Rotating X-Steel Pointer

Minggu, 19 September 2010

Enron dan Sisi Gelap Kapitalisme

Sejarah, kata Francis Fukuyama, telah berakhir dengan kemenangan demokrasi dan pasar bebas. Kenapa demokrasi Amerika tak bisa mengakhiri sejarah ketamakan manusia akan uang serta kekuasaan?
Enron Corp. adalah “pencakar langit” dalam dunia bisnis Amerika, sama seperti Gedung World Trade Center yang menjulang tinggi di kota New York. Mirip Tragedi WTC, tapi minus darah dan kematian, Enron menguap jadi debu saat perusahaan itu menyatakan diri bangkrut pada 2 Desember lalu, -kebangkrutan terbesar dalam sejarah bisnis Amerika sepanjang masa.
Kali ini, tak ada Usamah bin Ladin atau Al Qaidah yang bisa menjadi kambing hitam. Publik Amerika dipaksa untuk menuding cacat dalam sistemnya sendiri-sistem ekonomi maupun politiknya-sebagai “teroris” yang merontokkan Enron secara mengejutkan itu.
Mengejutkan dan mencengangkan. Belum lama berselang, perusahaan raksasa energi itu masih bertengger di peringkat ke-7 dalam “Fortune 500″-daftar perusahaan terkaya dunia versi Majalah Fortune. Omsetnya bisnisnya pada tahun 2000 lalu tercatat sekitar US$ 100 milyar, kurang-lebih sama dengan total pendapatan kotor negeri sebesar Indonesia pada tahun yang sama.
Enron dipandang sukses menyulap diri dari sekadar perusahaan pipanisasi gas alam di Negara Bagian Texas pada 1985 menjadi raksasa global dalam beberapa tahun terakhir. Dia membeli perusahaan air minum di Inggris dan membangun pembangkit listrik swasta di India. Konsep bisnisnya yang visioner dan futuristik membuat dia menjadi anak emas di lantai bursa Wall Street. Harga sahamnya terus meroket.
Akhir 1999, Enron meluncurkan EnronOnline yang dianggap akan mengubah wajah bisnis energi masa depan. Memanfaatkan Internet, divisi e-commerce itu membeli gas, air minum dan tenaga listrik dari produsen dan menjualnya kepada pelanggan atau distributor besar. Enron bahkan memperluas wilayah: membangun jaringan telekomunikasi berkecepatan tinggi serta bertekad menjual bandwidth jaringan itu seperti dia menjual gas dan listrik. Setelah itu mungkin dia akan jual-beli online untuk kertas daur ulang pabrik miliknya.
Tak lama setelah dia memasuki bisnis jasa video-on-demand-menjual tayangan video kepada pelanggan via sambungan internet kecepatan tinggi–harga saham Enron mencapai puncaknya, US$ 90 per lembar, pada Agustus 2000. Meski kemudian merosot bersama jatuhnya saham-saham teknologi dan internet lain, pertengahan tahun lalu nilai pasar Enron (jumlah lembar saham dikalikan harganya) masih berkisar US$ 60 milyar, atau dua kali lipat anggaran belanja Indonesia.
Miliaran dolar menguap hampir seketika. Pada Oktober 2001 Enron menjatuhkan bom di Wall Street dengan melaporkan kerugian ratusan juta dolar pada kwartal itu. Sangat mengejutkan karena Enron hampir selalu membawa berita gembira ke lantai bursa dengan selama empat tahun berturut-turut melaporkan keuntungan. Kabar buruk itu membanting harga saham Enron dari sekitar US$ 30 menjadi US$ 10 per lembar, hanya dalam hitungan hari.
Securities Exchange Commission (SEC), badan pengawas pasar modal, membaui ada yang tidak beres dan mulai menggelar penyidikan. Dalam kondisi terdesak, Enron menjatuhkan bom lebih dahsyat lagi ke lantai bursa ketika pada 8 November mengakui bahwa keuntungannya selama ini adalah fiksi belaka. Enron merevisi laporan keuangan lima tahun terakhir dan membukukan kerugian US$ 586 juta serta tambahan catatan utang sebesar US$ 2,5 miliar.
Harga saham Enron makin berkeping. Namun, pada akhir November, Enron sedikit bisa bernafas lega ketika Dynegy Inc, pesaingnya yang jauh lebih kecil, berniat membeli sahamnya dalam sebuah kesepakatan merger. Harapan itu tak berumur lama. Spiral kematian terus berlanjut. Dynegy mundur setelah Enron makin kehilangan kepercayaan investor dan rating kreditnya jatuh ke titik terendah-berstatus “junk-bond”.
Dalam sebuah hari yang paling “berdarah”, ketika tak kurang seperempat milyar lembar sahamnya dipertukarkan di lantai bursa, harga Enron meluncur ke dasar jurang. Hanya puluhan sen nilainya. Beberapa hari kemudian Enron menyerah: mengajukan petisi bangkrut.
Seperti timbunan besi dan beton bekas bangunan WTC di Manhattan, Enron adalah puing berdebu sekarang. Tapi, cerita tak berakhir di situ.
Lebih Dahsyat dari Bre-X
Punahnya Enron meninggalkan kerugian milyaran dolar bagi investor. Sertifikat saham mereka tak lagi punya nilai-mungkin hanya layak dipajang dalam pigura untuk mengenang salah satu skandal keuangan terbesar di awal abad ini. Skandal Enron lebih dahsyat dari Skandal Saham Bre-X di Bursa Kanada beberapa tahun lalu. Saham Bre-X meroket hanya untuk terjun bebas setelah perusahaan itu mengaku bahwa tambang emasnya di Busang, Kalimantan, terbukti palsu.
Kolapsnya Enron juga mengguncang neraca keuangan para kreditornya yang harus gigit jari meski telah mengucurkan milyaran dolar-JP Morgan Chase dan Citigroup adalah dua kreditor terbesarnya.
Hujan tangis mewarnai dengar pendapat dalam sebuah komite kongres awal Januari ini ketika para karyawan Enron dan investor kecil-kecilan mengisahkan bagaimana simpanan hari tua mereka musnah hampir seketika. Sebagian besar dana pensiun dan tabungan 20.000 karyawan Enron terikat dalam saham yang kini tiada nilai.
Beberapa pekan sebelum bangkrut, Enron juga memecat sekitar 5.000 karyawannya, dari teknisi komputer di Texas hingga pendaur-ulang kertas di New Jersey, menambah beban pengangguran di Amerika yang sekarang sudah mencapai tingkat terburuk dalam 25 tahun terakhir.
Dengan dampak demikian luas, drama sebenarnya-juga sirkus–bahkan baru saja dimulai. Skandal Enron menemukan bentuk barunya di panggung pertempuran hukum yang luas, baik pidana maupun perdata. Implikasi politiknya terbukti telah ikut mengguncang sekaligus Gedung Putih dan Capitol Hill (Gedung Kongres).
Departemen Kehakiman kini menyidik kemungkinan adanya aspek pidana dalam kasus itu. Empat komite kongres, semacam panitia khusus (pansus) DPR di sini, giat mengaduk apa yang tersembunyi. Dan Departemen Tenaga Kerja mencoba mencari siapa yang bertanggungjawab atas kerugian besar para karyawan.
Salah satu episode paling menarik akan dipertontonkan 4 Februari mendatang ketika sebuah komite kongres mengundang aktor utama dalam drama ini: Kenneth L. Lay, presiden komisaris sekaligus direktur Enron. Ken Lay akan ditanyai banyak hal.
Salah satunya: bagaimana bisa dia meraup untung ratusan juta dolar dari penjualan saham Enron sementara ribuan karyawan nyaris kiamat hidupnya tanpa perlindungan?
Sejak akhir tahun 2000, ketika harga saham Enron di posisi puncak, para eksekutif menjual saham yang mereka miliki dengan total nilai US$ 1,1 milyar. Selama empat tahun terakhir, Ken sendiri diperkirakan meraup untung US$ 205 juta dari penjualan sahamnya. Dalam kurun yang sama dia membujuk karyawan dan investor untuk membeli saham Enron, antara lain dengan iming-iming laporan keuangan yang menjanjikan tapi palsu itu.
Bahkan pada 26 September 2001, ketika harga saham jatuh menjadi US$ 25 per lembar, Ken Lay masih mencoba menghibur karyawan untuk tidak menjualnya, sebaliknya membujuk mereka membeli. Dalam e-mail yang dikirimkan kepada para karyawan yang risau, dia mengatakan perusahaan dalam kondisi sehat secara keuangan dan bahwa harga saham Enron “luar biasa murah” dalam posisi itu. Namun, hanya beberapa pekan kemudian, Enron melaporkan kerugian yang bermuara pada kebangkrutannya. Para karyawan tak bisa menjual saham mereka sampai semuanya sudah terlambat: Enron kehilangan nilai sama sekali.
Pertanyaan penting lain akan menyangkut inti dari skandal ini: kenapa Lay membolehkan para eksekutif Enron membentuk sejumlah perusahaan rekanan rahasia dengan institusi di luar yang tidak jelas reputasinya? Tidakkah dia dan dewan direksi mengeduk keuntungan dari perusahaan rekanan itu, sekaligus menyembunyikan hutang Enron di situ sehingga neraca keuangan Enron tetap nampak manis padahal kenyataannya busuk?
Pertanyaan serupa akan diajukan para penyidik kepada para eksekutif di Arthur Andersen, perusahaan akuntan publik yang memeriksa laporan keuangan Enron. Bagaimana bisa mereka kecolongan selama beberapa tahun tanpa menandai penyimpangan dalam akutansi Enron yang agresif, bahkan kriminal itu? Seberapa banyak Andersen tahu tentang pemusnahan sejumlah dokumen audit Enron oleh salah satu auditornya? Pertanyaan yang lebih kejam: tidakkah Andersen ikut terlibat mempermak laporan keuangan mengingat Enron membayar mahal perusahaan itu-US$ 52 juta pada tahun 2000-tak hanya untuk jasa audit tapi juga jasa konsultasi?
Tapi, soal bisa akan lebih sederhana andai saja hanya Ken Lay, atau Arthur Andersen, yang bisa jadi kambing hitam. Skandal Enron tak sesederhana itu.
Jebolnya Pertahanan Berlapis
Majalah Newsweek menulis, skandal ini cukup menakutkan. Yakni kegagalan sistemik, sesuatu yang sebenarnya tercermin jelas dalam Tragedi 11 September. Saat itu, semua perangkat seperti bisu dan tuli tak bisa mencegah teroris membajak empat pesawat, menabrakkannya ke pencakar langit dan membunuh ribuan orang. Dalam kasus Enron, sistem kontrol berlapis-lapis tidak bisa mencegah segelintir orang memuaskan ketamakan di atas penderitaan banyak orang.
Para direktur perusahaan publik punya kewajiban legal dan moral untuk memberikan data keuangan yang jujur-para direksi Enron tidak melakukannya.
Fungsi auditor independen tak hanya memastikan bahwa laporan keuangan sebuah perusahaan sesuai dengan aturan dan standar akutansi, tapi juga memberi investor maupun kreditor gambaran yang fair serta akurat tentang apa yang terjadi. Andersen gagal di dua lapangan itu.
Para analis di Wall Street diharapkan menyiangi secara kritis apa yang tersembunyi di balik angka-angka-tak satupun melakukannya.
Bahkan nyaris tak satu pun para wartawan bisnis-pilar keempat demokrasi-mampu mengendus keanehan Enron sampai kebusukan telah demikian menusuk hidung.
Skandal Enron tak hanya menyangkut episode ketika perusahaan itu rontok tiba-tiba. Tapi, juga misteri bagaimana dia mencuat menjadi raksasa yang meteorik. Dan ini merupakan bagian yang lebih menakutkan lagi karena menyangkut aspek politik dan ekonomi lebih luas, tak sekadar sektor keuangan.farid gaban
GCG Bukan Panacea
Kehancuran jawara-jawara bisnis kelas wahid seperti Enron Corporation, Konsultan Arthur Anderson, Consesco, Global Crosing, WordCom, Tyco, Maxwell Comunication Corporation, MirorGroup Newspaper, Parmalat, HIH Insurance, One-Tell Ltd, Baring Future ataupun Paregrime yang terjadi pada awal dekade 2000 membuat dunia bisnis terperangah. Betapa tidak, perusahaan-perusahaan tersebut merupakan pebisnis terkemuka. Namun lebur dalam waktu sekejap. Apa penyebabnya? Sejumlah sumber berkesimpulan karena lemah didalam menerapkan GCG. Siswanto Sutojo dan E. John Aldridge menjelaskan kelemahan tersebut tercermin dalam empat hal:
1. Lemahnya peranan Board of Directors (BoD) dalam mengendalikan pengelolaan perusahaan;
2. Semakin bebasnya manajemen perusahaan mengelola harta dan utang perusahaan dan mengambil keputusan-keputusan penting yang bersangkutan dengan kelangsungan hidup perusahaan;
3. Tidak transparan, akurat dan tepat waktunya penggunaan laporan perkembangan bisnis dan keuangan oleh BoD kepada pemegang saham dan kreditur;
4. Banyak kasus auditor mengaudit laporan keuangan perusahaan tidak bekerja dibawah pengawasan komite audit dan tidak bebas dari pengaruh manajemen senior perusahaan.

Berkaca dari fenomena yang terjadi, kalangan bisnis berbondong-bondong bergegas membenahi GCG. Tidak terkecuali dunia usaha di Tanah Air. Perusahaan-perusahaan BUMN, industri perbankan nasional, terlebih lagi korporasi-korporasi yang telah go public segera mengumandangkan GCG sebagai ‘kredo’ yang wajib dibumikan sehingga gencar dikampanyekan beberapa tahun terakhir. Namun jika kita mencermati secara lebih jernih segala sesuatunya maka ada hal yang sangat ‘janggal’.

Apa itu? Mari kita teliti secara seksama! Tanda tanya besar terlontar. Mengapa keruntuhan raksasa-raksasa bisnis papan atas dapat terjadi di negara-negara yang tidak hanya memahami secara utuh akan keniscayaan GCG akan tetapi telah mengimplementasikanya dengan cara yang sebaik-baiknya. Menyitir ungkapan dari Djokosantoso Moeljono: Bagaimana mungkin audit disebuah sistem manajemen di negara yang semoderen, secanggih, dan se-good-corporate-governance Amerika (termasuk negara-negara maju lainya) dapat ‘kebobolan’?. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa ada ‘kejanggalan’ pada hasil kesimpulan yang menyatakan bahwa biang kerok penyebab kebangrutan perusahaan-perusahaan itu karena lemah dalam penerapan GCG.

Untuk mempertegas duduk persoalan, mari kita angkat kasus Enron dan Konsultan Arthur Anderson. Semua mahfum bahwa Enron tergolong pebisnis yang ‘the best’, Bahkan Konsultan Arthur Anderson merupakan ‘suhu’ GCG yang mengajarkan ilmu ini kepada banyak sekali klien di manca negara. Dapat kita cermati pula bahwa Enron merupakan perusahaan raksasa ke-7 dalam ukuran nilai pasar, terbesar dibidang energi dan perdagangan energi yang listed di NYSE; menguasai bisnis jaringan pipa di daratan Amerika hingga 34.000 miles.

Sebelum kejatuhan, bisnis mereka berkembang pesat. Penjualan Enron pernah menembus US$ 100 milyar dengan jumlah karyawan mencapai 20.000. Sementara Konsultan Arthur Anderson pernah berjaya sebagai the big five konsultan yang sangat ulung, binis mereka merambah keseluruh pelosok dunia. Perusahaan ini bukan konsultan sembarangan.

Apa arti semua ini? Enron dan Konsultan Arthur Anderson paham betul keutamaan GCG. Logika sederhananya adalah bagaimana mungkin Enron dapat listed di NYSE kalau tidak melaksanakan GCG. Bukankan Negeri Paman Sam merupakan negara yang sangat ketat mewajibkan pelaksanaan GCG?, terlebih lagi bagi perusahaan publik. Kemudian bagaimana mungkin Konsultan Arthur Anderson dapat berjaya menjadi konsultan kalau mereka ‘pikun’ tidak mengerti GCG? Lalu, dimana letak kesalahnya? Mengapa kesimpulan banyak kalangan menyatakan bahwa semua perusahaan-perusahaan terbaik tersebut lemah didalam menerapkan GCG?.

Sesungguhnya, mereka bukan lemah menerapkan GCG. Akan tetapi ogah melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik. Karenanya sangat cocok bila dikatakan bahwa mereka miskin integritas. Lebih tepatnya lagi adalah karena orang-orang kunci yang memegang tampuk kuasa perusahaan kering integritas. Terbukti dari hasil analisis Jill dan Aris Solomon yang menyatakan bahwa penyebab utama kejatuhan Enron berawal dari watak korup para anggota BoD.

Selama masa jabatannya orang-orang dalam BoD melakukan berbagai macam kecurangan (fraudulents) demi kepentingan diri mereka sendiri. Chief Financial Officer dan Cheift Executive Officer Enron menciptakan pos-pos laporan keuangan yang tidak diungkapkan secara transparan, tidak tepat waktu dan tidak akurat. Korupsi dan kolusi dimulai dari pucuk pimpinan. Sehingga tak pelak lagi praktik-praktik kotor merambah hingga ke level bawah. BoD Enron memanipulasi pos-pos neraca dan perkiraan laba(rugi) dengan mengelembungkan jumlah keuntungan perusahaan.

Sementara pada waktu yang bersamaan Konsultan Arthur Anderson sebagai external auditor dan konsultan manajemen Enron ‘tidak’ berhasil melaporkan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Menurut Stuart L. Gilian dan John Martin hal ini disebabkan karena Konsultan Arthur Anderson menerima consulting fees yang sangat fantastis sehingga bersedia melakukan kompromi terhadap temuan auditnya. Oleh karenanya mudah dipahami jika putaran roda usaha mereka berubah menjadi binal dan liar seperti tampak dari perilaku mereka yang berbisnis secara hanky-pangky melecehkan GCG.

Tidak peduli (di negara-negara maju) GCG merupakan sebuah imperatif lengkap dengan code of conduct dan segenap perangkatnya. Begitu ironis, masih juga terjadi pelanggaran besar-besaran terhadap GCG. Sehingga Djokosantoso Moeljono sampai pada premis bahwa ada sesuatu yang ‘lebih dalam dari GCG’ yang dijabarkan sebagai berikut:
1. Organisasi hidup untuk mengkreasikan nilai bagi lingkungannya. Jika organisasi tidak mampu lagi memberikan nilai tersebut, ia akan hilang atau mati, atau pindah dan berganti menjadi organisasi lain;
2. Untuk dapat mengkreasikan nilai organisasi perlu dimanajemeni. Artinya organisasi perlu manajemen untuk membuatnya mampu mengkreasikan nilai dengan efisien. Perkembangan terbaru membuktikan bahwa manajemen tidak cukup hanya memastikan bahwa proses pengelolaan manajemen berjalan dengan efisien. Diperlukan, instrumen baru: GCG;
3. Jadi diperlukan GCG untuk memastikan bahwa manajemen berjalan dengan baik. Namun, organisasi digerakkan manusia-manusia. GCG berjalan jika SDM secara internal mempunyai value atau sistem nilai yang mendorong mereka untuk menerima, mendukung dan melaksanakan GCG. Sistem nilai yang ada pada individu-individu tumbuh di dalam perusahaan dan digunakan sebagai sistem perekat yang dikenal sebagai corporate culture.

Dengan demikian good corporate culture merupakan inti dari GCG dimana GCG berperan untuk memastikan atau menjamin bahwa manajemen dilaksanakan dengan baik. Manajemen yang baik akan mengembangkan organisasi. Untuk mencapai keberhasilan organisasi perusahaan, diperlukan rumusan akan tujuan perusahaan. Tujuan perusahaan sebenarnya digerakan oleh value dari korporasi, baik dalam bentuk muatan maupun cara.Jadi kesimpulannya adalah ’sesuatu yang lebih dalam lagi’ itu tidak lain integritas insan-insan perusahaan yang terlahir dari ’rahim’ good corporate culture.

PASCA KASUS ENRON PENGARUHNYA TERHADAP AKUNTAN PUBLIK

I. PENDAHULUAN
Saat ini mekanisme penilaian mutu kantor akuntan publik (KAP), salah satunya adalah tentang kertas kerja kantor akuntan publik telah disiapkan oleh IAI-KAP dan Direktorat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai. Tanggal 4 April lalu, kedua lembaga ini mensosialisasikan program dan standar pengendalian mutu (SPM 300) yang bakal diterapkan untuk menilai mutu KAP Indonesia. Kedua lembaga ini melakukan review sendiri secara independen dengan memakai standar yang sama. Tentunya output yang dihasilkan dari kedua review tersebut tidak jauh beda. Namun, bedanya terletak pada orientasi yang dilakukan.
Seperti Quality review oleh IAI-KAP diarahkan untuk memberikan konsultasi perbaikan dan peningkatan mutu kertas kerja akuntan publik dan SPM-nya. Compliance review dari Direktorat pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai Sub Direktorat Pemeriksaan akuntan Publik diarahkan untuk memeriksa kepatuhan yang bisa mengarah ke sanksi atas pelanggaran atau kecurangan yang dapat terungkap berkat adanya informasi dari masyarakat, anggota profesi, atau klien sendiri.
Jika pembina akuntan menjatuhkan sanksi, anggota bisa menggunakan hak jawabnya untuk melakukan pembuktian ada tidaknya pelanggaran melalui organisasi profesi. Adanya review dari dua lembaga ini, minimal Badan Peradilan Profesi akuntanPublik (BP2AP) dan Majelis Kehormatan IAI dimudahkan dalam pekerjaannya. Persoalannya apakah dua lembaga peradilan profesi ini berani mengambil sikap terhadap keadaan tersebut, sehingga keberadaan kedua lembaga tersebut mempunyai arti terhadap praktek akuntan publik, dan juga dapat melindungi kepentingan masyarakat umumnya dan klien mereka pada khususnya.
Sejak adanya kesepakatan diantara kedua lembaga ini, minimal kasus keterlambatan pengambilan keputusan yang terkait dengan kecurangan maupun pelanggaran profesi dapat dihindari. Ini menunjukkkan bahwa mutu KAP mulai saat ini secara ketat diawasi dengan baik oleh organisasi maupun pembina profesi.
Sebelumnya penilaian mutu KAP di Indonesia dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP). Pihak inilah yang ditunjuk dan dianggap paling mampu melakukan review mutu KAP oleh Departemen Keuangan. Namun akibat standar yang ditetapkan dalam review mutu KAP tidak sepenuhnya diterima kalangan akuntan publik, memunculkan polemik terhadap keabsahan review yang dihasilkan.
Adanya hasil temuan pelanggaran akuntan publik oleh review BPKP, kurang mendapat respon dari organisasi dan kalangan anggota profesi akuntan publik sendiri, hal ini disebabkan karena anggota menyadari bahwa review yang dilakukan BPKP semata-mata karena BPKP merupakan pihak pembina yang mempunyai hak untuk mengeluarkan dan mencabut izin profesi Akuntan Publik.
Yang menjadi pertanyaan, apakah aparat BPKP dalam praktek profesionalnya juga telah mematuhi standar kerja dan aturan etika. Dalam kondisi tersebut tidak ada pihak independen yang melakukan kontrol terhadap peran BPKP. Untuk mengawasi jalannya praktek professional di lingkungan BPKP, lembaga ini melakukan review sendiri terhadap anggotanya. Ini belum tentu menjamin independensi praktek yang dilakukan.
Nada miring buat BPKP sering kita temui, bahwa banyak anggota BPKP melakukan praktek audit yang menyimpang diperusahaan milik negara, lalu kenapa hanya profesi akuntan publik yang sering menjadi sasaran tembak atas memburuknya kondisi keuangan atas kepentingan masyarakat?
Quality Review dan Compliance Review yang bakal diterapkan oleh organisasi profesi (IAI-KAP) maupun Direktorat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (DPAJP) Depkeu, merupakan tekad untuk meningkatkan kualitas profesi akuntan publik di Indonesia. Langkah ini disambut baik anggota profesi dan mendorong praktek dikalangan profesi akuntan publik akan semakin lebih baik.
Sementara sebagai penjaga kepentingan publik, pemerintah masih memiliki peran yang cukup besar. Meskipun profesi akuntan publik merupakan salah satu profesi yang memiliki self regulation, masyarakat masih menghendaki pemerintah memainkan peran regulatornya. Ini tidak lain karena hasil audit akuntan publik memberikan dampak yang cukup signifikan ditengah ekonomi masyarakat.
Semenjak terpaan badai krisis melanda dan berkembang kesektor perbankan, masyarakat semakin mencermati peran profesi akuntan. Disektor perbankan masyarakat selalu mencermati perkembangan tranparansi dan akuntabilitasnya, perhatian publik semakin tertuju ke profesi akuntan publik. Namun hal ini tidak saja terjadi di Indonesia, dinegara majupun demikian, akuntan publik menjadi pusat perhatian isu yang terkait dengan kecurangan keuangan.
Atas merosotnya kepercayaan profesi akuntan publik ditengah masyarakat mendorong pemerintah dan asosiasi mulai merumuskan kembali peran masing-masing, sebagai buktinya adalah pemerintah merevisi Keputusan Menteri Keuangan (KMK), Depkeu, hal ini merupakan cerminan salah satu tekad untuk meingkatkan kualitas profesi akuntan publik di Indonesia.


II. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Kasus Enron Corporation di Amerika, yang baru-baru ini dinyatakan bangkrut oleh pengadilan Amerika, memunculkan sorotan baru bagi profesi akuntan. Kasus ini telah memakan korban dari salah satu kantor akuntan internasional terbesar, Arthur Andersen, telah dipecat bahkan salah seorang pemimpin tertinggi perusahaan Enron telah bunuh diri akibat debacle tersebut. Saat ini pers khususnya majalah bisnis sedang menyoroti profesi akuntan secara tajam. Bahkan di Amerika sebagian besar kantor akuntan telah melakukan koreksi diri dengan cara tidak mau lagi menggabungkan jasa konsultan dengan jasa audit dalam satu atap.
Kasus kebangkrutan Enron di Amerika Serikat (AS) hingga kini masih terus diperiksa, diinvestigasi oleh Departemen Kehakiman di AS atas tuntutan class action yang diajukan pihak pemodal dan karyawan Enron. Tuntutan ganti rugi tersebut dalam kisaran milyaran dolar AS, sehingga Arthur Andersen LLP sebagai auditor eksternalnya tidak bisa memenuhi, selain itu SEC juga sedang melakukan pemeriksaan kasus ini karena telah terjadi penghancuran dokumen oleh auditor.
Pertimbangan pengangkatan kasus Enron adalah sebagai berikut: Pertama, Enron merupakan perusahaan energi dan perdagangan derivatif energi terbesar di AS. Kontribusi laba perseroan sekitar 80% dari divisi perdagangan derivatif.
Kedua, perekayasaan kinerja laba sebesar $1,2 Milyar dan penyembunyian kewajiban (off balancesheet) dalam laporan keuangan Enron selama 3 tahun. Rekayasa dilakukan dengan membentuk entitas LJM Partnership I, II dan Raptor group, dimana direksi perusahaan tersebut dirangkap oleh beberapa direksi dari Enron antara lain Jefry Skilling dan Andy Fastow. Transaksi derivatif antar group Enron tersebut tidak jelas tujuannya dan terakhir diyakini hanya untuk memompa laba dan menyembunyikan kewajiban, yang sasaran akhirnya adalah untuk meningkatkan kapitalisasi pasar Enron, karena PER sebelum kolap adalah sekitar 70 kali (Fortune)
Ketiga, Penerapan kebijakan akuntansi yang agresif atas transaksi derivatif antara Enron dengan Mahonia Ltd. Sebagai offshore entity dalam transaksi forward minyak mentah, gas bumi, dll. Dalam transaksi derivatif, sangat lazim untuk menjual kembali kontrak yang telah ditutup dengan pihak counter part sebelumnya dalam bentuk paket derivatif lainnya. Enron melaporkan transaksi derivatif tersebut sebagai transaksi dagang (trade), sedangkan menurut pandangan dari kelompok perusahaan asuransi yang menjadi penanggung risiko atas default-nya hutang Enron, seharusnya transaksi tersebut dipertanggungjawabkan sebagai pinjaman oleh JP Morgan (bukan sebagai utang-piutang usaha). Atas kejadian ini Federal reserve Bank of New York sedang melakukan investigasi terhadap JP Morgan (AWSJ).
Keempat, Terjadinya konflik kepentingan dalam organisasi Arthur Andersen LLP, konflik ini terjadi dalam 2 bentuk : (1) Arthur Andersen LLP melakukan perangkapan pemberian jasa konsultasi yang lazimnya membela kepentingan kliennya disatu pihak, dengan pemberian jasa General Audit sebagai auditor independen di pihak lain, walaupun kedua jasa tersebut dilakukan oleh divisi dan staff yang berbeda dan terpisah. Lazimnya fee jasa konsultasi beberapa kali lebih besar dari fee audit (fee audit terakhir Enron $53 juta). Sebagai pembanding, penasehat hukum dari kreditur Enron mendapat fee sekitas 35 – 50 Juta dolar AS. (2) Terjadinya internal office politic yang lazimnya berlaku pada sebuah organisasi besar, hal ini terjadi dengan disingkirkannya Carl E Bass sebagai rekan yang duduk di Profesional Standart group yang bertugas untuk menelaah masalah pelik yang berkaitan dengan penerapan standar akuntansi keuangan, penafsiran peraturan perpajakan, dan implementasi audit untuk Enron. Penyingkiran tersebut dilakukan oleh David Duncan sebagai audit partner atas pengaruh dan tekanan Enron (Business Week).