Rotating X-Steel Pointer

Minggu, 19 September 2010

Pengertian Insentif Individu

Menurut Simamora (2004), “Insentif individu adalah suatu program
kompensasi yang mengkaitkan bayaran dengan produktivitas seseorang”(p.520).
Atau, dengan kata lain, insentif individu ini memberikan kompensasi menurut
penjualan, produktivitas, atau penghematan biaya yang dihubungkan dengan
karyawan tertentu. Contoh, seorang salesman mungkin saja tidak mau berbagi ide
dengan rekan seprofesinya, karena khawatir bahwa rekannya tersebut akan
memenangkan sebuah penghargaan yang dianugerahkan kepada salesman yang
paling berprestasi.

Keunggulan dari program insentif individu ini adalah bahwa kalangan
karyawan dapat melihat dengan segera adanya hubungan antara apa yang mereka
kerjakan dengan apa yang mereka peroleh. Namun, karena hal itu, kompetisi di
antara para karyawannya semakin tinggi yang suatu saat dapat mencapai suatu
titik yang menghasilkan dampak negatif, dimana para karyawan mulai melakukan
persaingan tidak sehat, demi kepentingan dirinya sendiri.
Sedangkan, menurut Panggabean (2004),”Insentif individu merupakan
suatu program atau rencana insentif yang bertujuan untuk memberikan tambahan
selain gaji pokok bagi individu yang dapat mencapai standar prestasi
tertentu”(p.90). Rencana insentif individu ini bisa berupa rencana upah
perpotongan dan rencana upah per jam secara langsung.

Sebenarnya, bentuk insentif ini adalah salah satu bentuk kompensasi yang
paling tua dan paling sering digunakan, dimana karyawan dibayar untuk unit yang
dihasilkannya. Apabila produktivitas perorangan dapat diukur, insentif individu
adalah yang paling sukses dalam memacu kinerja melalui hubungan langsung
antara kinerja dan imbalan. Insentif individu lebih sering diterapkan di beberapa
industri (garmen, baja dan tekstil) dan pekerjaan lainnya (penjualan dan produksi).
Sistem ini hanya akan berhasil dalam situasi dimana kinerja dapat dispesifikasi
dalam bentuk keluaran (nilai penjualan yang dihasilkan, jumlah produk yang
berhasil dibuat). Selain itu, para karyawan haruslah bekerja secara mandiri antara
satu dengan yang lainnya, sehingga insentif individu dapat diterapkan secara adil.
Keunggulan dari program ini adalah bahwa kalangan karyawan dapat melihat
dengan segera adanya hubungan antrara apa yang mereka kerjakan dengan apa
yang mereka peroleh. Namun hal ini bisa menjadi suatu masalah karena dapat
menimbulkan kompetisi diantara para karyawan yang akhirnya pada suatu titik
dapat menimbulkan hal yang negatif (Simamora, 2004). Program insentif individu
ini pula, terkadang sukar untuk dilaksanakan karena untuk menghasilkan sebuah
produk dibutuhkan kerja sama atau ketergantungan dari seseorang dengan orang
yang lain (Panggabean, 2004).

Program insentif individu ini meliputi beberapa macam, antara lain
(Panggabean, 2004) :

1. Piece Rate incentive
Adalah suatu sistem pembayaran berdasarkan pada jumlah benda yang
diproses oleh setiap pekerja perorangan dalam ukuran unit waktu, seperti
jumlah benda perjam atau jumlah benda perhari (Dessler, 2005). Dengan kata
lain, individu karyawan dibayar untuk setiap barang yang dihasilkannya. Piece
rate incentive atau yang sering disebut dengan rencana piece work ini, juga
merupakan rencana insentif tertua dan masih yang paling luas digunakan.
Misalnya, dalam hal membagi upah perjam pekerja dengan standar jumlah
unit yang harus dihasilkannya dalam satu jam. Lalu untuk tiap unit yang
dihasilkan diatas dan melebihi standar ini, maka pekerja tersebut diberikan
insentif. Bentuk insentif ini juga merupakan suatu bentuk rangsangan
individual yang lazim untuk karyawan produksi. Para karyawan mendapat
bayaran dengan suatu tarif tetap untuk setiap unit keluaran yang
dihasilkannya.

Selain itu, menurut Prof. Dr. Sondang, dalam bukunya Manajemen
Sumber daya Manusia, Piece rate incentive adalah salah satu teknik yang
lumrah digunakan untuk mendorong para karyawan dalam meningkatkan
produktivitas kerjanya dengan cara memberikan insentif berdasarkan jumlah
hasil pekerjaan karyawan yang dinyatakan dengan unit produksi. Misalnya,
dalam kegiatan perakitan. Jika pada suatu kurun waktu tertentu, misalnya
dalam satu hari atau satu minggu seorang pegawai menghasilkan sejumlah
unit produksi, maka penghasilan setiap karyawan tersebut dihitung
berdasarkan jumlah unit yang mereka hasilkan. Hasil perhitungannya adalah
makin banyak unit produksi yang mereka hasilkan, makin tinggi pula insentif
yang diterimanya (Siagian, 2004).
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa,
piece rate incentive adalah suatu sistem pembayaran dimana para pekerjanya
dibayar sesuai dengan hasil output yang dihasilkannya perjam ataupun
perharinya. Dan dengan pemberian insentif berupa piece rate ini mampu untuk
meningkatkan konsentrasi karyawan atas pekerjaannya.

Dalam program piece rate incentive ini pula, terdapat straight piece rate
plan atau tarif satuan lurus. Dalam Tarif satuan lurus ini, karyawan menerima
sejumlah gaji tertentu untuk berapapun yang dihasilkannya di atas standar.
Selain itu, terdapat pula program tarif satuan differensial atau differential
piece rate plan, dimana berlaku dua tarif gaji. Ketika seorang karyawan
menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu tertentu dan dalam kondisi
dapat diterima, dia mendapatkan tarif gaji yang lebih tinggi per unit yang
dihasilkan, namun ketika karyawan tersebut memerlukan waktu yang lebih
lama daripada waktu yang ditentukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan,
maka dia akan memperoleh tarif yang lebih rendah dari tarif per unit.
Keunggulan pendekatan ini adalah bahwa para karyawan melihat bahwa
kinerja diberikan imbalan. Penerapan sebuah program insentif untuk pekerjaan
produksi relatif langsung kelihatan hasilnya, tapi aplikasi program tersebut
untuk pekerjaan lebih kompleks adalah lebih problematik. Ketidakpuasan
dapat merebak manakala standar ditetapkan secara tidak tepat, dan
kemungkinan besar akan menghambat karyawan yang produktif untuk
berproduksi.
Kelemahan sistem insentif ini adalah sinyal yang dikirimkannya. Sistem
ini sebenarnya menunjukkan bahwa organisasi/perusahaan tidak mempercayai
individu, akibatnya, para karyawan akan membatasi keluarannya karena
kemungkinan konsekuensi merugikan yang berkaitan dengan produktivitas
yang tinggi.

Piece rate incentive memiliki persaman dengan standard hour plan
(program jam standard). Perbedaannya berada pada tolok ukur yang
ditetapkan menurut satuan waktu. Sistem ini biasanya diterapkan oleh bengkel
mobil modern.
2. Komisi
Adalah suatu progam kompensasi berupa insentif yang didasarkan pada
presentase unit atau nilai penjualan. Sistem ini lazim diterapkan dalam
pekerjaan penjualan yang memungkinkan wiraniaga untuk menerima suatu
presentase dari penerimaan brutonya.

Pembayaran komisi menawarkan suatu relasi yang jelas antara bayaran
dan kinerja karyawan, dan merupakan insentif yang efektif. Program komisi
ini mudah dilaksanakan dan dibenarkan karena tidak ada unsure subyektifnya
dan imbalan murni merupakan fungsi dari kinerja karyawan.
Jika dibandingkan dengan sistem insentif lainnya, sistem ini lebih
menuntut kendali aktif dari jajaran manajemen. Dalam hal ini para karyawan
akan bersaing satu sama lain untuk meraih penjualan masing-masing atau
untuk daerah penjualan yang paling menguntungkan. Dari sudut pandang
karyawan, kelemahan insentif ini adalah gaji yang dibawa pulang yang tidak
terduga jumlahnya. Segala sesuatu yang berada di luar kendali karyawan,
seperti cuaca, kondisi ekonomi atau nilai mata uang dapat mempengaruhi nilai
penjualan dan imbalan yang diterimanya.

3. Bonus
Adalah suatu jenis pembayaran sekaligus yang diberikan karena
memenuhi sasaran kinerja. Bonus didasarkan pada pencapaian sasaran
obyektif atau penilaian subyektif. Bonus dapat berupa uang tunai ataupun
bentuk lainnya. Sebagai contoh, banyak organisasi penjualan yang secara
berkala menawarkan hadiah bonus, seperti perjalanan wisata.
Bonus tidak hanya membantu perusahaan mengendalikan biaya, namun
juga mengangkat kepuasan kerja karyawan. Perusahaan yang memberikan
kenaikan gaji kepada seorang karyawan membuat perubahan permanent yang
meningkatkan bayarannya sekarang, di masa depan dan pada saat pensiun. Hal
ini jauh lebih berarti daripada pembayaran bonus sekali waktu. Program ini
lebih mudah dipertahankan karena tidak memerlukan banyak dokumentasi dan
sangat fleksibel.

4. Skill Based pay
Adalah suatu sistem yang memberikan imbalan kepada karyawan
berdasarkan keahlian yang dimiliki oleh para karyawan dibandingkan dengan
tingkat kinerja atau senioritas. Dalam program skill based pay ini, pekerjaan-
pekerjaan dikelompokkan dalam keluarga pekerjaan menurut tipe keahlian
yang dibutuhkan utnuk melaksanakannya. Dalam program ini keluarga-
keluarga pekerjan dikelompokkan menurut persyaratan pengetahuan (para
karyawan dibayar menurut keahlian dan pengetahuan yang mereka
demonstrasikan). Landasannya adalah pembayaran lebih banyak karena para
karyawan menunjukkan bahwa mereka memeperoleh dan menggunakan lebih
banyak keahlian yang berharga bagi organisasi/perusahaan.
Kelemahan dari sistem ini antara lain, biaya pelatihan yang mahal,
keahlian yang dibutuhkan oleh para karyawan adalah keahlian khusus, dan
untuk menguasai keahlian ini perlu dilakukan pelatihan dalam perusahaan,
serta biaya pembuatan progam dan berkurangnya produksi selama para
karyawan mengikuti pelatihan menyebabkan program ini menjadi sistem yang
sangat mahal.

Model-model Skill Based Pay :
a. Stair-step model, dimana mengasumsikan bahwa syarat pengetahuan dan
keahlian dapat ditata secara hierarkis. Karyawan memulainya dari
langkah–langkah pertama, dan menerima tarif bayaran yang lebih tinggi
pada saat dia meningkat secara sekuensial ke jenjang berikutnya. Stair-step
model ini diterapkan apabila kemajuan belajar adalah logis. Tingkat
keahlian suksesif ditentukan, dan bayaran meningkat manakala
pengetahuan keahlian tambahan telah terbukti.
b. Building block model, menganggap bahwa beraneka keahlian dan
pengetahuan mempunyai ciri tersendiri dan dapat dikuasai dalam urutan
apapun. Karyawan biasanya mulai dari tahap blok pekerjaan entri level,
dan penguasaannya atas blok pekerjaan lainnya dapat ditentukan oleh
kebutuhan organisasi atau kepentingan dirinya.
c. Job point accrual model, serupa dengan building block model. Model ini
diterapkan pada saat terdapat bermacam–macam pekerjaan dan pekerjaan–
pekerjaan itu diberi nilai point relatif berdasarkan nilai tambah atau
kesulitan pengetahuannya, dan point–point untuk setiap pekeerjaan yang
dikuasai selanjutnya akan menentukan kelas bayaran karyawan.

5. Merit pay
Adalah suatu sistem pembayaran berdasarkan kinerja. Disini karyawan
yang mencapai tingkat kinerja tertentu relatif terhadap standart yang
ditetapkan atau relatif terhadap kinerja karyawan lainnya akan menerima
kenaikan gaji. Merit pay didasarkan pada sistem penilaian kinerja yang
menjabarkan nilai kinerja kedalam kenaikan gaji. Merit pay dijadikan suatu
alat motivasional utama bagi kalangan karyawan di semua jenjang
organisasi/perusahaan. Merit pay ini merupakan suatu kenaikan tahunan yang
terkait dengan kinerja karyawan selama tahun sebelumnya, dan kenaikannya
diberikan di samping kenaikan biaya hidup atau kenaikan bayaran untuk
pendidikan tambahan atau tahun dinas. Sistem ini berbeda dengan bonus,
karena merit pay ini merupakan tambahan berkelanjutan, sedangkan sistem
bonus merupakan pembayaran sekali waktu.

2.1.2 Pengertian Kinerja
Kinerja merupakan istilah yang berasal dari kata Job Performance atau
Actual Performance, yang artinya adalah suatu prestasi kerja yang sesungguhnya
dan telah dicapai oleh seseorang.

Ada banyak pendapat para ahli mengenai definisi dari kinerja, yaitu:
a. Menurut Gomes (1995),”Kinerja adalah ungkapan seperti output, efesiensi
serta efektivitas yang sering dihubungkan dengan produktivitas”(p.95).
b. Menurut Mangkunegara (2005),”Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya“(p.67).
c. Menurut William (1998),”Kinerja adalah catatan dari hasil–hasil yang
diperoleh melalui fungsi–fungsi pekerjaan tertentu selama tempo waktu
tertentu”(p.75).

Dari beberapa pengertian diatas, peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa
kinerja adalah suatu prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun
kuantitas yang dicapai oleh karyawan persatuan periode dalam melaksanakan
tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja
ini lebih menekankan pada hasil yang diperoleh dari sebuah pekerjaan sebagai
kontribusi pada perusahaan.

Kinerja memiliki 8 komponen–komponen khusus (Campbell,1998), yaitu :
a. Kemampuan mengerjakan pekerjaan khusus
b. Kemampuan mengerjakan pekerjaan yang tidak khusus
c. Kemampuan menulis dan komunikasi oral
d. Kemampuan mendemonstrasikan
e. Mempertahankan disiplin personal
f. Kinerja dalam memfasilitasi kelompok atau tim
g. Kepemimpinan/supervise
h. Manajemen/administrasi

Ada beberapa pendapat mengenai faktor–faktor penting yang
mempengaruhi kinerja (performance) seorang karyawan dalam perusahaan,
diantaranya adalah :

1. Menurut Keith David dalam Mangkunegara (2005), “Dalam usaha pencapaian
kinerja karyawan yang maksimal harus didukung oleh faktor–faktor yang
sangat dominan"(p.67), diantaranya adalah :

a. Faktor Kemampuan (Ability)
Secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan potensi
(IQ) dan kemampuan reality (knowledge dan skill), yang memiliki
pengertian bahwa pimpinan dan karyawan yang memiliki IQ diatas rata–
rata (110-120) serta genius dan memiliki pendidikan yang memadai untuk
melaksanakan jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan
sehari–hari, maka akan lebih mudah untuk mencapai kinerja yang
maksimal.

b. Faktor Motivasi (Motivation)
Motivasi diartikan sebagai suatu sikap (attitude) pimpinan dan karyawan
terhadap situasi kerja di lingkungan organisasinya. Mereka yang bersikap
positif terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja yang
tinggi, dan sebaliknya jika mereka bersikap negative terhadap situasi
kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja yang rendah. Situasi kerja yang
dimaksud antara lain adalah hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja,
kebijakan pimpinan, pola kepemimpinan kerja dan kondisi kerja.

2. Menurut Simamora (1995), “Kinerja (performance) ini dipengaruhi oleh tiga
faktor utama”(p.500), yaitu :
a. Faktor Individual, yang terdiri dari: kemampuan dan keahlian, latar
belakang, demografi
b. Faktor Psikologis, yang terdiri dari: persepsi, attitude, personality,
pembelajaran, dan motivasi
c. Faktor Organisasi, yang terdiri dari: sumber daya, kepemimpinan,
penghargaan, struktur, job design

Dengan adanya pendapat–pendapat tersebut, maka penulis menyimpulkan
bahwa faktor–faktor penentu yang memegang peranan terpenting dalam
pencapaian kinerja karyawan yang maksimal dalam suatu organisasi adalah faktor
individu dan faktor lingkungan kerja organisasi. Hal ini sesuai dengan teori
Konvergensi William Stern, yang merupakan perpaduan antara teori Heriditas
(Schopenhauer) dengan teori lingkungan (John Locke). Secara inti, Schopenhauer
dalam teori Heriditasnya berpandangan bahwa hanya faktor individu saja yang
sangat menentukan seorang individu untuk mampu berprestasi atau tidak.
Sedangkan John Locke dalam teori Lingkungan ini berpandangan bahwa hanya
faktor lingkungan saja yang sangat menentukan seorang individu untuk mampu
berprestasi atau tidak. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Faktor Individu
Secara psikologis, individu yang normal adalah individu yang memiliki
integritas yang tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah).
Dengan adanya integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik, maka
individu tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi yang baik
ini merupakan model utama individu manusia untuk mampu mengelola dan
mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan
atau aktifitas kerja sehari–hari dalam mencapai tujuan organisasi. Dengan kata
lain, konsentrasi individu dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh kemampuan
potensi, yaitu kecerdasan pikiran atau Inteligensi Quotiont (IQ) dan
kecerdasan emosi atau Emotional Quotiont (EQ). Pada umumnya, individu
yang mampu bekerja dengan penuh konsentrasi adalah individu yang memiliki
tingkat inteligensi minimal normal dengan tingkat kecerdasan emosi.

2. Faktor Lingkungan Organisasi
Faktor Lingkungan kerja ini sangat menunjang bagi individu dalam mencapai
kinerja yang baik. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud adalah :
a. Uraian jabatan yang jelas.
b. Autoritas yang memadai.
c. Target kerja yang menantang.
d. Pola komunikasi kerja yang efektif.
e. Hubungan kerja yang harmonis.
f. Iklim kerja respek dan dinamis.
g. Peluang berkarir dan fasilitas kerja yang relatif memadai.

Kinerja karyawan dalam perusahaan ini juga dipengaruhi oleh aspek-aspek
yang melekat didalamnya, yaitu :
1. Menurut Hasibuan (1996), aspek–aspek kinerja yang berpengaruh adalah:
a. Kesetiaan
b. Hasil kerja
c. Kejujuran
d. Kedisiplinan
e. Kreativitas
f. Kerjasama
g. Kepemimpinan
h. Kepribadian
i. Prakarsa
j. Kecakapan dan tanggung jawab

2. Menurut Umar (2001), aspek–aspek yang mempengaruhi kinerja karyawan
adalah :
a. Mutu pekerjaan
b. Kujujuran karyawan
c. Inisiatif
d. Kehadiran
e. Sikap
f. Kerjasama
g. Keandalan
h. Pengetahuan tentang pekerjaan
i. Tanggung jawab dan pemanfaatan waktu kerja

Dalam menjaga kestabilan serta memperoleh peningkatan dalam margin
perusahaan, selain melakukan pengontrolan dan pengaturan SDM yang benar,
diperlukan juga suatu cara untuk meningkatkan kinerja SDM. Adapun langkah-
langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui adanya kekurangan dalam kinerja
2. Mengenai kekurangan dan tingkat kekurangan
3. Mengidentifikasikan hal–hal yang mungkin menjadi penyebab kekurangan
4. Mengembangkan rencana tindakan untuk menanggulangi penyebab
kekurangan tersebut
5. Melakukan rencana tindakan tersebut
6. Melakukan evaluasi apakah masalah tersebut sudah teratasi atau belum
7. Memulai dari awal atau mengulang dari proses pertama

Kinerja dikatakan efektif jika pekerjaan yang dilakukan bisa menghasilkan
output yang lebih unggul dibandingkan pekerjaan yang dilakukan tenaga kerja
lain. Keunggulan ini bisa didasarkan pada berbagai hal, diantaranya adalah dari
kualitas hasil pekerjaan dan penghematan waktu. Pengukuran efektifitas kinerja
karyawan bagian produksi menurut Yoder (1997) dalam bukunya "Personnel
Management and Industrial Relations" antara lain mengemukakan indikator-
indikator kinerja sebagai berikut:
1. Quality (kualitas hasil kerja), yaitu kesesuaian antara spesifikasi produk yang
dihasilkan dengan kriteria yang ditetapkan.
2. Quantity of work (kuantitas hasil kerja), yaitu kesesuaian jumlah yang
dihasilkan dengan standar jumlah yang ditetapkan.
3. Knowledge of job (pengetahuan tentang pekerjaan), yaitu pengetahuan
karyawan mengenai seluk beluk pekerjaan yang ditanganinya
4. Dependability (ketergantungan), yaitu mengukur kemampuan tiap karyawan
untuk menyelesaikan pekerjaan dengan tidak bergantung pada karyawan
lainnya sehingga tidak diperlukan lagi pendampingan (training tambahan)
5. Cooperation (kerja sama), yaitu kemampuan karyawan untuk bekerja dalam
sebuah team kerja.
6. Adaptability (adaptasi/penyesuaian diri), yaitu kemampuan karyawan untuk
menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan di lingkungan pekerjaaan.
7. Attendance (kehadiran/presensi), menunjukkan tingkat absensi yaitu jumlah
hari dalam satu periode dimana karyawan hadir di lingkungan pekerjaan untuk
menjalankan tugas yang dibebankan
8. Versatility (pengetahuan serba guna), yaitu pemahaman karyawan mengenai
berbagai hal yang berhubungan dengan lingkup pekerjaan secara umum, tidak
hanya terbatas pada pekerjaan yang ditangani.
9. Safety (keselamatan), yaitu kemampuan karyawan untuk menghindari
berbagai kesalahan, baik kesalahan teknis di lingkungan pekerjaan maupun
kesalahan dalam pengerjaan tugas sehingga mampu menghindari kecelakaan
kerja.

2.2 Hubungan Antar Konsep
Pemberian insentif individu berupa piece rate incentive, merupakan salah
satu jenis penghargaan yang dikaitkan dengan kinerja karyawan. Pemberian
insentif individu berupa piece rate incentive, adalah suatu sistem pekerjaan yang
dibayar menurut hasil yang dikerjakannya (piecework sistem). Insentif individu
berupa piece rate incentive dan kinerja merupakan bagian dari pengelolaan yang
kompleks untuk menunjukkan dan mempertahankan hubungan kerja antara
perusahaan dan karyawan.
Dari penelitian ini, diketahui bahwa pemberian insentif individu berupa
piece rate incentive berpengaruh terhadap kinerja perorangan dalam perusahaan.
Apabila insentif individu berupa piece rate incentive yang didapat oleh karyawan
itu tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kinerja perorangan individu itu juga
tinggi. Berlaku pula sebaliknya, dimana, apabila insentif individu berupa piece
rate incentive yang didapat oleh karyawan itu rendah, maka dapat dipastikan
bahwa kinerja perorangan individu itu juga rendah.

2.3 Kerangka Berpikir
Pemberian kompensasi insentif individu berupa piece rate incentive
mempengaruhi kinerja karyawan
Piece Rate Incentive,
Adalah suatu sistem pekerjaan yang dibayar menurut hasil yang
dikerjakannya (piecework sistem)
Kinerja, indikator:
1. Quality (kualitas hasil kerja)
2. Quantity of work (kuantitas hasil kerja)
3. Knowledge of job (pengetahuan tentang
pekerjaan)
4. Dependability (ketergantungan)
5. Cooperation (kerja sama)
6. Adaptability (adaptasi/penyesuaian diri)
7. Attendance (kehadiran/presensi)
8. Versatility (pengetahuan serba guna)
9. Safety (keselamatan)