Rotating X-Steel Pointer

Sabtu, 13 Februari 2010

AKUNTANSI SYARI’AH: PARADIGMA BARU AKUNTANSI YANG RAMAH SOSIAL

Pendahuluan

Wacana ekonomi syari’ah terus bergulir dalam konteks kehidupan global. Pada awalnya wacana tersebut muncul dengan malu-malu dan disambut dingin oleh sebagian ahli bahkan tidak sedikit yang mempersoalkan landasan epistimologi dan ontologinya. Sekarang wacana tersebut telah menampakan geliat yang luar biasa dan telah menjadi wacana publik. Ini dapat dilihat dari elan wacana ekonomi syari’ah yang tidak saja berhenti pada persoalan riba dan bunga bank, akan tetapi memasuki wacana ekonomi syari’ah yang lebih luas, sepertitentang penciptaan system ekonomi yang adil, system akuntansi dan manajemen dari kegiatan ekonomi dan sebaginya.

Dalam konteks global, pakar di bidang akuntansi syari’ah boleh dibilang masih sangat sedikit untuk tidak mengatakan tidak ada.

Peneliotian ini mencoba merekonstruksikan dan memahami bagaimana realitas kehidupan organisasi bisnis (atau transaksi ekonomi) dan organisasi social baik dalam bentuk mikro dan makro yang dibentuk dan dilakukan oleh masyarakat muslim. Penelitian ini adalah survey yang bersifat deskriptif- analitik dengan mengambil obyek studi BPRS BAS dan BMI yang dipersiapkan dan dibentuk oleh MUI dan ISED (Institute for Shari’ah Economic Development),serta BAZIS DKI dan LZI Universitas Brawijaya Malang.Dan obyek studi tersebut mewakilidari dua lembaga yang mempunyai dua karakter berbeda yang bertolak belakang.Dua yang pertama (BPRS BAS & BMI) sebagai representasi lembaga bisnis profit-oriented, yang bersifat egoistic dalam rangka meraih kuntungan untuk kepentingan kelompok atau pribadi. Sementara dua yang terakhir (BAZIS DKI & LZI) sebagi reperesentasi dari lembaga social non profit, yang altruistic; mementingkan orang lain yang lemah dengan melakukan penyantunan sosial.

Dan untuk merekonstruksikan fenomena lembaga social yang altruistic dan lembaga bisnis yang egoistic di atas, menggunakan pendekatan phsikolgis-sosiologis (baca phsicologi-sosial) di samping pendekatan histories dan normative. Pendekatan-pendekatan ini, digunakan untuk melakukan pembacaan terhadap realitas emperik kehidupan bisnis-sosial kaum muslim dan nilai-nilai normative yang terkandung dalam ajaran agama yang menjadi spirit mereka, dalam kerangka integrative. Pendekatan yang integrative ini dilakuakn, dalam rangka mendamaikan dunia empiris (realitas) dengan penalaran normative. Dengan ungkapan lain penelitian ini juga bersifat induktif-deduktif. Dalam konteks ini beralasan sebagai berikut:

“Ini dikarenakan tidak adanya jaminan bahwa realitas empiris senantiasa bersesuaian dengan pandangan-pandangan normative. Sebaliknya, penggunaan penalaran normative secara ekstensif, tanpa melihat dan mempertimbangkan atau bahkan mengabaikan realitas empiris akan membawa pada gagasan-gagasan normative yang secara terus menerus bakal melayang-layang di angkasa imajinasi dan tidak pernah membumi.”[13]

Dan cara kerja pendekatan ini, menurut adalah: Pertama, melihat realitas sebagaimana adanya, dengan menganalisis dan menjelaskan proses yang dibangun secara social. [14] Kedua, setelah memberikan penjelasan (makna) realitas, perlu mengkofirmasikan dengan pandangan-pandangan normative, yakni etika (syariah) Islam, dalam rangka tindakan yang lebih jauh, untuk menerimanya sebagaimana adanya, atau membentuk kembali atau mengubahnya dengan arahan tertentu yang mungkin membawa pada realitas etis; realitas-relaitas tersebut menjaring individu-individu dalam jaringan etika yang membimbing atau mengarahkanya kepada kesadaran transcendental dan teologis bahwa mereka hanyalah hamba-hamba Tuhan.[15]

Untuk melakukan pembacaan dan analisis yang tepat terhadap obyek studi, mengelaborasi symbolic interacsionism, sebagai metode interpretatifnya. Symbolic interacsionism adalah sebuah perspektif dalam psikologi social yang pada dasarnya mempelajari bagaimana manusia melakukan interaksi social (social interaction) dalam kehidupan sehari-harinya. Manusia dalam perspektif ini, melakukan aksi dan reaksi berdasarkan makna yang terkandung dalam sebuah symbol. Sedangkan makna itu sendiri juga diperoleh melalui interaksi social. [16]

Hanya saja symbolic interacsionism yang dielaborasi sebagai metode interpretasi tidak taken for granted begitu saja. Dalam kaitan ini melakukan modifikasi terhadap metode tersebut sehingga bisa relevan dan cocok digunakan sebagai alat analisis terhadap realitas empiris kehidupan social dan bisnis masyarakat muslim. Hasil modifikasi terhadap metode tersebut, disebut dengan interaksionisme simbolik yang diperluas (extended symbolic interacsionism).[17]

Konstruksi Paradigmatis Akuntansi Syariah

Akuntansi menurut merupakan produk yang senantiasa berubah; kemungkinan hal itu dipengaruhi oleh lingkungan organisasi, teknologi yang diterapkan dalam organisasi, tugas-tugas menejerial, dan manajemen struktur, atau oleh lingkungan yang lebih luas seperti kebudayaan, politik, ekonomi, system hokum dan kondisi social. Revrisond Baswir dalam sebuah makalahnya yang berjudul Akuntansi dan Idiologi, pada bagian penutup menyatakan:

…munculnya kesan bahwa akuntansi juga memiliki kaitan dengan idelogi sulit untuk dielakan, akuntansi seperti yang saat ini diajarkan pada jurusan-jurusan akuntansi di Indonesia, ternyata sangat kuat dipengaruhi oleh kapitalisme. Pengaruh kapitalisme itu terutama tampak sangat nyata pada kuatnya pengaruh prinsip ekonomi kapitalistik dalam penyajian laporan pendapatanya.[19]

Pendapat di atas menunjukan bahwa nilai-nilai, system dan filsafat sebuah ilmu akan turut menentukan model ilmu yang berkembang di suatu negara. Apabila suatu negara menganut system ekonomi kapitalis, maka system akuntansi yang berkembang adalah system kapitalis. Demikian pula, apabila suatu negara mengikuti system ekonomi Islam maka system akuntansinya pun akan berafiliasi pada nilai-nilai Islam (syariah).

Dan menurut paradigma interaksionisme simbolik, penyebab utama perubahan akuntansi tersebut, adalah diri. Karena diri memiliki potensi untuk menciptakan dan membentuk realitas. Dan realitas yang tercipta dan terbentuk menjadi sumber-sumber bagi pembangunan realitas selanjutnya yang, tentu saja, akan mempengaruhi prilaku individu. Dengan merujuk sejumlah kalangan, bahwa moralitas atau etika menjadi hal yang krusial yang dibutuhkan untuk melengkapi diri, sehingga realitas yang diciptakan atau dibentuk oleh diri pribadi akan memberi efek yang baik.[20]

Dalam konteks ini, mengajukan syariah sebagai etika, yang terdiri atas bukan hanya kognitif rasional (pengetahuan),[21] tetapi juga iman keagamaan yang didalamnya kesadaran individu tertanam. Dan etika dalam konteks akuntansi syari’ah tentunya harus merefleksikan dari konsep zakat dan amanah yang dimetaforisasikan.[22]

1.Akuntansi sebagai Metafora Amanah

Amanah menjadi sesuatu yang memunculkan implikasi-implikasi luas bagi persepsi mengenai cara melakukan bisnis perbankan dan memproduksi produk-produk perbankan, kehadiran watak altruistic dan egoistic dalam bisnis dan produk, serta pesepsi dalam memperlakukan standar akuntansi, dan situasi-situasi lain yang membawa praktik akuntansi menuju praktik yang dikondisikan.

Dalam bab VII, mengidentifikasi persepsi individu-individu berkenaan dengan organisasi, baik organisasi bisnis maupun social. Temuan dari penelitian ini menunjukan bahwa individu pada umumnya memetaforakan organisasi, sebagai amanah. Bagian lain bab ini mengidentifikasi proses pencarian tujuan real organisasi (baik organisasi social maupun bisnis) yang telah dimetaforakan sebagai amanah. Terbukti berdasarkan pandangan normal, bahwa tujuan utama organisasi adalah penyampaian rahmat bagi keseluruhan alam (rahmatan lil ‘alamin), dan tujuan ini bisa diterjemahkan ke dalam sasaran-sasaran operasional yang mugkin kontekstual tergantung pada jenis organisasinya dan situasi-situasi lainya. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebutdalam bagian-bagian akhir bab ini dikemukan, perlu menggunakan pedoman yang dapat membedakan yang benar dari yang salah, yang baik dari yang buruk, dan yang adil dari yang tidak adil; itulah etika. Berkaitan dengan itu, mengajukan syari’ah sebagai etika.[23]

Menurut temuan ini bahwa ada hubungan yang kuat antara iman dan pengetahuan (dan selanjutnya tindakan) yang dipercaya, dipahami dan diimplementasikan oleh diri yang terlibat dalam lembaga tersebut. Iman dianggap sebagai inti paling dasar dari setiap muslim dan yang menggemakan nilai-nilai tertentu dan mempengaruhi cara berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan iman ini, diri mempertimbangkan bahwa pengetahuan agama, yang utamanya terdiri atas Qur’an dan Sunnah, sangat penting, di samping pengetahuan tentang sains, yang membimbing implementasi zakat. Sebagai konsekuensinya, konsep manajemen amanah mengalir dari intepretasi terhadap al-Qur’an dan pemikiran keagamaan lainya, dan begitu pula praktik akuntansinya.[24]

Amanah, dalam konteks praktik akuntansi, diinterpretasikan sebagai akuntabilitas, dalam pengertian bahwa orang-orang yang memegang amanah harus bertanggung jawab kepada pemegang saham, pelaksana, masyarakat dan Tuhan.[25] Bentuk tanggung jawab untuk tiga kelompok pertama bersifat “formal”, yakni dalam arti sempit menerbitkan laporan keuangan dengan mengikuti standar akuntansi yang sudah ada sebagai “norma-norma”. Tanggung jawab kepada Tuhan berarti bahwa pemegang amanah, dalam mempersiapkan dan menerbitkan laporan keuangan, secara etis (moral) harus sesuai dengan norma-norma tersebut.[26]

2.Akuntansi Sebagai Metafora[27] Zakat

Dalam pandangan penelitian ini bahwa akuntansi merupakan refleksi bangunan realitas organisasi etis, baik organisasi yang berbentuk social maupun bisnis. Akuntansi syariahpun juga merefleksikan nilai-nilai etis syari’ah yang menggambarkan dan mengakomodir sifat dan organisasi yang bersangkutan. Dan etika syariah dalam organisasi bisnis islami sebetulnya merupakan konsekuensi logis dari penggunaan metafora zakat dalam melihat sebuah organisasi, di samping metafora amanah.[28]

Bahwa zakat merupakan realitas yang diperlukan oleh, dan juga “merek dagang’ dari organisasi.[29] selanjutnya menyatakan bahwa zakat merupakan realitas imperatif, karena:

1.hal tersebut merupakan “esensi filosofi ekonomi Islam dan kerangka system fungsional.

2.dengan mendapatkan tujuan organisasi yang lebih tinggi, yakni ‘menyebar rakhmat”, kita bisa menunjukan dengan jelas bahwa membayar zakat merupakan tujuan operatif organisasi.

3.zakat mempunyai sisi ganda; ia tidak hanya berkenaan dengan dorongan egoistis, melainkan juga dengan dorongan altruistic.

4.untuk membayar zakat perusahaan harus mampu memperoleh kekayaan. Ini berarti bahwa untuk mendapatkan kekayaan, perdagangan, asuransi, dan sebaginya sepanjang sesuai dengan syari’ah.

Zakat dalam pengertian filosofi Islam menunjukan bahwa Allah adalah pemilik asli dari semua kekayaan.[30] Saud seperti yang dikutip mengungkapakan bahwa Dia (Allah), dalam kapasitas ini memberlakukan pajak terhadap kekayaan semua manusia sebagai abdi-Nya. Sedangkan dalam kerangka system fungsional zakat secara tidak langsung segala sesuatu di dunia ini mengalami depresiasi.[31]

Sementara itu, organisasi harus memanifestasikan potensi egois dan altruismenya untuk mencapai tujuan membayar zakat. Sifat egois adalah berguna untuk memperoleh keuntungan, sedangkan sifat altruis adalah untuk membayar zakat. Tujuan ini menunjukan bahwa tujuab membayar zakat merupakan tujuan operatif organisasi. Tujuan ini menunjukan harus berusaha mencari keuntungan dan dalam waktu yang bersamaan membayar zakat. Artinya, organisasi itu hanya mampu membayar zakat bila memiliki kekayaan, misalnya dengan memperoleh keuntungan. Kekayaan yang diperoleh dari bisnis dikenakan wajib zakat yang dibayarkan oleh perusahaan atas para pemiliknya (pemegang saham). Ini berarti perusahaan tidak bertanggungjawab hanya pada bsnis yang dijalankan, tetapi juga pada pembayaran zakat sebagai tujuan organisasi di samping memaksimalkan keuntungan.

Dari sifat-sifat zakat di atas kita dapat memahami dengan sangat jelas bahwa zakat sebagai metaforisasi realistis etis organisasi bisnis tersusun atas unsure-unsur ‘fisik” dan “metafisik” yang akan mengkonstruk akuntansi syari’ah. Akuntansi harus mencerminkan semua hal tersebut.[32] Ketika akuntansi merefleksikan realitas, akan ada informasi dan symbol yang kemungkinan bervariasi dengan praktik-praktik akuntansi dalam organisasi bisnis kontemporer.

Prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam akuntansi syari’ah yang didasarkan dan sesuai dengan syari’ah Islam, selanjutnya harus distrukturkan baik secara implicit maupun eksplisit sesuai dengan konsep manusia sebagai khalifah di muka bumi dalam rangka memenuhi kewajiban membayar zakat.[33] Identifikasi dasar penentuan zakat dalam akuntansi syari’ah merupakan landasan penentuan dan penjelasan prinsip, aturan, dan standar akuntansi syari’ah. Hal tersebut diperlukan guna memfasilitasi tugas akuntan dalam mengidentifikasi dan memahami cakupan tanggung jawab dalam pengukuran, penyajian, dan pengungkapan laporan keuangan untuk tujuan zakat.[34]

Seperti halnya akuntansi konvesional, selain terdapat prinsip-prinsip, akuntansi syariah juga harus mempunyai prosedur yang merupakan tata cara (proses) yang harus dilaksanakan dalam akuntansi syari’ah,[35] termasuk pengungkapan secara penuh atas informasi akuntansi yang diikuti dengan penentuan jumlah yang tepat atas besarnya zakat yang harus dibayarkan.

Uraian di atas, secara eksplisit menunjukan bahwa keberadaan etika syariah dalam organisasi bisnis sebetulnya mereupakan konsekwensi logis dari penggunaan metafora amanah dalam melihat sebyah organisasi. Konsekuensi semacam ini akan sulit ditemukan dalam metafora yang lain. Dalam bentuk yang lebih operasional, metafora “amanah” bisa diturunkan menjadi metafora zakat, ataurealitas organisasi yang dimetaforakan dengan zakat. Ini berarti bahwa organisasi bisnis orientasinyatidak lagi prifit-orented atau stakeholders-oriented, tetapi zakat oriented.

Dengan orientasi zakat ini, perusahaan berusaha untuk mencapai ‘angka’ pembayaran zakat yang tinggi. Pengertian angka dan zakat di sini tidak perlu diartikan secara sempit, karena zakat – oriented itu sendiri mempunyai makna dan konsekuensi yang laus dan konprehensif. Dengan demikian, laba bersih (net profit) tidak lagi menjadi ukuran kinerja perusahaan. Gambaran realitas ini akan tercermin pada laporan akuntansi setiap perusahaan.

E. Catatan Akhir

Penelitian yang dilakukan ini merupakn penelitian dasar yang sangat berguna untuk pengembangan akuntasi syari’ah khususnya dan akuntansi konvensional pada umumnya. Dan penelitian ini berangkat dari kegelisahan akademik terhadap realitas akuntansi konvensional yang sangat positivistic dan mengarah pada pengabaian tujuan-tujuan moral dan social. Sehingga akuntansi konvesional berkecenderungan pada reduksionisme realitas yang sebenarnya dan sangat berbahaya bagi kehidupan moral manusia. Oleh karena itu melakukan rekonstruksi ulang ilmu akuntansi dengan mencangkokan nilai-nilai etika merupakan hal yang niscaya dilakukan. Dan syari’ah Islam, menawarkan paradigma akuntansi yang humanitarian dengan memetaforakan zakat dan amanah sebagai landasan etisnya.

Penelitian ini merupakan penelitian survey yang bersifat deskriptif – analitik. Dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah histories, psikologi social dan normative dengan menggunakan metode induktif –deduktif. Dan alat analisis interpertatif yang digunakan adalah “extended interacsionisme symbolic” (interaksionisme sombolik yang diperluas); suatu metode yang dielaborasi dari pshicologi social.

Dan yang menarik dari penelitian ini adalah, bahwa tidak semua metode keilmuan yang ada bisa dipakai sebagai alat interpretasi terhadap obyek penelitian. Akan tetapi perlu modifikasi-modifikasi tertentu sehingga motode tersebut bisa digunakan secara tepat dan efektif. Hal ini ditunjukan ketika memodifikasi interacsionism symbolic menjadi extended interacsionism symbolic.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sahal, “Kemudian, Dimanakah emansipasi? Tentang teori Kritis, Geneologi, dan Dekontruksi”, dalam Kalam, 1994, ed. 1, h. 19.

Afzlurahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa, 2000).

Gibson Burrel & Morgan Gareth, Sociological Paradigms and Organisation Analysis: Element of The Sociology of Corporate life, London: Heinemann, 1979.

Husein Syahtah, Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, alih bahasa Husnul fatarib, Lc, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2001.

Hening Parlan, ‘Reposisi Gerakan Lingkungan Hidup Menuju Gerakan Sosial”, Wacana: Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Lingkungan Versus Kapitalisme Global (Yogykarta: Insist Pers, 2002), ed. 12, tahun III.

Hans Kung, Etika Ekonomi – Politik Global: Mencari Visi Baru bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI, alih bahasa Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Penerbit Qolam, 2002.

Muhammad, Prinsip-Prinsip Akuntansi dalam al-Qur’an,Yogyakarta: UII Press, 2000

M. Baiquni, “Integrasi Ekonomi dan Ekologi: dari Mimpi Menjadi Aksi”, Wacana: Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Lingkungan Versus Kapitalisme Global (Yogykarta: Insist Pers, 2002), ed. 12, tahun III.

Nidal R. Sabri dan M Hisham Jabr, “Etika Bisnis dan Akuntansi dalam Islam”, dalam Sofyan Syafri Harahap, Akuntansi Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 621

Revrisond Baswir, “Akuntansi dan Idiologi”, Kertas Kerja Pada Seminar Nasional Harteknas, Yogyakarta tanggal 27 Desember 1996.

Sadao Takatera, Posibility of Accounting (Kanosei no Kaikeigaku), (Tokyo: Sanrei-Shobo, 1988).

The Canadian Ecumenecal Jubilee Initiative (CIJI), “Utang Ekologis: Selatan Menuntut Utara ‘Kini Waktunya Membayar”, Wacana: Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Lingkungan Versus Kapitalisme Global (Yogykarta: Insist Pers, 2002), ed. 12, tahun III.

Toshikazu Hayashi, “Akuntansi Islam dan dampaknyaTerhadap akuntansi Barat”, dalam Sofyan Syafri harahap, Akuntansi Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2001.

Wacana: Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Lingkungan Versus Kapitalisme Global (Yogykarta: Insist Pers, 2002), ed. 12, tahun III,