republic of Korea.
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2007 tanggal 3 Juli
2007 tentang Penetapan tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-Korea Free
Trade Area.
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.011/2007 tanggal 30
Oktober 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
75/PMK.011/2007 tentang Penetapan tarif Bea Masuk dalam rangka ASEANKorea
Free Trade Area.
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 41/PMK.011/2008 tanggal 3 Maret
2008 tentang Penetapan tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-Korea Free
Trade Area.
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 236/PMK.011/2008 tanggal 23
Desember 2008 tentang Penetapan tarif Bea Masuk dalam rangka ASEANKorea
Free Trade Area.
C. TUJUAN ASEAN-KOREA FTA
• Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi
antara negara-negara anggota.
• Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa
serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah
investasi.
• Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan
kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negaranegara
anggota.
• Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru
(Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam –CLMV) dan menjembatani
kesenjangan pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota.
D. PELUANG
• Meningkatnya akses pasar produk ekspor nasional ke Korea Selatan dengan
tingkat tarif yang relatif rendah dan pasar yang luas.
• Meningkatnya kerjasama antara pelaku bisnis di kedua negara melalui
pembentukan “Aliansi Strategis”.
• Meningkatnya ekspor produk unggulan Indonesia dalam menjangkau peluang
pasar Korea.
• Terbukanya transfer teknologi antara pelaku bisnis di kedua negara.
E. MANFAAT
Akses pasar ekspor Indonesia ke Korea akan meningkat per implementasi akibat
penghapusan tarif 70% pos tarif Korea dalam Normal Track
Produk-produk yang akan dihapuskan tarifnya pada waktu implementasi, antara
lain binatang hidup, ikan, sayuran, minyak sawit, produk kimia, produk kertas,
tekstil dan produk tekstil, alas kaki, kulit, produk kayu dan sebagainya.
Akses pasar ekspor Indonesia ke Korea pada tahun 2008 akan meningkat akibat
ア 95% pos tariff Korea dalam Normal Track akan dihapus.
Tahun 2010, seluruh pos tariff Korea dalam NT akan dihapuskan.
Sensitive Track AKFTA mencapai 464 pos tariff (HS-6 digit) antara lain
perikanan, beras, gula, wine-alcohol, produk kimia, tekstil, baja, komponen dan
sebagainya.
F. TANTANGAN
• Indonesia harus dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas produksi sehingga
dapat bersaing dengan produk-produk Korea.
• Menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam rangka meningkatkan daya saing.
• Memperluas akses pasar.
• Meningkatkan kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi dan
komunikasi termasuk promosi pemasaran dan lobby.
G. PERSETUJUAN PERDAGANGAN BARANG
I. Modalitas
Implementasi dari dimulai 1 Juli 2006-2010 untuk Normal Track serta 1 Januari
2012-2016 untuk Sensitive Track.
Liberalisasi di bidang Perdagangan barang (Trade in Goods), mengadopsi konsep/
regime (i) Reciprocal Arrangements, serta (ii) Rules of Origin (ROO)
Usulan Korea pada tahun 2010 penghapusan tarif sekurang-kurangnya mencapai
90% dari total pos tarif (tariff lines) bagi ASEAN 6 dan Korea.
Memberikan fleksibilitas jangka waktu yang lebih lama 5 tahun untuk negaranegara
Cambodia, Laos, Myanmar, Vietnam (CLMV).
Normal Track (NT)
Produk yang masuk kedalam kategori Normal Track adalah produk yang
dipercepat penurunan/penghapusan tarif bea masuknya dengan tujuan untuk
meningkatkan volume perdagangan antar ASEAN-Korea. Pengaturan
modalitasnya adalah sebagai berikut :
ASEAN 6 (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Philippina, Brunei) dan
Korea batas waktu Normal Track hingga tahun 2010. Indonesia mendapat
fleksibilitas 2 tahun hingga 2012 untuk dapat menghapus seluruh pos tarif
dalam Normal Track.
Viet Nam mendapat tambahan 6 tahun.
Cambodia, Laos dan Myanmar mendapat tambahan 8 tahun.
Komitmen Penurunan Tarif Normal Track
ASEAN 6
1. Akan menurunkan 50% pos tarifnya menjadi 0-5% paling lambat 1 Januari 2007.
2. Akan menghapus paling sedikit 90% pos tarifnya menjadi 0% paling lambat 1
Januari 2009.
3. Akan menghapus seluruh pos tarifnya menjadi 0% pailing lambat 1 Januari 2010
dengan fleksibilitas maksimum 5% pos tarif dihapus menjadi 0% paling lambat 1
Januari 2012.
4. Akan menghapus seluruh pos tarif 0% paling lambat 1 Januari 2012.
KOREA
1. Akan menghapus paling sedikit 70% pos tarifnya menjadi 0% pada saat entry into
force.
2. Akan menghapus paling sedikit 95% pos tarifnya menjadi 0% paling lambat 1
Januari 2008.
3. Akan menghapus seluruh pos tarif menjadi 0% paling lambat 1 Januari 2010.
Sensitive Track (ST)
Produk yang masuk kedalam kategori Sensitive Track adalah produk yang dianggap
sensitif dan akan diturunkan tarif bea masuknya dengan pola yang lebih lambat dari
produk dalam kategori Normal Track.
Batas maksimum jumlah pos tarif dalam Sensitive Track ASEAN 6 & Korea adalah 10%
dari total pos tarif (Total HS. 6 Digit = 5.225 pos tarif atau Total HS. 10 Digit = 11.171
pos tarif) dan 10% dari total nilai impor dari Korea atau dari anggota ASEAN secara
keseluruhan, berdasarkan Data Perdagangan tahun 2004.
Sensitive Track dibagi menjadi 2 yaitu:
(i) Sensitive List (SL)
- Menurunkan tarif MFN yang berlaku pada Sensitive List
menjadi 20% not later than 1 January 2012.
- Tarif ini akan secara bertahap diturunkan menjadi 0-5%
not later than 1 January 2016.
(ii) Highly Sensitive List (HSL), dengan batas maksimum 200 pos tarif (HS 6-digit) atau
3% dari keseluruhan pos tarif (berdasarkan HS digit yang dipilih) dan 3% dari total
nilai impor individu negara-negara ASEAN dari Korea dan sebaliknya berdasarkan
statistik perdagangan tahun 2004.
Highly Sensitive List dikelompokkan dalam 5 group, yaitu: (lihat Tabel 1)
Group Keterangan
Group A produk-produk yang tarifnya diatas 50% akan menjadi 50%
pada 1 Januari 2016.
Group B produk-produk kelompok ini akan mengalami penurunan tarif
sebesar 20% pada 1 Januari 2006.
Group C produk-produk kelompok ini akan mengalami penurunan tarif
sebesar 50% pada 1 Januari 2016.
Group D Tariff Rate Quota (TRQ).
Group E Exclution List. Produk-produk yang tidak mengalami penurunan
tarif. Akan selalu berlaku tarif MFN, dengan ketentuan jumlah
maksimum 40 pos tarif (HS 6-digit)
Produk Sentitive Track Indonesia berada pada Group A,B, dan E.
Pola penurunan tarif dalam kerangka ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) dibagi
menjadi 2 track, yaitu Normal Track dan Sensitive Track.
Pengaturan Timbal Balik (Reciprocal Arrangements)
Jumlah Produk ST Korea setelah dikorelasikan ke pos tarif Indonesia sebanyak 898
pos tarif. Yang layak untuk dikenakan aturan timbal bailk sebanyak 665 pos tarif
Sisa yang tidak bisa dikenakan aturan timbal balik sebanyak 233 produk karena juga
termasuk ST dalam pos tarif Indonesia dan/atau tarif BM MFN nya sudah 0%.
II. Ketentuan Asal Barang
ASEAN dan Korea sepakat menggunakan General Rule untuk mengatur Rules of Origin
suatu barang yaitu dengan menggunakan Regional Value Content tidak kurang dari 40%
FOB (dikenal dengan RVC-40) atau Change of Tarif Heading (CTH), selain itu
menggunakan Product Special Rules (PSR) untuk produk-produk yang tidak
menggunakan general rule.
G. PENYELESAIAN SENGKETA
Untuk menyelesaikan persengketaan antara negara-negara terkait ASEAN-Korea FTA,
telah diatur dalam Persetujuan Penyelesaian Sengketa. Persetujuan yang memberikan
pedoman mengenai mekanisme dan prosedur penyelesaian suatu sengketa tersebut
telah ditandatangani oleh Menteri Perdagangan masing-masing negara pada tanggal 13
Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia.
H. PERSETUJUAN PERDAGANGAN JASA
Persetujuan Jasa AKFTA menggunakan komitmen yang terdapat dalam Persetujuan
Jasa ASEAN (AFAS ke-4 Plus Minus) sebagai basis dalam menetapkan komitmen
ASEAN dan Korea untuk sektor jasa. Beberapa contoh dari kriteria plus minus
Persetujuan Jasa AKFTA adalah: (i) AFAS-4 Plus untuk sektor Education dan Energy,
dan (ii) AFAS-4 Minus untuk sektor Professional Business, Transport Services, dan
Financial Service.
I. PERSETUJUAN INVESTASI
Persetujuan Investasi ASEAN Korea merupakan bagian strategis dari proses
pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN Korea. Hal ini sebagaimana
tertuang dalam Persetujuan Kerangka Kerja Menyeluruh ASEAN Korea atau Framework
Agreement on Comprehensive Economic Cooperation among the Government of the
Republic of Korea and The Member Countries of the Association of Southeast Asian
Nations yang telah disepakati sebelumnya oleh kedua pihak pada tanggal 13 Desember
2005.
Persetujuan Investasi ASEAN dan Korea akan mulai berlaku 2 bulan setelah Korea dan
salah satu Negara Anggota ASEAN menotifikasikan penyelesaian prosedur domestik
kepada seluruh Pihak.
Tujuan pokok dari dibentuknya Persetujuan Investasi ASEAN dan Korea adalah untuk
meningkatkan promosi, fasilitasi, proteksi dan liberalisasi investasi demi peningkatan
arus investasi di kedua wilayah dengan :
menciptakan kondisi investasi yang positif;
mengembangkan sistem dan aturan investasi yang berdaya saing dan transparan;
mendorong promosi arus investasi dan kerjasama investasi;
memperbaiki investasi yang transparan dan kondusif; serta
memberikan perlindungan investasi.
Bagi Indonesia dan Negara-negara Anggota ASEAN lainnya, dengan ditandatanganinya
Persetujuan Investasi ASEAN - Korea tersebut diharapkan akan sangat menunjang
perkembangan ekonomi kedua pihak dimasa mendatang. Berbagai manfaat dari adanya
Persetujuan tersebut tentunya akan mendorong arus penanaman modal dari Korea
sebagai investing country dan Negara-negara Anggota ASEAN termasuk Indonesia
sebagai host country yang pada akhirnya akan membantu upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan lapangan pekerjaan yang semakin
terbuka dan juga sekaligus diharapkan dapat mengurangi kesenjangan ekonomi.
KERJASAMA EKONOMI
Proyek-proyek Kerjasama Ekonomi, ASEAN dan Korea mencakup dalam bidang-bidang
sebagai berikut:
a) prosedur kepabeanan;
b) promosi perdagangan dan investasi;
c) usaha kecil dan menengah ;
d) manajemen dan pengembangan sumber daya manusia;
e) pariwisata;
f) ilmu pengetahuan dan teknologi;
g) jasa keuangan;
h) teknologi informasi dan komunikasi;
i) komoditi pertanian, perikanan, perkebunan dan kehutanan;
j) kekayaan intelektual;
k) industri lingkungan;
l) penyiaran;
m) teknologi konstruksi;
n) standar dan penilaian kesesuaian, dan tindakan sanitary dan phytosanitary;
o) pertambangan;
p) energi;
q) sumber daya alam;
r) pembangunan perkapalan dan transportasi laut; dan perfilman.
Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC)
APEC adalah singkatan dari Asia-Pacific Economic Cooperation atau Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik. APEC didirikan pada tahun 1989. APEC bertujuan mengukuhkan pertumbuhan ekonomi dan mempererat komunitas negara-negara di Asia Pasifik.
Anggota APEC
APEC saat ini memiliki 21 anggota, kebanyakan adalah negara yang memiliki garis pantai ke Samudra Pasifik.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC
KTT APEC diadakan setiap tahun di negara-negara anggota. Pertemuan pertama organisasi APEC diadakan di Canberra, Australia pada tahun 1989.
APEC menghasilkan "Deklarasi Bogor" pada KTT 1994 di Bogor yang bertujuan untuk menurunkan bea cuka hingga nol dan lima persen di lingkungan Asia Pasifik untuk negara maju paling lambat tahun 2010 dan untuk negara berkembang selambat-lambatnya tahun 2020.
Pada tahun 1997, KTT APEC diadakan di Vancouver, Kanada. Kontroversi timbul ketika kepolisian setempat menggunakan bubuk merica untuk meredakan aksi para pengunjuk rasa yang memprotes kehadiran Soeharto yang menjabat sebagai presiden Indonesia pada saat itu.
Pada tahun 2003, kepala organisasi Jemaah Islamiyah Riduan Isamuddin alias Hambali berencana melancarkan serangan pada KTT APEC di Bangkok, Thailand. Hambali ditangkap di kota Ayutthaya oleh kepolisian setempat sebelum ia dapat melaksanakan serangan itu.
Pada tahun 2004, Chili menjadi negara Amerika Selatan pertama yang menjadi tuan rumah KTT APEC.
Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC)
OPEC (singkatan dari Organization of the Petroleum Exporting Countries; bahasa Indonesia: Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi) adalah organisasi yang bertujuan menegosiasikan masalah-masalah mengenai produksi, harga dan hak konsesi minyak bumi dengan perusahaan-perusahaan minyak.
OPEC didirikan pada 14 September 1960 di Bagdad, Irak. Saat itu anggotanya hanya lima negara. Sejak tahun 1965 markasnya bertempat di Wina, Austria.
Anggota
Afrika
• Aljazair (1969)
• Angola (1 Januari 2007)
• Libya (Desember 1962)
• Nigeria (Juli 1971)
Asia
• Arab Saudi (negara pendiri, September 1960)
• Iran (negara pendiri, September 1960)
• Irak (negara pendiri, September 1960)
• Kuwait (negara pendiri, September 1960)
• Qatar (Desember 1961)
• Uni Emirat Arab (November 1967)
Amerika Selatan
• Ekuador (1973-1993, kembali menjadi anggota sejak tahun 2007)
• Venezuela (negara pendiri, September 1960)
Anggota yang keluar
• Gabon (keanggotaan penuh dari 1975-1995)
• Indonesia (anggota dari Desember 1962-Mei 2008)
Pada Mei 2008, Indonesia mengumumkan bahwa mereka telah mengajukan surat untuk keluar dari OPEC pada akhir 2008 mengingat Indonesia kini telah menjadi importir minyak (sejak 2003) atau net importer dan tidak mampu memenuhi kuota produksi yang telah ditetapkan.
Kemungkinan jadi anggota
• Suriah, Sudan, dan Bolivia (ketiga negara ini sudah diundang oleh OPEC untuk bergabung)
• Brazil (Ingin bergabung setelah ditemukan cadangan minyak yang besar di Atlantik)