Rotating X-Steel Pointer

Sabtu, 14 Agustus 2010

CERAMAH RAMADHAN

Materi 1:
Ahlan Wa Sahlan Ya Ramadhan

وَإِنَّهُ لَذِكْرٌ لَكَ وَلِقَوْمِكَ وَسَوْفَ تُسْأَلُونَ
“Dan sesungguhnya al-Qur'an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertanggungan jawab” (QS Az-Zukhruf: 44).

Ketika Allah Swt.. menjadikan Islam sebagai rahmat buat alam semesta; ketika Allah Swt. menghendaki dari umat Islam menjadi umat terbaik; ketika Allah Swt. menghendaki agar umat Islam mampu memikul amanah untuk memimpin dunia ini; ketika Allah menghendaki agar umat Islam menjadi saksi bagi seluruh umat manusia, maka ketika itulah Allah Swt. mempersiapkan umat Islam sedemikian rupa, agar umat Islam ini layak menjadi umat yang terbaik. Di antara sarananya adalah dengan pembentukan manusia yang bertaqwa. Pembentukan manusia yang bertaqwa inilah yang banyak dilupakan manusia, sehingga ukuran kemajuan atau ukuran kesejahteraan hidup diukur dengan paradigma materi. Lupa bahwa manusia itu bukan hanya dari unsur materi saja, tetapi manusia punya nurani yang harus diperhatikan, yang harus dibina sehingga pantas untuk menjadi manusia yang terbaik. Oleh karena itu Ramadhan hadir di tengah-tengah kita dalam rangka untuk menjadikan umat Islam sebagai umat terbaik yang layak memimpin dunia ini.
Di dalam bulan Ramadhan banyak sekali kebajikan ilahi yang harus kita dapatkan, sehingga kita keluar dari bulan Ramadhan ini benar-benar menjadi manusia terbaik, manusia yang berkualitas, manusia yang berprestasi. Oleh karena itu marilah kita berupaya benar-beanr memahami puasa itu sebagaimana yang diharapkan Allah Swt.
Pertama, puasa membentuk manusia yang mengoptimalkan kontrol diri (self control). Mengapa? Karena puasa sangat terkait dengan keimanan seseorang. Seseorang bisa saja mengatakan dirinya sedang berpuasa, sekalipun sebenarnya tidak. Oleh karena itu puasa disebut ‘ibaadah sirriyyah (ibadah yang bersifat rahasia). Rahasia antara seorang hamba dengan Al-Kholiq. Sampai-sampai Allah Swt. mengatakan dalam sebuah hadits Qudsi yang sering kita dengar “Kulluu ‘amali ibnu aadama lahu illash-shiyaam. Fa innahu lii wa ana ajzii bihi (setiap amal manusia untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk aku. Dan akulah yang membalasnya)”. Pertanyaannya adalah apakah amal selain puasa tidak dibalas Allah? Dibalas. Tetapi kenapa dalam masalah puasa Allah menegaskan bahwa Dia yang akan membalasnya sehingga seolah-olah amal yang lain itu bukan Allah yang membalasnya? Ini merupakan isyarat Rabbaniyah bahwa amal manusia yang bernama ash-shiyam benar-benar insya Allah akan dijamin diterima oleh Allah Swt. Apakah yang lain tidak dijamin? Ini karena puasa itu adalah ibadah sirriiyyah, dimana orang tidak mengetahui dan tidak melihat ketika dia berpuasa. karean ketika kita berpuasa, tidak ada orang lain yang tahu. Maka ibadah yang sirriyyah itu adaah sangat dekat dengan keikhlasan. Dan syarat agar suatu amal itu diterima oleh Allah, selain harus benar sesuai dengan ajaaran Rasulullah Saw., harus ikhlas. Makanya kalau ingin menjadi orang yang populer, tidak bisa melewati pintu puasa. Kalau terkenal sebagai seorang mubaligh, bisa. Terkenal menjadi qori’ dan qori’ah, bisa. Terkenal menjadi politikus, bisa. Dan itu semuanya sangat rawan dengan riya’, dan riya’ itu menjadikan amal tidak diterima oleh Allah Swt. Itulah sebabnya mengapa dalam kaitannya dengan puasa ini Allah menegaskan bahwa Dia sendiri yang akan membalasnya. Inilah yang dikatakan bahwa puasa akan melatih kita untuk mempunyai tingkat kontrol yang tinggi, baik ketika kita menjadi seorang pemimpin, atau karyawan, ulama’ atau yang lainnya. Kita tidak merasa dikontrol oleh yang lainnya, akan tetapi yang terpentinga dalah bahwa kita sadar bahwa kita dikontrol oleh Allah Swt.
Yang kedua, lembaga shiyam ini mendorong kita agar kita agar obsesi kita tentang kehidupan akherat itu lebih dominan daripada obsesi dunia. Jadi obsesi ukhrowi kita, agar kita menjadi hamba Allah yang akan mendapatkan kenikmatan abadi, itu harus lebih dominan daripada kesenangan yang sifatnya sementara. Karena seluruh kenikmatan yang ada di dunia ini, nikmat apa pun namanya, harta, pangkat, dan sebagainya itu semuanya bersifat sementara. Makanya dalam bahasa Al-Qur’an kenikmatan dunia itu tidak disebut nikmat, akan tetapi disebut mata’. Mata’ itu arti adalah maa yatamatta’u bihil insan tsumma yazulu qoliilan-qoliilan (mata’ adalah sesuatu yang disukai oleh manusia, akan tetapi sedikit demi sedikit akan hilang)”. Kalau kita ditakdirkan Allah mempunyai istri yang sangat cantik, ketika sudah berusai 60 tahun, maka kecantikannya pasti akan luntur, sehingga mungkin kita berpikir mencari yang masih muda lagi. Kenapa? karena kenikmatan dunia itu pasti ada batasnya. Ini adalah halyang manusiawi. Puasa itu melatih kita agar obsesi yang ada dalam diri kita itu obsesi yang tentang kehidupan yang abadi di akhirat. Makanya makanan, minuman, istri, dan semua yang halal itu kita gapai dalam rangka untuk mendapatkan kenikmatan yang abadi.
Di negara kita yang sedang terkena krisis multi dimensional ini dan dipenuhi dengan kerusuhan, disebabkan karena banyak manusia di negara ini ytang obsesinya bukan obsesi ukhrowi. Ada orang yang ingin menjatuhkan orang lain, ada orang yang khawatir kalau-kalau dijatuhkan. Kalau obsesi duniawi ini dominan, bisa-bisa kita akan kehilangan kehidupan ukhrowi kita. Ketika kita memasuki bilan Ramadhan, maka kita akan ditarbiyah oleh Allah agar obsesi kit aadalah obsesi ukhrowi. Namun ini bukan berarti kehidupan duniawi dilarang. Akan tetapi duniawi itu bukan yang dominan dalam kehidupan kita. Makanya kita diajarkan untuk berdo’a “Walaa taj’al mushiibatana fii diinina, walaa taj’aliddun-yaa akbaro hammina (jangan jadikan dunia sebagai obsesi terbesar dalam kehidupan kami), walaa mablagho ‘ilmina, walaa ilannaari mashiirona. Do’a ini sering dibaca, akan tetapi dalam perbuatannya warnanya lain.
Yang ketiga, dari lembaga shiyam ini akan melahirkan manusia-manusia yang benar-benanr mempunyai al-hasasiyyah al-ijtima’iyyah (mempunyai kepekaan sosial yang tinggi). Dari mana bisa kita ketahui? Ketika kita berpuasa sunnah, baik Senin-Kamis atau puasa ayyamul bidh, kita merasakan berpuasa sendirian. Dibandingkan dengan puasa di bulan Ramadhan, puasa sunnah ini perasaan kita lebih berat, karena dilaksanakan sendirian. Ini yang harus kita perhatikan, sekarang ini bangsa kita (sebagian besar) sudah kehilangan kepekaan sosial. Kalau ada tindak kejahatan di tempat keramaian, sangat langka kita temukan orang yang peduli dengan membantu melawan penjahat. Kalau ada wanita yang sangat cantik lewat dan hampir semua mata melihat, apakah ada orang yang memprotes hal itu? Padahal, bukankah wanita itu isterinya orang yang haram untuk dipelototi? Bahkan perbuatan seperti ini kadangkala diberikan pembenaran dengan dalih ‘mubadzir’ kalau tidak dilihat. Ini menunjukkan rendahnya sensitifitas keimanan (hasasiyah imaniyah). Yang ada adalah kerawanan dalam kehidupan sosial, karena kemaksiatan sudah melembaga dan orang diam saja ketika melihatnya. Padahal di masa Rasulullah SAW, orang tidak akan tinggal diam ketika melihta suatu kemungkaran. Bahkan ketika jauh setelah kehidupan Rasulullah, baik di jaman tabi’in maupun tabi’it tabi’in, tetapi mereka masih komitmen dengan ajaran Allah, maka sensitifitas sosial itu sangat tinggi. Misalnya, di jaman dahulu kalau kita shalat jama’ah di masjid, kemudian kita melihat ada tetangga atau saudara kita tidak datang, maka setelah selesai shalat, semua jama’ah langsung mendatangi orang yang tidak shalat berjama’ah tadi untuk menziarahinya, seolah-olah orang yang tidak shalat jama’ah itu adalh orang yang mati sehingga perlu dita’ziyahi. Kalau seandainya kita tidak shalat jama’ah dan kemudia kita dita’ziyahi, maka kita akan termotivasi untuk selalu shalat jama’ah. Dan shalat jama’ah adalah ibadah yang sangat terkait dengan sensitifitas sosial. Ironisnya di negara ini ketika ada orang diganggu, dicopet, atau digoda, yang lainnya diam saja, dan bisikan yang ada dalam dirinya adalah ‘yang penting saya selamat’. Orang seperti ini adalah orang yang mati dalam kehidupannya, karena bahasa masing-masing itu bahasa akhirat, bahasa ketika kiamat tiba, sehingga orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Suami lari dari istri dan anaknya, anak lari dari orang tuanya. Allah berfirman:
“Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkalala yang kedua). Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya” (QS ‘Abasa: 33-37).
Jadi kehidupan masing-masing itu adalah kehidupan akherat. Akan tetapi sekarang ini sudah ada di dunia., Berarti seolah-olah sebagian masyarakat sudah merindukan kematian, padahal masih hidup. Makanya banyak kebajikan yang tidak jalan, keadilan tidak tegak. Dalam kondisi demikian, puasa hadir di tengah-tengah kita untuk memperlihatkan bagaimana Islam itu benar-benar mempunyai kepedulian terhadap kehiduapan bermasyarakat.
Pada masa Rasulullah Saw., ada juga kemaksiatan. Ada juga shahabat yang berbuat maksiat, karena mereka bukan malaikat. Sekalipunsebaik-baik generasi adalah genarasi Rasulullah Saw., akan tetapi ada saja yang berbuat maksiat. Ada yang pernah mencuri, ada yang pernah berbuat zina dan yang lainnya. Akan tetapi kriminalitas itu masih sangat kecil sekali, sehingga jarang ditemui. Itu pun bersifat pribadi dan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Ironisnya, sekarang maksiat itu dilakukan ramai-ramai dan secara terang-terangan tanpa malu-malu. Sehingga yang benar itu tertutup, keamanan tidak nampak. Yang nampak adalah sesuatu yang menakutkan. Bahkan kadang-kadang sampai di tempat yang suci seperti masjid, kadang-kadang orang tidak bisa khusyu’ shalatnya karena takut sepatu atau sandalnya hilang. Kalau di masjid saja orang masih tidak khusyu’ beribadah karena khawatir menjadi korban kejahatan, bagaimana di tempat yang lain? Ini semua karena bayak orang yang telah kehilangan kepedulian sosialnya. Inilah bedanya antara jaman kita dengan jaman Rasulullah Saw. Bahkan di masa Rasulullah Saw., ketika ada seorang berbuat zina dan kemudian dia hamil, dia sendiri kemudian bertaubat dan malah dia sendirilah yang melakukan perbuatannya itu kepada Rasulullah Saw., karena ketika dia berzina, itu terjadi karena kelemahamn iamnnya. Dalam hadits dijelaskan “Laa yadri azzani ila yazni wahuwa mu’min (tidaklah seseorang berani berbuat zina ketika zina, sementara dia dalam keadaan beriman)”. Ketika seorang perempuan tadi berzina, dan setelah itu ia sadar bahwa ia telah berbuat dosa, langsung dia datang kepada Rasulullah Saw. minta agar dia dihukum sesuai dengan ajaran Islam. mari kita merenung. Memang benar bahwa pada masa Raulullah pun ada orang yang berbuat salah. Akan tetapi ketika ada diantara mereka yang berbuat salah, dia langsung mengaku dan minta dihukum, padahal oranmg lain tidak tahu. Sekarang bagaimana kondisinya? Jadi kalau kita bersalah, hendaklah kita datang untuk minta dihukum. Kenapa? Karena seorang mukmin yang benar-benar beriman, benar-benar yakin bahwa siksa akhirat itu lebih pedih. Dengan demikian, benar-benar akan efisien tenaga itu. Kalau seandainya semua orang sama dengan wanita yang bertaubat ini, maka aparat hukum tidak perlu capai-capai.
Ash-shiyam secara bahasa artinya adalah al-habsu (menahan diri), menahan diri dari seluruh bentuk kemaksiatan. Kalau setiap kita menahan diri, jangankan terhadap yang haram, yang mubah saja akan kita tinggalkan. Makanan, minuman, istri itu kan boleh. Akan tetapi di bulan Ramadhan pada siang harinya semua bisa kita tahan. Kalau yang halal saja bisa kita tahan, apalagi yang haram? Oleh karena itu jangan dalam berpuasa malah terbalik, yaitu yang mubah ditinggalkan tetapi yang haram dilakukan. Makanan, minuman ditinggalkan, ghibah dilakukan, korupsi jalan terus, dengan alasan untuk persiapan lebaran.
Inilah kepekaan-kepekaan ruhani yang benar-beanr mengalir dalam setiap diri kita ketika kita berpuasa sebagaimana yang dikehendaki Allah Swt. Dan jangan sampai ada di antara kita yang menganggap bahwa puasa itu berat. Bahkan Rasulullah Saw. dan para shahabat serta para tabi’in, banyak yang menggunakan Ramadhan untuk berjihad di jalan Allah Swt. Perang Badar, Perang Fathu Makkah, Perang ‘Iinu Jaalut yang terjadi pada abad ke-7 Hijriyah, dimana tentara-tentara Islam di bawah pimpinan mamaalik (jama’ dari mamluk) bisa mengalahkan tentara-tentara salib, terjadi di bulan Ramadhan. Saking hebatnya kemenangan yang dicapai umat Islam pada bulan Ramadhan, Allah Swt. mengabadikannya dalam Al-Qur’an, sebagaimana yang terdapat pada QS Al-Anfal, dimana perang Badar dikatakan sebagai yaumal furqoon, sebagaimana yang terdapat pada firmanNya:
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) dihari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Penguasa segala sesuatu” (QS Al-Anfal: 41).
Pasukan kebenaran yang jumlahnya sedikit, tetapi dimenangkan oleh Allah Swt. dalam melawan kekuatan bathil yang mempunyai kekuatan besar dan jumlah tentara yang sangat banyak. Oleh karena itu Ramadhan yang akan kita lalui ini semoga mengantarkan kita pada kemenenagan, kemenangan melawan hawa nafsu, kemenangan bangsa ini dalam melawan krisis, kemenangan umat Islam dalam melawan perselisihan, percekcokan antara sesama umat Islam, kemenangan bangsa ini dalam menghadapi konspirasi dunia internasional yang dimotori oleh Yahudi, yang mereka tidak senang melihat Indonesia maju karena negara ini adalah negara Islam. oleh karena itu marilah kita jadikan Ramadhan ini kita jadikan momentum Islam untuk kembali kepada Allah sehingga mencapai kemenangan yang hakiki. Wallahu a’lam bishshawab.


Materi 2:
MARHABAN YA RAMADHAN


Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa (QS 2:183)

Beberapa minggu lagi kita akan kedatangan bulan Ramadhan 1425 H. Sebagai muslim, sudah seharusnya kalau kedatangan Ramadhan tahun ini kembali kita sambut dengan penuh kegembiraan karena insya Allah, kesempatan menikmati ibadah Ramadhan kembali kita peroleh. Target utama dari ibadah Ramadhan sebagaimana yang disebutkan pada ayat adalah semakin mantapnya ketaqwaan kepada Allah Swt. Sebagai wujud dari rasa gembira itulah, Ramadhan tahun ini tidak boleh kita lewatkan begitu saja tanpa aktivitas yang dapat meningkatkan ketaqwaan diri, keluarga dan masyarakat kita kepada Allah Swt. Maka, persiapan-persiapan kearah itu sudah harus kita lakukan, baik secara pribadi maupun bersama-sama.
Ramadhan yang penuh berkah harus kita jadikan sebagai momentum untuk menyelamatkan masyarakat dengan melakukan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah), baik dengan taubat, munajat dan menjalankan sejumlah peribadatan maupun dengan khidmat yakni memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat agar kehidupan kita betul-betul dapat dirasakan manfaatnya bagi orang lain dan perbaikan masyarakat dapat kita wujudkan dari waktu ke waktu, baik perbaikan diri, keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara.

KLASIFIKASI PROGRAM
Sekurang-kurangnya, ada tiga klasifikasi program yang harus kita persiapkan. Pertama, tarhib atau menyambut Ramadhan dengan mengkondisikan diri, keluarga dan masyarakat untuk menyambut dan mengisi Ramadhan yang mubarok dengan berbagai aktivitas yang dapat memantapkan ketaqwaan. Secara pribadi ada beberapa hal yang harus dilakukan, Pertama, menjaga kondisi fisik agar tetap sehat sehingga ibadah Ramadhan seperti puasa, tarawih, tilawah dll dapat kita laksanakan dengan baik, karena bila sakit amat sulit bagi kita untuk melaksanakan berbagai aktivitas Ramadhan yang memang amat menuntut kesiapan fisik. Kedua, mengingat atau mengkaji kembali fiqih yang berkaitan dengan ibadah Ramadhan sehingga pelaksanaannya bisa berjalan dengan baik karena didasari pada pemahaman yang baik. Ketiga, segera membayar atau mengqadha puasa yang dengan sebab-sebab tertentu tidak bisa kita laksanakan pada Ramadhan tahun lalu. Keempat, mengkondisikan diri dengan menunaikan ibadah-ibadah yang sunat seperti puasa bulan Sya’ban, tadarus Al-Qur’an dan sebagainya. Kelima, saling maaf memaafkan dengan sesama kaum muslimin sehingga dalam memasuki Ramadhan, dosa kita dengan sesama manusia sudah kita hapus sehingga pada bulan Ramadhan hanya menyelesaikan dosa kepada Allah Swt, sehingga ketika Ramadhan berakhir dan tiba hari raya Idul Fitri, kita benar-benar berada dalam keadaan fitrah atau suci.
Setelah mempersiapkan pribadi, mempersiapakan keluarga dan masyarakat untuk menunaikan aktivitas dan ibadah Ramadhan juga harus kita lakukan. Diantara aktivitas yang bisa kita lakukan untuk mengkondisikan masyarakat untuk menyambut Ramadhan antara lain; pemasangan spanduk dan stiker penyambutan Ramadhan dengan slogan-slogan yang menumbuhkan semangat beribadah Ramadhan dengan segala aktivitasnya, menyelenggarakan tabligh akbar, membentuk panitia kegiatan Ramadhan di masjid, mushalla dan kerohanian Islam baik di kantor, kampus maupun sekolah dan klub-klub seperti olah raga, kesenian dll dengan mencanangkan sejumlah program dan sebagainya. Persiapan menyambut Ramadhan juga harus dilakukan oleh para pengelola media massa, baik cetak maupun elektronik dengan menyiapkan acara dan rubrik Ramadhan yang berkualitas. Tegasnya semua pihak dari kaum muslimin harus mempersiapkan diri menyambut kedatangan Ramadhan tahun ini dengan perencanaan yang matang, untuk itu mutlak keharusan pembentukan panitia kegiatan Ramadhan agar aktivitas Ramadhan bisa dilaksanakan dengan baik.
Kedua, ihya atau menghidupkan Ramadhan dengan berbagai aktivitas yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, seperti puasa, shalat tarawih dan witir, berdo’a, tilawah, tasmi’ (memperdengarkan) dan tadabbur Al-Qur’an, khataman Al-Qur’an, I’tikaf sepuluh hari terakhir dan sebagainya. Disamping itu aktivitas Ramadhan juga harus dapat memperkokoh hubungan dengan sesama, seperti zakat, infaq dan shadaqah, ifthor (buka puasa) bersama, bazar Ramadhan dan sebagainya. Yang juga amat penting adalah adanya upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas aktivitas da’wah, misalnya dengan penyelenggaraan ceramah tarawih yang harus ditentukan topik-topiknya agar tidak tumpang tindih atau pengulangan yang terlalu berlebihan, dalam kaitan ini juga harus menetapkan pembicara atau penceramah yang tepat, begitu juga dengan kualiah subuh dan ceramah zuhur di kantor-kantor. Pelatihan-pelatihan dalam rangka itu juga perlu diselenggarakan, misalnya pelatihan khatib dan muballigh, pengelolaan perpustakaan masjid, manajemen masjid, mengurus jenazah, pengelolaan zakat, pengelolaan baitul maal wat tamwil (BMT) dan sebagainya yang kesemua itu juga dimaksudkan untuk meningkatkan pemakmuran masjid dan sebagainya.
Ketiga, ba’da Ramadhan, yakni menindaklanjuti aktivitas Ramadhan sehingga Ramadhan tidak berakhir begitu saja tanpa sesuatu yang berarti. Aktivitas ba’da Ramadhan yang dimaksudkan untuk memberikan bekas yang dalam antara lain menyelenggarakan takbiran sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw, bukan takbiran yang hura-hura dan mengandung nilai kemaksiatan, melaksanakan shalat Idul Fitri yang berlangsung secara khusyu, menyerukan atau mengingatkan kaum muslimin akan nilai-nilai Ramadhan yang harus kita tindak lanjuti, memperkokoh silaturrahmi antar keluarga dan masyarakat muslim agar tumbuh dan dapat direalisasikan semangat kebersamaan dalam menjalankan ajaran Islam, melaksanakan puasa sunat bulan Syawal dan memulai kembali aktivitas keislaman yang dialihkan sementara kepada kegiatan Ramadhan.
Manakala sejak dini, aktivitas Ramadhan telah kita rencanakan dengan matang dan kita laksanakan pada waktunya dengan baik, niscaya banyak manfaat yang kita peroleh dalam upaya menyelamatkan diri, keluarga dan masyarakat dari sejumlah krisis yang selalu menghantui.


Materi 3:
BULAN ISTIMEWA


Ketika ibadah Ramadhan tahun lalu kita akhiri, salah satu harapan yang merasuk kedalam jiwa kita adalah keinginan untuk bisa menjumpai dan menikmati bulan Ramadhan pada tahun berikutnya. Insya Allah, harapan itu akan terpenuhi, karenanya kita berharap semoga Allah Swt benar-benar menyampaikan usia kita pada Ramadhan tahun ini.
Kalau kita begitu berharap bisa menikmati kembali ibadah Ramadhan pada tahun ini, karena Ramadhan adalah bulan yang sangat istimewa. Karena itu, kehadiran Ramadhan tahun ini yang tidak akan kita sia-siakan begitu saja. Sebagai orang yang gembira atas kedatangan kembali Ramadhan dan kita bisa memasukinya, maka target yang ingin kita capai adalah mendapatkan nilai-nilai keistimewaan dari bulan Ramadhan itu sendiri sebagai titik awal untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Swt. Lalu, selain keharusan berpuasa sebulan penuh, apa saja keistimewaan bulan Ramadhan itu?.

1. BULAN AL-QUR’AN
Ramadhan seringkali disebut dengan Syahrul Qur’an (Bulan Al-Qur’an), karena awal diturunkannya Al-Qur’an adalah pada bulan Ramadhan. Dengan berpedoman pada Al-Qur’an, niscaya perjalanan hidup manusia menjadi terarah dan memberi kebahagiaan, kedamaian, ketentraman dan kemakmuran serta keadilan. Banyak dari kita, kaum muslimin yang sudah jauh dari Al-Qur’an, mulai dari jauh dalam bentuk tidak bisa membacanya, bisa membaca tapi tidak rajin membacanya, rajin membaca tapi tidak memahaminya, memahami tapi tidak mengamalkannya atau sudah mengamalkannya tapi baru untuk dirinya sendiri, belum merangsang atau mengajak orang lain untuk mengamalkannya.
Oleh karena itu, sebagai bulan Al-Qur’an, Ramadhan mengingatkan dan mengetuk hati kita untuk memperkokoh komitmen kepadanya. Bila Ramadhan yang segera kita masuki telah berakhir dan komitmen kita kepada Al-Qur’an semakin kuat, hal itu merupakan indikasi dari keberhasilan ibadah Ramadhan kita, sehingga dalam menjalani kehidupan ini, kita selalu berpedoman kepada Al-Qur’an, karena Al-Qur’an memang berfungsi sebagai petunjuk dan dalam menilai sesuatu, kitapun menggunakan Al-Qur’an sebagai tolok ukur, karena Al-Qur’an memang berfungsi untuk membedakan antara yang haq (benar) dengan yang bathil (salah), Allah berfirman yang artinya: Bulan Ramadhan adalah bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). (QS 2:185).

2. PINTU SYURGA DIBUKA, NERAKA DITUTUP.
Setiap muslim pasti ingin sekali bisa masuk syurga dengan segala kenikmatannya dan terhindar dari neraka dengan segala kesengsaraan dan penderitaannya. Ramadhan adalah bulan yang amat memberi peluang kepada kita untuk meraih syurga dan menghindar dari neraka. Namun ini sifatnya tidak otomatis bersamaan dengan datangnya Ramadhan, tapi itu bisa kita raih manakala Ramadhan ini kita penuhi dengan segala bentuk kebajikan, sekecil apapun kebajikan yang kita lakukan itu.
Ramadhan yang merangsang kita untuk melaksanakan segala aktivitas kebajikan akan menghantarkan kita ke pintu syurga yang seluas-luasnya, bahkan bagi orang yang berpuasa, Rasulullah Saw sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menyatakan ada pintu khusus untuk masuk syurga itu yang dinamakan dengan Ar Royyan. Sementara dengan ibadah Ramadhan yang sebaik-baiknya, seorang muslim semakin kecil peluangnya akan kemungkinan masuk ke dalam neraka. Itulah salah satu maksud pintu syurga dibuka lebar dan pintu neraka ditutup rapat dengan sebab puasa Ramadhan sebagaimana hadits Nabi Saw:


Jika tiba bulan Ramadhan, maka dibuka pintu-pintu syurga dan ditutup pintu-pintu neraka dan dibelenggu semua syaitan (HR. Bukhari dan Muslim).

3. MEMBELENGGU SYAITAN
Hadits di atas juga menyebutkan dibelenggunya syaitan-syaitan ketika Ramadhan tiba, hal ini karena dengan telaksananya ibadah Ramadhan dengan sebaik-baiknya, syaitan merasa amat sangat sulit mencapai keberhasilan dalam menggoda manusia, sehingga selama Ramadhan itu, syaitan betul-betul merasa terbelenggu atau sangat terbatasi keleluasaannya dalam menggoda manusia.
Dengan demikian, sebagai muslim, kita harus aktif dalam membelenggu syaitan melakukan aktivitasnya menyesatkan manusia, dan bulan Ramadhan adalah kesempatan yang amat baik untuk melatih kekuatan rohani kita untuk bisa membatasi ruang gerak syaitan dalam diri kita masing-masing.

4. AMPUNAN DOSA.
Ibadah Ramadhan yang dikerjakan dengan sebaik-baiknya juga akan memberi keuntungan atau keistimewaan bagi kita dengan diampuninya dosa-dosa kita dimasa lalu oleh Allah Swt. Ini merupakan peluang yang sangat besar yang diberikan Allah dan kita tidak boleh mensia-siakan kesempatan ini. Kenapa demikian?. Karena sudah begitu banyak dosa yang kita lakukan, dosa anak kepada orang tua, dosa orang tua kepada anak, dosa isteri kepada suami, dosa suami kepada isteri, dosa pemimpin pada rakyat, dosa rakyat pada pemimpin, dosa murid kepada guru, dosa guru kepada murid dan begitulah seterusnya. Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ridha Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR Bukhari).
Kalau peluang yang begitu besar ini kita abaikan, peluang mana lagi yang ingin kita ambil. Memang tahun depan, Ramadhan akan kembali tiba kalau kiamat belum terjadi, tapi yang jadi masalah adalah usia kita yang belum tentu sampai, sebagaimana banyak orang diantara keluarga, teman, jamaah dan masyarakat kita yang sudah tidak bisa berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan tahun ini karena mereka telah meninggal dunia..

5. MEMPERKUAT BENTENG PERTAHANAN.
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Majah, Rasulullah Saw menyatakan: ash shiyamu junnatun (puasa itu adalah benteng). Dalam suatu peperangan, diperlukan benteng untuk memantapkan pertahanan. Dalam kehidupan seorang muslim, terjadi kecamuk perang dalam jiwanya antara yang haq dan yang bathil. Untuk bisa memenangkan peperangan itu, seorang muslim harus memiliki benteng pertahanan yang kuat sehingga bisa menghalau segala godaan syaitan.
Puasa sebagai upaya memperkuat benteng pertahanan rohani merupakan sesuatu yang amat penting. Tersebarluasnya kemaksiatan dan kemunkaran, sulitnya memperkokoh persatuan Islam dan umat Islam pada hakikatnya adalah karena lemahnya kekuatan rohani yang membuat syaitan menjadi begitu berkuasa atas diri kita. Karena itu, dalam kondisi kehidupan masyarakat kita yang masih amat jauh dari nilai-nilai Islam, peran puasa Ramadhan menjadi sesuatu yang amat mendasar dalam membentengi jiwa umat dalam menghadapi godaan-godaan syaitan yang tiada henti.

6. PAHALA BESAR
Keistimewaan penting dari bulan Ramadhan adalah diberikannya pahala yang begitu besar kepada siapa saja yang melakukan kebajikan atau amal yang shaleh. Hal ini akan membuat kita semakin terlatih atau terbiasa untuk melakukan amal-amal yang shaleh. Sebagai sebuah contoh, untuk orang yang memberi makan atau minum kepada orang yang berbuka puasa, maka Allah Swt akan memberikan pahala puasa orang yang diberi makan atau minum itu tanpa mengurangi pahala orang tersebut.
Ibadah Ramadhan memang memberikan janji perolehan pahala yang besar. Dengan pahala yang besar itu kita terangsang untuk beramal shaleh yang sebanyak-banyaknya, lalu kita menjadi terbiasa melakukannya.
Akhirnya menjadi jelas bagi kita bahwa, begitu banyak keistimewaan bulan Ramadhan yang membuat kita tidak boleh mengabaikannya begitu saja. Karena itu, kehadiran Ramadhan pada tahun ini akan kita optimalkan sebagai momentum untuk meningkatkan proses tarbiyyah (pendidikan) bagi diri, keluarga dan masyarakat kita kearah terwujudnya pribadi, keluarga dan masyarakat yang selalu berada dalam ketaqwaan kepada Allah Swt.


Materi 4:
ISLAM: PRIBADI, KELUARGA DAN MASYARAKAT


Salah satu yang kita dambakan dalam hidup ini adalah terwujudnya kehidupan yang baik berdasarkan nilai-nilai Islam. Sebagai agama yang syamil (menyeluruh) dan kamil (sempurna), Islam memberikan perhatian yang begitu besar pada pembentukan pribadi, keluarga dan masyarakat yang Islami. Oleh karena itu, menjadi penting bagi kita untuk memahani hakikat pribadi, keluarga dan masyarakat yang Islami.

PRIBADI ISLAMI.
Kepribadian yang islami adalah pribadi yang bertaqwa dan selalu merasa diawasi oleh Allah Swt. Perasaan diawasi oleh Allah menjadi begitu penting dalam kehidupan seorang muslim karena dengan demikian dia tidak berani menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan Allah, hal ini karena setiap perbuatan manusia ada pertanggung-jawabannya dihadapan Allah, kebaikan dan keburukan yang dilakukannya untuk dirinya sendiri. Allah berfirman yang artinya: Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al kitab (Al-Qur’an) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk maka petunjuk itu untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian dirinya sendiri, dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka (QS 39:41).
Disamping itu pada ayat lain Allah juga berfirman yang artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggungan jawabnya (QS 17:36).
Puasa dan seluruh peribadatan di dalam Islam melatih kita untuk selalu dalam pengawasan Allah, menghargai waktu, disiplin dan sebagainya, sehingga dari ibadah ini insya Allah akan kita capai perbaikan keislaman diri ke arah yang lebih baik dan terus menunjukkan ketundukan kepada Allah Swt hingga akhir hayat, Allah Swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan jangan sampai kamu mati kecuali dalam keadaan muslim (QS 3:102).

KELUARGA ISLAMI.
Keluarga Islami adalah keluarga yang anggota-anggota bukan hanya status keagamaannya sebagai muslim, tapi juga dapat menunjukkan keislaman dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam hubungannya kepada Allah Swt maupun dengan sesama anggota keluarga dan tetangganya. Dari sini akan terpancar sinar kemuliaan keluarga dalam kehidupan masyarakat, karena dari keluarga yang islami itulah akan terwujud nantinya masyarakat yang islami. Oleh karena itu menjadi penting bagi setiap muslim untuk memperbaiki dan menata keluarga dengan sebaik-baiknya.
Dalam konteks bulan Ramadhan, memperbaiki keislaman keluarga bisa kita lakukan dengan lebih menkondisikan suasana pengamalan ajaran Islam dalam keluarga seperti tadarrus dan tadabbur (mengkaji) Al-Qur’an, sahur bersama, buka puasa bersama, tarawih bersama yang disertai ceramah dan memperkokoh hubungan dengan sesama anggota keluarga karena suasana kumpul bersama keluarga di rumah pada bulan Ramadhan relatif lebih banyak sehingga tercipta keakraban dan keharmonisan hubungan antar keluarga yang berdampak sangat positif dalam upaya memperbaiki keislaman anggota keluarga.
Ramadhan boleh dikata sebagai momentum yang sangat baik untuk memperbaiki keislaman anggota keluarga. Misalnya anggota keluarga yang belum bisa membaca Al-Qur’an bisa kita kontrol dan kita tumbuhkan atau kita tingkatkan kemampuannya membaca Al-Qur’an, begitu juga dengan pemahaman dan pengamalannya. Memperbaiki keislaman keluarga merupakan tanggung jawab kita bersama, khususnya bagi seorang suami atau bapak, maka seorang bapak harus memperbaiki keislaman dirinya terlebih dahulu baru memperbaiki keislaman keluarganua. Keluarga harus kita islamisasikan karena azab Allah sangat pedih bagi siapa saja yang tidak bertaqwa kepada-Nya, Allah berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS 66:6)

MASYARAKAT YANG ISLAMI.
Terwujudnya masyarakat yang berkepribadian Islami merupakan sesuatu yang sangat penting. Dengan terwujudnya masyarakat Islami, ketertiban, kedamaian dan ketenangan hidup akan sama-sama kita rasakan, bahkan hidup jadi terarah pada nilai-nilai kebenaran dan dapat kita kikis habis tindakan-tindakan yang maksiat atau paling tidak sangat kecil peluang manusia untuk melakukan kemaksiatan. Dari sini masyarakat akan memiliki harapan yang lebih besar terhadap masa depan yang cerah, tapi bila masyarakat tidak Islami, maka masa depan yang bahagia akan terasa suram. Allah Swt berfirman,
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS 7:96).
Apabila manusia, baik secara pribadi maupun kelompok atau masyarakat memperoleh keberkahan dari Allah Swt, maka kehidupannya akan selalu berjalan dengan baik, rizki yang diperolehnya cukup bahkan melimpah, sedang ilmu dan amalnya selalu memberi manfaat yang besar dalam kehidupan. Disinilah letak pentingnya bagi kita mewujudkan masyarakat yang islami. Pertanyaan kita kemudian adalah seperti apa masyarakat Islami yang harus kita wujudkan itu.
Paling kurang ada empat ciri masyarakat Islami yang harus kita tegakkan. Pertama, masyarakat yang bersaudara antar satu dengan lainnya. Masyarakat yang tidak mempersoalkan orang asing atau pribumi, dikenal atau belum, penduduk asli atau pendatang, yang penting adalah ketaqwaannya kepada Allah Swt sebagaimana firman-Nya,
“Hai manusia, sesunguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS 49:13).
Kedua, Masyarakat yang tidak mengenal konflik dan pertentangan, hal ini karena konflik dan pertentangan biasanya terjadi karena ada kesenjangan yang salah satunya adalah kesenjangan ekonomi dan masyarakat Islam tentu menunaikan zakat, infak dan shadaqah. Karena itu, dengan zakat yang ditunaikan secara baik, akan terjembatani jarak yang memisahkan antara yang kaya dengan yang miskin. Manakala konflik dan pertentangan antar sesama anggota masyarakat sudah bisa diatasi atau diselesaikan, niscaya masyarakat itu akan menjelma menjadi masyarakat yang kuat meskipun sebenarnya potensinya lemah, sedangkan masyarakat yang sebenarnya memiliki potensi yang besar tetap saja akan menjadi lemah bila masih saja mengembangkan konflik dan pertentangan, Allah Swt berfirman yang artinya,
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS 8:46).
Ketiga, masyarakat yang bersungguh-sungguh dalam kebaikan termasuk dalam mencari kebutuhan ekonomi yang halal bagi diri dan keluarganya merskipun dengan susah payah dalam memperolehnya, Rasulullah Saw bersabda,
“Seseorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kaya bakar lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kerbutuhan dan nafkah dirinya, maka itu lebih baik dari seseorang yang meminta-minta kepada orang yang terkadang diberi dan kadang ditolak (HR. Bukhari dan Muslim).
Keempat, masyarakat yang terhormat, yakni masyarakat yang memiliki izzah, kemuliaan atau harga diri, baik dalamn kaitan dengan mencari harta, melapiaskan keinginan seksual maupun dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia. Citra diri merupakan sesuatu yang selalu dijaga dan dipertahankan.
Dari uraian di atas, menjadi jelas bagi kita bahwa terbentuknya pribadi, keluarga dan masyarakat yang islami merupakan suatu kebutuhan bagi proses perwujudan kehidupan dunia yang aman, adil dan sejahtera.


Materi 5:
TARBIYYAH RAMADHAN


Ada banyak faktor yang membuat kita harus bersyukur kepada Allah Swt. Salah Satunya adalah disampaikan-Nya usia kita pada bulan Ramadhan yang mubarak, sehingga kita bisa rasakan lagi ibadah Ramadhan yang nikmat itu. Kenikmatan ibadah Ramadhan dapat kita rasakan salah satunya dari sisi nilai tarbiyyah (pendidikan) nya terhadap diri, keluarga dan masyarakat.
Oleh karena itu, manakala ibadah Ramadhan ini dapat kita tunaikan dengan sebaik-baiknya, maka masyarakat dan negara kita yang mayoritas penduduknya muslim ini akan sampai pada suatu keadaan yang bersih jiwanya sehingga melahirkan masyarakat dan bangsa yang bersih dari sifat dan prilaku yang buruk.
Ada banyak nilai tarbiyyah Ramadhan yang akan kita peroleh, khususnya dari ibadah puasa. Pemahaman tentang masalah ini perlu kita ingat dan segarkan kembali agar ibadah puasa Ramadhan pada tahun ini bisa kita optimalkan dalam peroleh hasil-hasilnya.

1. Membersihkan Jiwa.
Keadaan jiwa seseorang menjadi penentu utama bagi diri dalam bersikap dan berprilaku. Sikap dan prilaku yang baik atau buruk sangat ditentukan oleh apakah jiwanya bersih atau tidak. Puasa mentarbiyyah kita untuk menjadi manusia yang memiliki jiwa yang bersih. Indikasi jiwa yang bersih adalah senang melaksanakan apa yang diperintah Allah, menjauhi apa yang dilarang-Nya serta selalu berupaya untuk menyempurnakan pengabdiannya kepada Allah Swt.
Jiwa yang bersih akan membuat seseorang, pertama, senang pada kejujuran dan puasa memang mendidik seorang muslim untuk bersikap dan berprilaku jujur, meskipun tidak ada orang lain yang mengetahui kalau dia melakukan pelanggaran. Kedua, takut kepada Allah dan selalu merasa diawasi olehnya yang membuat tumbuh dalam jiwanya rasa dekat kepada Allah Swt sehingga dia tidak mau melanggar ketentuan-ketentuan Allah Swt, meskipun pelanggaran yang dilakukannya termasuk pelanggaran yang kecil dan tidak diketahui oleh orang lain. Ketiga, orang yang mendambakan kebersihan jiwa, manakala telah diselimuti dengan dosa, maka dia ingin membersihkan dosa-dosanya itu, dan puasa merupakan salah satu upaya untuk membersihkan jiwa dari dosa-dosa. Keempat, jiwa yang bersih juga diindikasikan dalam bentuk disiplin dalam menjalan ketentuan-ketentuan Allah Swt dan puasa memang melatih kita untuk menjadi orang yang disiplin dalam menjalani kehidupan sebagaimana yang telah digariskan Allah Swt dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Makan, minum, melakukan hubungan seksual dan sebagainya ada ketentuan waktu yang harus ditaati oleh seorang muslim selama menunaikan ibadah puasa, ini berarti puasa harus menghasilkan jiwa disiplin dalam ketaatan kepada Allah Swt.Dan kedisiplinan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam dunia apapun, apalagi dalam menjalani kehidupan sebagai seorang muslim.

2. Memantapkan Keinginan Baik.
Keinginan (iradah) merupakan sesuatu yang mesti ada, tumbuh dan berkembang dalam diri seorang muslim dalam rangka melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah Swt.Puasa mendidik kita untuk menumbuhkan dan mengembangkan iradah untuk melaksanakan yang baik dan iradah untuk menjauhi segala bentuk keburukan.
Pahala atau imbalan besar yang disediakan Allah Swt terhadap orang yang berpuasa dengan baik membuat tumbuh pada dirinya keinginan untuk melaksanakan segala bentuk kebaikan dan menjauhi segala bentuk keburukan. Misalnya saja di bulan Ramadhan kita dibina untuk menolong orang lain dengan cara memberi makan atau minum kepada orang yang berbuka dengan pahala yang besar, Rasulullah Saw bersabda,
“Barangsiapa memberi jamuan buka puasa kepada orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahala seperti pahalanya (orang yang berpuasa) itu, yaitu tidak dikurang sedikitpun pahala orang yang berpuasa itu” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban).
Dengan imbalan yang besar itu, seorang sahabat meskipun miskin masih tetap berkeinginan untuk bisa memberi makan atau minum kepada orang yang berbuka puasa, tapi dia bertanya kepada Rasul tentang apa yang bisa diberikannya karena miskinnya itu, maka Rasulpun tidak menutup kemungkinan seseorang untuk menginginkan suatu amal yang baik, maka beliaupun menyatakan: “meskipun engkau hanya bisa memberi sebiji korma atau seteguk air”.

3. Mengendalikan Nafsu Seksual.
Secara khusus, ibadah puasa juga mendidik kita untuk melakukan pengendalian terhadap nafsu seksual, tapi bukan membunuh nafsu seksual sehingga kita tidak memilikinya lagi. Nafsu seksual merupakan salah satu pintu yang digunakan oleh syaitan dalam menggoda manusia menuju jalan yang sesat. Karena itu, tidaklah aneh kalau kita menemukan begitu banyak manusia yang akhirnya jatuh ke lembah yang nista karena tidak mampu mengendalikan nafsu seksualnya. Berapa banyak orang kaya yang jatuh miskin karena masalah seksual, berapa banyak pejabat yang jatuh dari kursi kekuasaannya karena nafsu seksual dan berapa banyak terjadi kasus-kasus kerusakan akhlak lainnya karena berpangkal dari persoalan seksual.
Karena itu, tidak aneh juga kalau ada psikolog menganggap seks sebagai faktor utama penggerak aktivitas manusia, karena memang begitulah yang banyak terjadi di berbagai belahan dunia, khususnya di dunia barat. Wabah kerusakan moral dan berbagai penyakit telah bermunculan karena bermula dari ketidakmampuan manusia mengendalikan nafsu seksualnya.
Oleh karena itu, bagi seorang muslim, masalah seksual merupakan karunia Allah Swt yang pelampiasannya boleh dilakukan pada batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka ibadah puasa melatih kita untuk mengendalikan keinginan seksual itu, jangankan kepada wanita lain atau kepada lelaki lain, kepada isteri atau suami saja harus dikendalikan dengan sebaik-baiknyapada saat sedang berpuasa, Allah berfirman yang artinya:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak bisa menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS Al-Baqarah: 187).

4. Mengokohkan Jiwa Kemasyarakatan
Sebagai manusia, kita menyadari bahwa hidup ini tidak mungkin bisa kita jalani dengan baik tanpa kebersamaan dengan manusia lainnya. Karena itu interaksi kita antara yang satu dengan yang lain merupakan suatu kebutuhan dan secara ekonomi, yang kaya harus membantu yang miskin, sementara yang miskinpun masih bisa bersyukur kepada Allah Swt karena bisa jadi masih banyak orang yang lebih miskin darinya.
Ibadah puasa mendidik kita untuk mengokohkan jiwa kemasyarakatan itu, sehingga sebagai orang yang memiliki kemampuan secara materi kita siap memberikan bantuan kepada yang tidak mampu karena kita sudah merasakan tidak enaknya lapar dan haus, padahal itu hanya berlangsung beberapa jam, sementara masih begitu banyak anggota masyarakat kita yang memerlukan bantuan, apalagi dalam krisis ekonomi di negara kita sekarang ini yang telah melahirkan penduduk miskin baru dalam jumlah yang amat banyak. Menumbuhkan jiwa kemasyarakatan itu nantinya disimbolkan dalam bentuk menunaikan zakat fitrah yang memang harus diberikan kepada mereka yang miskin.

TARGET PENINGKATAN TAQWA
Bila kita hendak simpulkan tentang apa sesungguhnya target ibadah puasa secara khusus dan ibadah Ramadhan lainnya secara umum, maka target yang hendak kita capai adalah terwujudnya peningkatan taqwa kepada Allah Swt dalam arti yang sesungguhnya sebagaimana firman Allah dalam QS 2: 183 di atas.
Oleh karena itu, dari Ramadhan ke Ramadhan, dari satu peribadatan ke peribadatan berikutnya semestinya membuat taqwa kita kepada Allah Swt semakin berkualitas, ibarat orang menaiki tangga, maka dia sudah berada pada pijakan tangga yang lebih tinggi sesuai dengan frekuensi peribadatannya. Manakala dari tahun ke tahun ibadah Ramadhan kita tunaikan, tapi ternyata tidak ada peningkatan taqwa kepada Allah yang kita tunjukkan, maka kita khawatir kalau puasa kita itu tergolong yang hanya merasakan lapar dan haus saja, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Betapa banyak orang yang berpuasa, tapi tidak mendapatkan pahalanya, melainkan hanya lapar dan haus saja (HR. Ahmad dan Hakim dari Abu Hurairah).
Semoga kita termasuk orang yang sukses dalam menjalankan ibadah Ramadhan.


Materi 6:
PUASA, MEMBENTUK SUMBERDAYA MUSLIM


Di dalam Al-Qur’an terdapat sekitar 90 ayat yang dimulai dengan panggilan atau seruan kepada orang-orang yang beriman dengan kalimat: Hai orang-orang yang beriman, suatu panggilan yang menunjukkan kecintaan dari Allah Swt yang sangat dalam sehingga mereka yang diseru merasakan getaran cinta dari Allah Swt yang membuatnya mudah menerima isi seruan dan siap melaksanakan beban-beban yang terkandung di dalamnya. Itu pula yang terasa dalam perintah melaksanakan puasa Ramadhan sebagaimana Allah berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (QS 2:183).
Islam sebagai sebuah agama yang benar harus diperjuangkan penegakan dan penyebarluasannya oleh kaum muslimin dengan segala konsekuensinya. Karena itu kaum muslimin harus dipersiapkan kekuatan rohaninya untuk bisa mengemban tugas-tugas perjuangan yang berat itu. Ibadah puasa Ramadhan merupakan salah satu upaya untuk membentuk sumber daya muslim agar mampu mengembannya. Paling kurang, ada empat target yang harus dicapai oleh setiap mu’min yang menjalankan ibadah puasa Ramadhan, khususnya dalam konteks mengemban amanah perjuangan menyebarkan dan menegakkan nilai-nilai kebenaran Islam yang menjadi kewajiban setiap muslim.

1. MEMANTAPKAN AQIDAH YANG KOKOH
Tujuan utama puasa adalah mempersiapkan hati manusia untuk bertaqwa, sensitif, melembutkan hati dan takut kepada Allah. Taqwa membangkitkan kesadaran dalam hati sehingga mau menunaikan kewajiban, taqwa juga menjaga hati seseorang sehingga ia tidak mau merusak nilai-nilai ibadah puasa dengan maksiat meskipun hanya dengan getaran hati untuk berbuat maksiat. Ketaqwaan kepada Allah Swt merupakan bukti nyata dari kokohnya aqidah seseorang, karenanya puasa dibebankan kepada siapa saja yang beriman kepada Allah Swt agar keimanan itu dapat menjelma menjadi ketaqwaan yang sempurna. Karena itu taqwa menjadi puncak ketinggian rohani seorang muslim sehingga orang bertaqwalah yang berada pada posisi yang paling mulia di sisi Allah Swt, sebagaimana terdapat dalam firman Allah yang artinya: Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS 49:13).
Dalam konteks kehidupan masyarakat yang rusak, tujuan puasa ini menjadi sangat penting. Kokohnya iman menjadi modal utama bagi manusia untuk bisa memperbaiki akhlaknya, dari iman yang kokoh di dalam hati akan terwujud manusia yang berakhlak mulia. Karena itu Sayyid Quthb dalam dzilalnya menyatakan: “Apabila terjadi kerusakan pada suatu generasi manusia, maka untuk memperbaikinya bukan dengan memperketat hukum terhadap mereka melainkan dengan jalan memperbaiki pendidikan dan hati mereka serta menghidupkan rasa taqwa di dalam hati mereka”.

2. MEMANTAPKAN HUBUNGAN DENGAN ALLAH
Salah satu nilai tarbiyyah (pendidikan) dari ibadah puasa adalah upaya memantapkan hubungan dengan Allah Swt, hal ini karena setiap muslim yang berpuasa harus melaksanakannya karena Allah dan dilakukan dengan ketentuan-ketentuan yang datang dari Allah Swt. Sesuatu yang biasanya halal untuk dilakukan atau dinikmati, pada saat berpuasa seorang muslim diharamkan oleh Allah Swt dan ia tunduk saja kepada sang pencipta meskipun ia bisa melakukannya atau memiliki sepenuhnya untuk bisa dinikmati. Ini menunjukkan hubungan yang baik kepada Allah Swt yang menjelma dalam bentuk kepatuhan kepada-Nya, dan untuk itu seorang muslim mampu mengendalikan dan mengatasi tuntutan dari dalam dirinya yang bersifat fisik seperti makan, minum dan kebutuhan seksual.
Terjalinnya hubungan yang dekat kepada Allah Swt merupakan modal yang sangat penting bagi manusia, bahkan tidak hanya untuk mengemban amanah perjuangan tapi juga untuk bisa menjalani kehidupan di dunia ini dengan sebaik-baiknya. Hubungan manusia yang jauh dengan Allah membuat manusia hanya bisa menyumbang persoalan dalam kehidupan ini, sedangkan masalah yang ada tidak mampu diatasi. Padahal bila manusia merasa dekat dengan Allah dan ia merasa selalu diawasi oleh Allah Swt, niscaya ia tidak berani menyimpang dari ketentuan-Nya dan bila penyimpangan itu sudah terjadi, iapun cepat mengakui kesalahannya hingga memiliki kesiapan untuk menjalani hukuman akibat kesalahan yang dilakukannya, bukan malah sudah salah tapi masih saja tidak merasa bersalah dan mencari seribu dalih untuk bisa menghindar dari hukuman dan berusaha menutupi kesalahan yang telah dilakukannya meskipun harus dengan kesalahan yang lain.

3. MEMANTAPKAN HUBUNGAN DENGAN SESAMA
Puasa Ramadhan adalah ibadah yang dilakukan oleh kaum muslimin secara serentak di seluruh dunia. Kaum muslimin merasakan satu hal yang sama, yakni lapar dan haus dan sama-sama berjuang untuk mampu menahan dan mengendalikan diri dari melakukan sesuatu yang tidak dibenarkan oleh Allah Swt meskipun peluang untuk itu sangat besar. Nilai keserentakan ini diharapkan bisa menghasilkan kebersamaan dan hubungan yang baik dengan sesama muslim. Semangat kebersamaan merupakan modal yang sangat berharga bagi upaya perjuangan di jalan Allah Swt, apalagi Dia amat mencintai orang yang berjuang secara bersama-sama dengan kerjasama yang baik, Allah berfirman yang artinya: Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang dijalan-Nya dalam suatu barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh (QS 61:4).
Salah satu lahan dakwah dan perjuangan yang harus mendapat perhatian besar dari seluruh komponen kaum muslimin adalah masjid-masjid yang sudah dibangun dengan bagus, besar dan megah dan dikeluarkan dana yang besar. Namun kondisi pemakmurannya belum sebanding dengan fisik bangunannya. Untuk bisa memakmurkan masjid sehingga berfungsi sebagai pusat pembangunan masyarakat Islam, diperlukan kebersamaan antara sesama umat Islam, baik sebagai pengurus maupun jamaah. Karena itu harus terjalin kerjasama yang harmonis antara pengurus masjid dengan jamaahnya, bahkan harus terjalin kerjasama antar masjid yang satu dengan masjid lainnya, tidak seperti sekarang, dimana masjid berjalan sendiri-sendiri dengan segala persoalan yang dihadapinya.

4. MEMANTAPKAN JIWA KETABAHAN
Dalam perjuangan dibidang apapun, ketabahan jiwa merupakan sesuatu yang sangat dituntut adanya pada diri para pejuang, demikian pula halnya dengan perjuangan di dalam Islam dengan segala dimensinya yang luas. Namun harus kita sadari bahwa ketabahan tidak muncul dengan sendirinya, masing-masing orang perlu memperoleh pemahaman dan mendapatkan latihan guna memiliki ketabahan. Ibadah puasa adalah salah satu bentuk ibadah yang memberikan pendidikan dan latihan untuk memiliki ketabahan sehingga seorang muslim yang telah berpuasa semestinya menjadi orang yang memiliki daya tahan yang kuat dalam mempertahankan nilai-nilai kebenaran yang datang dari Allah Swt meskipun dalam kondisi yang sulit seperti haus dan lapar.
Oleh karena itu, ketika situasi menjadi begitu sulit dalam perjuangan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, khususnya sesudah wafatnya Siti Khadijah, seorang isteri dan pendukung perjuangan serta wafat juga Abu Thalib yang sering memberikan perlindungan kepada Nabi dari gangguan orang-orang kafir, maka Allah Swt menegaskan kepada Nabi Muhammad Saw untuk bertahan dan melanjutkan perjuangan, apapun yang terjadi. Hal ini karena kalau berbicara tentang kesulitan, generasi terdahulu juga mengalami kesulitan, bahkan kesulitan yang lebih berat lagi sehingga Nabi Muhammad Saw bersama para sahabatnya jangan memiliki sikap atau perasaan yang berlebihan dalam arti merasa sangat sulit dalam perjuangan yang dijalaninya, Allah Swt berfirman yang artinya: Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang bertaubat bersamamu dan janganlaj kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS 11:112).
Dengan demikian, momentum ibadah Ramadhan tahun ini menjadi saat yang sangat penting untuk memperbaiki kondisi pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa menuju ridha Allah Swt.


Materi 7:
RAHASIA PUASA


Sebagai muslim yang sejati, kedatangan dan kehadiran Ramadhan yang mulia pada tahun ini merupakan sesuatu yang amat membahagiakan kita. Betapa tidak, dengan menunaikan ibadah Ramadhan, amat banyak keuntungan yang akan kita peroleh, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Disinilah letak pentingnya bagi kita untuk membuka tabir rahasia puasa sebagai salah satu bagian terpenting dari ibadah Ramadhan.
Dr. Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Al Ibadah Fil Islam mengungkapkan ada lima rahasia puasa yang bisa kita buka untuk selanjutnya bisa kita rasakan kenikmatannya dalam ibadah Ramadhan.

1. Menguatkan Jiwa
Dalam hidup hidup, tak sedikit kita dapati manusia yang didominasi oleh hawa nafsunya, lalu manusia itu menuruti apapun yang menjadi keinginannya meskipun keinginan itu merupakan sesuatu yang bathil dan mengganggu serta merugikan orang lain. Karenanya, di dalam Islam ada perintah untuk memerangi hawa nafsu dalam arti berusaha untuk bisa mengendalikannya, bukan membunuh nafsu yang membuat kita tidak mempunyai keinginan terhadap sesuatu yang bersifat duniawi. Manakala dalam peperangan ini manusia mengalami kekalahan, malapetaka besar akan terjadi karena manusia yang kalah dalam perang melawan hawa nafsu itu akan mengalihkan penuhanan dari kepada Allah Swt sebagai Tuhan yang benar kepada hawa nafsu yang cenderung mengarahkan manusia pada kesesatan. Allah memerintahkan kita memperhatikan masalah ini dalam firman-Nya yang artinya: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (QS 45:23).
Dengan ibadah puasa, maka manusia akan berhasil mengendalikan hawa nafsunya yang membuat jiwanya menjadi kuat, bahkan dengan demikian, manusia akan memperoleh derajat yang tinggi seperti layaknya malaikat yang suci dan ini akan membuatnya mampu mengetuk dan membuka pintu-pintu langit hingga segala do’anya dikabulkan oleh Allah Swt, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Ada tiga golongan orang yang tidak ditolak do’a mereka: orang yang berpuasa hingga berbuka, pemimpin yang adil dan do’a orang yang dizalimi (HR. Tirmidzi).

2. Mendidik Kemauan.
Puasa mendidik seseorang untuk memiliki kemauan yang sungguh-sungguh dalam kebaikan, meskipun untuk melaksanakan kebaikan itu terhalang oleh berbagai kendala. Puasa yang baik akan membuat seseorang terus mempertahankan keinginannya yang baik, meskipun peluang untuk menyimpang begitu besar. Karena itu, Rasulullah Saw menyatakan: Puasa itu setengah dari kesabaran.
Dalam kaitan ini, maka puasa akan membuat kekuatan rohani seorang muslim semakin prima. Kekuatan rohani yang prima akan membuat seseorang tidak akan lupa diri meskipun telah mencapai keberhasilan atau kenikmatan duniawi yang sangat besar, dan kekuatan rohani juga akan membuat seorang muslim tidak akan berputus asa meskipun penderitaan yang dialami sangat sulit.

3. Menyehatkan Badan.
Disamping kesehatan dan kekuatan rohani, puasa yang baik dan benar juga akan memberikan pengaruh positif berupa kesehatan jasmani. Hal ini tidak hanya dinyatakan oleh Rasulullah Saw, tetapi juga sudah dibuktikan oleh para dokter atau ahli-ahli kesehatan dunia yang membuat kita tidak perlu meragukannya lagi. Mereka berkesimpulan bahwa pada saat-saat tertentu, perut memang harus diistirahatkan dari bekerja memproses makanan yang masuk sebagaimana juga mesin harus diistirahatkan, apalagi di dalam Islam, isi perut kita memang harus dibagi menjadi tiga, sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk air dan sepertiga untuk udara.

4. Mengenal Nilai Kenikmatan
Dalam hidup ini, sebenarnya sudah begitu banyak kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia, tapi banyak pula manusia yang tidak pandai mensyukurinya. Dapat satu tidak terasa nikmat karena menginginkan dua, dapat dua tidak terasa nikmat karena menginginkan tiga dan begitulah seterusnya. Padahal kalau manusia mau memperhatikan dan merenungi, apa yang diperolehnya sebenarnya sudah sangat menyenangkan karena begitu banyak orang yang memperoleh sesuatu tidak lebih banyak atau tidak lebih mudah dari apa yang kita peroleh.
Maka dengan puasa, manusia bukan hanya disuruh memperhatikan dan merenungi tentang kenikmatan yang sudah diperolehnya, tapi juga disuruh merasaakan langsung betapa besar sebenarnya nikmat yang Allah berikan kepada kita. Hal ini karena baru beberapa jam saja kita tidak makan dan minum sudah terasa betul penderitaan yang kita alami, dan pada saat kita berbuka puasa, terasa betul besarnya nikmat dari Allah meskipun hanya berupa sebiji kurma atau seteguk air. Disinilah letak pentingnya ibadah puasa guna mendidik kita untuk menyadari tinggi nilai kenikmatan yang Allah berikan agar kita selanjutnya menjadi orang yang pandai bersyukur dan tidak mengecilkan arti kenikmatan dari Allah meskipun dari segi jumlah memang sedikit dan kecil. Rasa syukur memang akan membuat nikmat itu bertambah banyak, baik dari segi jumlah atau paling tidak dari segi rasanya, Allah berfirman yang artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasati Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS 14:7).

5. Mengingat dan Merasakan Penderitaan Orang Lain
Merasakan lapar dan haus juga memberikan pengalaman kepada kita bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan orang lain. Sebab pengalaman lapar dan haus yang kita rasakan akan segera berakhir hanya dengan beberapa jam, sementara penderitaan orang lain entah kapan akan berakhir. Dari sini, semestinya puasa akan menumbuhkan dan memantapkan rasa solidaritas kita kepada kaum muslimin lainnya yang mengalami penderitaan yang hingga kini masih belum teratasi, seperti penderitaan saudara-saudara kita di Ambon atau Maluku, Aceh dan di berbagai wilayah lain di Tanah Air serta yang terjadi di berbagai belahan dunia lainnya seperti di Chechnya, Kosovo, Irak, Palestina dan sebagainya.
Oleh karena itu, sebagai simbol dari rasa solidaritas itu, sebelum Ramadhan berakhir, kita diwajibkan untuk menunaikan zakat agar dengan demikian setahap demi setahap kita bisa mengatasi persoalan-persoalan umat yang menderita. Bahkan zakat itu tidak hanya bagi kepentingan orang yang miskin dan menderita, tapi juga bagi kita yang mengeluarkannya agar dengan demikian, hilang kekotoran jiwa kita yang berkaitan dengan harta seperti gila harta, kikir dan sebagainya. Allah berfirman yang artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS 9:103).

SAMBUT DENGAN GEMBIRA
Karena rahasia puasa merupakan sesuatu yang amat penting bagi kita, maka sudah sepantasnyalah kalau kita harus menyambut kedatangan Ramadhan tahun ini dengan penuh rasa gembira sehingga kegembiraan kita ini akan membuat kita bisa melaksanakan ibadah Ramadhan nanti dengan ringan meskipun sebenarnya ibadah Ramadhan itu berat.
Kegembiraan kita terhadap datangnya bulan Ramadhan harus kita tunjukkan dengan berupaya semaksimal mungkin memanfaatkan Ramadhan tahun sebagai momentum untuk mentarbiyyah (mendidik) diri, keluarga dan masyarakat kearah pengokohan atau pemantapan taqwa kepada Allah Swt, sesuatu yang memang amat kita perlukan bagi upaya meraih keberkahan dari Allah Swt bagi bangsa kita yang hingga kini masih menghadapi berbagai macam persoalan besar. Kita tentu harus prihatin akan kondisi bangsa kita yang sedang mengalami krisis, krisis yang seharusnya diatasi dengan memantapkan iman dan taqwa, tapi malah dengan menggunakan cara sendiri-sendiri yang akhirnya malah memicu pertentangan dan perpecahan yang justeru menjauhkan kita dari rahmat dan keberkahan dari Allah Swt. (Drs. H. Ahmad Yani).


Materi 8:
KIAT SUKSES IBADAH PUASA


Ketika Ramadhan akan tiba, sikap yang harus diperlihatkan oleh seorang muslim adalah rasa gembira sehingga dia seperti tidak sabar menunggu kedatangan Ramadhan yang lama dirindukannya. Itu sebabnya, kedatangan Ramadhan harus kita sambut dengan ucapan marhaban ya Ramadhan. Marhaban itu sendiri berasal dari kata rahb yang artinya luas atau lapang, ini artinya hati, jiwa dan dada seorang muslim akan diluaskan dan dilapangkan agar Ramadhan masuk kedalam jiwanya dengan leluasa.
Pada saatnya Ramadhan tiba dan kita berada di dalamnya, maka dari sekarang tekad kita adalah akan mengoptimalkan kehadiran Ramadhan itu untuk memperkokoh ketaqwaan kepada Allah Swt dalam arti yang seluas-luasnya.

PENGERTIAN.
Secara harfiyah, puasa artinya menahan, yakni menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa dan mengurangi nilainya sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Sedangkan Ramadhan secara harfiyah artinya membakar dan mengasah. Yang dimaksud adalah membakar dosa sehingga dengan puasa yang sebaik-baiknya, dosa-dosa seorang muslim akan dibakar oleh Allah dan setelah Ramadhan insya Allah dia akan kembali kepada fitrah atau kesuciannya sehinga seperti bayi yang baru dilahirkan ibunya, yakni dalam keadaan tidak berdosa.
Adapun yang dimaksud dengan mengasah adalah mengasah dan mengasuh jiwa, sehingga seorang yang berpuasa akan memiliki ketajaman jiwa yang membuatnya cepat, mudah dan mampu menangkap isyarat-isyarat spiritual, jiwanya menjadi kaya dan tidak didominasi ilagi oleh sifat sombong dan sifat-sifat buruk lainnya.

TUJUAN.
Tujuan utama dari puasa adalah memantapkan keimanan kepada Allah Swt sehingga menjelma keimanan itu menjadi ketaqwaan. Ini dikemukakan Allah dalam firman-Nya yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (QS 2:183).
Manakala target dari ibadah puasa ini dapat dicapai, maka puasa akan membuat kita menjadi orang yang memiliki tiga hal. Pertama, mencegah diri dari segala bentuk dusta sebab dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dinyatakan bahwa Allah Swt tidak menerima puasa seseorang yang tidak meninggalkan perkataan dusta, hadits tersebut artinya: Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan yang keji (dusta) dan melakukan kejahatan, Allah tidak akan menerima puasanya, sekalipun ia telah meninggalkan makan dan minum.
Kedua, memiliki benteng pertahanan rohani yang kuat sehingga dia menjadi orang yang mampu menjaga dan mencegah dirinya dari dosa, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Puasa adalah perisai dari api neraka seperti perisainya seseorang diantara kamu dalam perang (HR. Ahmad, Nasa’I, Ibnu Majah, Ibnu Hibban).
Ketiga, selalu terangsang untuk berbuat baik, karena ibadah Ramadhan memang selalu mendidik seseorang untuk melakukan kebaikan, baik terhadap Allah Swt maupun terhadap sesama manusia.
Disamping itu, kalau kita membaca rangkaian ayat-ayat berikutnya dari surat Al Baqarah: 184-188, bisa kita ambil beberapa kesimpulan tentang tujuan-tujuan lain dari ibadah Ramadhan, yaitu: Pertama, memperkokoh kedekatan kita kepada Al-Qur’an sehingga kita selalu berusaha bisa membaca, membaca, memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, memperkokoh kedekatan hubungan kepada Allah Swt sehingga dengan hubungan yang dekat itu, seorang muslim tidak berani menyimpang dari ketentuan-ketentuan Allah. Ketiga, menyadari akan pentingnya berdo’a kepada Allah karena kita menyadari sebagai makhluk yang lemah dan amat membutuhkan pertolongan Allah. Keempat, menajamkan hati atau jiwa manusia sehingga selalu mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil serta sensitif terhadapnya. Kelima, menyadari pentingnya kebersamaan dengan sesama muslim, karena dengan puasa kita dapat membayangkan bahkan dapat merasakan bagaimana penderitaan mereka yang susah sehingga kita menyadari keharusan bersatu dan tolong menolong.

HIKMAH.
Dari tujuan yang telah diutarakan, nampak sekali betapa besar hikmah ibadah Ramadhan itu. Namun manakala kita ingin sederhanakan, sekurang-kurangnya ada tiga hikmah ibadah Ramadhan. Pertama, membersihkan hati dan jiwa manusia dari segala dosa dan sifat-sifat tercela. Kedua, memperkokoh hubungan dengan Allah Swt sehingga dengan dekatnya hubungan seorang muslim kepada Allah, dia akan selalu berusaha menjalani kehidupan yang sesuai dengan ketentuasn-Nya. Ketiga, memperkokoh hubungan dengan sesama, khususnya dengan sesama muslim sehingga potensi besar yang dimiliki seorang muslim akan menjadi sebuah kekuatan umat yang besar.

KUNCI SUKSES.
Ibadah puasa khususnya dan ibadah Ramadhan pada umumnya tentu ingin kita laksanakan dengan sebaik-baiknya agar tujuan dan hikmahnya bisa kita raih. Oleh karena itu, menjadi keharusan kita bersama untuk mengoptimalkan ibadah Ramadhan yang penuh dengan keberkahan untuk memperkokoh gairah keislaman pada diri kita, keluarga maupun masyarakat.
Dalam kaitan ini, kesuksesan bisa kita raih manakala mengupayakan beberapa langkah: Pertama, melakukan persiapan secara matang, baik persiapan jiwa agar kita memiliki kesiapan mental untuk menjalankan ibadah Ramadhan hingga kita senang melaksanakannya, persiapan akal dengan memahami kembali ketentuan fiqih Ramadhan dan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya, maupun persiapan jasmani dengan selalu menjaga dan meningkatkan kesehatannya serta persiapan aktivitas pendukung suksesnya ibadah Ramadhan dengan berbagai aktivitas da’wah yang bermanfaat seperti pesantren Ramadhan, ceramah dan dialog Ramadhan dengan tema-tema yang disusun dengan baik, dll.
Kedua, melaksanakan persiapan yang sudah dicanangkan dengan matang pada saat pelaksanaan ibadah Ramadhan sehingga Ramadhan bisa kita hidupkan dengan melaksanakan ibadah puasa dengan sebaik-baiknya, baik dari sisi fiqih maupun nilai-nilai akhlak yang terkandung di dalamnya dan aktivitas pendukungnya.
Ketiga, menindaklanjuti keberhasilan ibadah Ramadhan dengan sikap, prilaku yang lebih islami dan mengembangkan aktivitas keislaman yang lebih baik sesudah Ramadhan berakhir sehingga ibadah Ramadhan memberi bekas dan pengaruh yang positif, tidak hanya bagi individu tapi juga bagi keluarga dan masyarakat.
Dalam konteks kehidupan masyarakat dan bangsa kita yang amat memprihatinkan bila ditinjau dari berbagai aspek, maka Ramadhan tahun ini merupakan momentum yang amat baik untuk memulai langkah-langkah perbaikan kearah yang diridai Allah Swt.
Akhirnya, kita sambut Ramadhan dengan penuh kegembiraan, sebab dengan gembira ibadah yang berat ini akan menjadi terasa ringan, sedang tanpa kegembiraan, ibadah Ramadhan yang memang sebenarnya berat akan terasa lebih berat lagi.
Semoga kita dapat memantapkan keislaman kita masing-masing melalui ibadah Ramadhan tahun ini.


Materi 9:
MELESTARIKAN NILAI-NILAI RAMADHAN


Setelah Ramadhan kita akhiri, bukan berarti berakhir sudah suasana ketaqwaan kepada Allah Swt, tapi justeru tugas berat kita untuk membuktikan keberhasilan ibadah Ramadhan itu dengan peningkatan ketaqwaan kepada Allah Swt, karenanya bulan sesudah Ramadhan adalah Syawal yang artinya peningkatan. Disinilah letak pentingnya melestarikan nilai-nilai Ibadah Ramadhan. Sekurang-kurangnya, ada lima nilai ibadah Ramadhan yang harus kita lestarikan, paling tidak hingga Ramadhan tahun yang akan datang.

1. TIDAK GAMPANG BERBUAT DOSA
Ibadah Ramadhan yang kita kerjakan dengan sebaik-baiknya membuat kita mendapatkan jaminan ampunan dari dosa-dosa yang kita lakukan selama ini, karena itu semestinya setelah melewati ibadah Ramadhan kita tidak gampang lagi melakukan perbuatan yang bisa bernilai dosa, apalagi secara harfiyah Ramadhan artinya membakar, yakni membakar dosa, kalau dosa itu kita ibaratkan seperti pohon, maka kalau sudah dibakar, pohon itu tidak mudah tumbuh lagi, bahkan bisa jadi mati, sehingga dosa-dosa itu tidak mau kita lakukan lagi.
Dengan demikian, jangan sampai dosa yang kita tinggalkan pada bulan Ramadhan hanya sekedar ditahan-tahan untuk selanjutnya dilakukan lagi sesudah Ramadhan berakhir dengan kualitas dan kuantitas yang lebih besar. Kalau demikian jadinya, ibarat pohon, hal itu bukan dibakar, tapi hanya ditebang sehingga satu cabang ditebang tumbuh lagi tiga, empat bahkan lima cabang beberapa waktu kemudian.
Dalam kaitan dosa, sebagai seorang muslim jangan sampai kita termasuk orang yang bangga dengan dosa, apalagi kalau mati dalam keadaan bangga terhadap dosa yang dilakukan, bila ini yang terjadi, maka sangat besar resiko yang akan kita hadapi dihadapan Allah Swt, Allah berfirman yang artinya: Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka bisa masuk ke dalam syurga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan (QS 7:40).

2. HATI-HATI DALAM BERSIKAP DAN BERTINDAK
Selama beribadah Ramadhan, kita cenderung berhati-hati dalam melakukan sesuatu, hal itu karena kita tidak ingin ibadah Ramadhan kita menjadi sia-sia dengan sebab kekeliruan yang kita lakukan. Secara harfiyah, Ramadhan juga berarti mengasah, yakni mengasah ketajaman hati agar dengan mudah bisa membelah atau membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Ketajaman hati itulah yang akan membuat seseorang menjadi sangat berhati-hati dalam bersikap dan bertingkah laku. Sikap seperti ini merupakan sikap yang sangat penting sehingga dalam hidupnya, seorang muslim tidak asal melakukan sesuatu, apalagi sekedar mendapat nikmat secara duniawi.
Kehati-hatian dalam hidup ini menjadi amat penting mengingat apapun yang kita lakukan akan dimintai pertanggung-jawaban dihadapan Allah Swt, karenanya apa yang hendak kita lakukan harus kita pahami secara baik dan dipertimbangkan secara matang, sehingga tidak sekedar ikut-ikutan dalam melakukannya, Allah berfirman yang artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya (QS 17:36).

3. BERSIKAP JUJUR.
Ketika kita berpuasa Ramadhan, kejujuran mewarnai kehidupan kita sehingga kita tidak berani makan dan minum meskipun tidak ada orang yang mengetahuinya. Hal ini karena kita yakin Allah Swt yang memerintahkan kita berpuasa selalu mengawasi diri kita dan kita tidak mau membohongi Allah Swt dan tidak mau membohongi diri sendiri karena hal itu memang tidak mungkin, inilah kejujuran yang sesungguhnya. Karena itu, setelah berpuasa sebulan Ramadhan semestinya kita mampu menjadi orang-orang yang selalu berlaku jujur, baik jujur dalam perkataan, jujur dalam berinteraksi dengan orang, jujur dalam berjanji dan segala bentuk kejujuran lainnya.
Dalam kehidupan masyarakat dan bangsa kita sekarang ini, kejujuran merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Banyak kasus di negeri kita yang tidak cepat selesai bahkan tidak selesai-selesai karena tidak ada kejujuran, orang yang bersalah sulit untuk dinyatakan bersalah karena belum bisa dibuktikan kesalahannya dan mencari pembuktian memerlukan waktu yang panjang, padahal kalau yang bersalah itu mengaku saja secara jujur bahwa dia bersalah, tentu dengan cepat persoalan bisa selesai. Sementara orang yang secara jujur mengaku tidak bersalah tidak perlu lagi untuk diselidiki apakah dia melakukan kesalahan atau tidak. Tapi karena kejujuran itu tidak ada, yang terjadi kemudian adalah saling curiga mencurigai bahkan tuduh menuduh yang membuat persoalan semakin rumit. Ibadah puasa telah mendidik kita untuk berlaku jujur kepada hati nurani kita yang sehat dan tajam, bila kejujuran ini tidak mewarnai kehidupan kita sebelas bulan mendatang, maka tarbiyyah (pendidikan) dari ibadah Ramadhan kita menemukan kegagalan, meskipun secara hukum ibadah puasanya tetap sah.

4. MEMILIKI SEMANGAT BERJAMAAH.
Kebersamaan kita dalam proses pengendalian diri membuat syaitan merasa kesulitan dalam menggoda manusia sehingga syaitan menjadi terbelenggu pada bulan Ramadhan. Hal ini diperkuat lagi dengan semangat yang tinggi bagi kita dalam menunaikan shalat yang lima waktu secara berjamaah sehingga di bulan Ramadhan inilah mungkin shalat berjamaah yang paling banyak kita laksanakan, bahkan melaksanakannya juga di masjid atau mushalla.
Disamping itu, ibadah Ramadhan yang membuat kita dapat merasakan lapar dan haus, telah memberikan pelajaran kepada kita untuk memiliki solidaritas sosial kepada mereka yang menderita dan mengalami berbagai macam kesulitan, itupun sudah kita tunjukkan dengan zakat yang kita tunaikan. Karena itu, semangat berjamaah kita sesudah Ramadhan ini semestinya menjadi sangat baik, apalagi kita menyadari bahwa kita tidak mungkin bisa hidup sendirian, sehebat apapun kekuatan dan potensi diri yang kita miliki, kita tetap sangat memerlukan pihak lain. Itu pula sebabnya, dalam konteks perjuangan Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang berjuang secara berjamaah, yang saling kuat menguatkan sebagaimana firman-Nya yang artinya: Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam satu barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh (QS 61:4)

5. MELAKUKAN PENGENDALIAN DIRI
Puasa Ramadhan adalah pengendalian diri dari hal-hal yang pokok seperti makan dan minum. Kemampuan kita dalam mengendalikan diri dari hal-hal yang pokok semestinya membuat kita mampu mengendalikan diri dari kebutuhan kedua dan ketiga, bahkan dari hal-hal yang kurang pokok dan tidak perlu sama sekali. Namun sayangnya, banyak orang telah dilatih untuk menahan makan dan minum yang sebenarnya pokok, tapi tidak dapat menahan diri dari hal-hal yang tidak perlu, misalnya ada orang yang mengatakan: “saya lebih baik tidak makan daripada tidak merokok”, padahal makan itu pokok dan merokok itu tidak perlu.
Kemampuan kita mengendalikan diri dari hal-hal yang tidak benar menurut Allah dan Rasul-Nya merupakan sesuatu yang amat mendesak, bila tidak, kehidupan ini akan berlangsung seperti tanpa aturan, tak ada lagi halal dan haram, tak ada lagi haq dan bathil, bahkan tak ada lagi pantas dan tidak pantas atau sopan dan tidak. Yang jelas, selama manusia menginginkan sesuatu, hal itu akan dilakukannya meskipun tidak benar, tidak sepantasnya dan sebagainya. Bila ini yang terjadi, apa bedanya kehidupan manusia dengan kehidupan binatang, bahkan masih lebih baik kehidupan binatang, karena mereka tidak diberi potensi akal, Allah berfirman yang artinya,
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS 7:179).
Dengan demikian, harus kita sadari bahwa Ramadhan adalah bulan pendidikan dan latihan, keberhasilan ibadah Ramadhan justeru tidak hanya terletak pada amaliyah Ramadhan yang kita kerjakan dengan baik, tapi yang juga sangat penting adalah bagaimana menunjukkan adanya peningkatan taqwa yang dimulai dari bulan Syawal hingga Ramadhan tahun yang akan datang.


Materi 10:
KEBERHASILAN IBADAH RAMADHAN


Keberhasilan ibadah Ramadhan dalam bentuk terhapusnya dosa-dosa merupakan sesuatu yang abstrak, bukan sesuatu yang konkrit atau nyata. Oleh karena itu kita mesti memiliki tolok ukur keberhasilan ibadah Ramadhan dengan ketaqwaan kepada Allah Swt yang meningkat. Ada beberapa indikasi yang bisa kita jadikan patokan untuk menilai diri; apakah ibadah Ramadhan kita berhasil atau tidak.

6. TAUHID YANG MANTAP.
Untuk menunjukkan keberhasilan ibadah Ramadhan, maka kita akhiri Ramadhan dengan takbir, tahlil dan tahmid yang merupakan kalimat tauhid. Perintah ini memang terdapat dalam firman Allah yang artinya: Dan hendaklah kamu cukupkan bilangannya dan hendaklah kamu kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (QS 2:185)
Dengan demikian seorang muslim yang habis menunaikan ibadah puasa, maka dia memiliki tauhid yang mantap, dengan tauhid yang mantap itu dia selalu mengutamakan Allah Swt dan selalu terikat pada nilai-nilai yang diturunkan-Nya. Karena itu orang yang tauhidnya mantap, akan selalu menjalani kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah, mencintai Allah di atas segala-galanya serta tunduk dan taat kepada-Nya.

7. AKHLAK YANG MULIA
Ibadah Ramadhan telah mendidik kita untuk selalu berakhlak yang mulia, karenanya keberhasilan ibadah Ramadhan membuat akhlak atau moral yang tercela terkikis habis dari jiwa dan kepribadian kita masing-masing. Maka sesudah kita menunaikan ibadah Ramadhan, keberhasilan yang harus kita tunjukkan adalah dengan memiliki akhlak yang mulia. Kemuliaan akhlak suatu masyarakat akan membuat kehidupan berlangsung dengan aman dan sentosa serta penuh dengan berkah dari Allah Swt, dan sebaliknya akhlak yang tercela dalam suatu masyarakat akan membuat kehancuran, malapetaka dan laknat Allah Swt.
Oleh karena itu kita harus prihatin apabila masyarakat kita memiliki akhlak yang jelek. Kita tidak punya masa depan yang cerah kalau generasi muda memiliki akhlak yang rusak, karena apa yang bisa diharapkan lagi kalau generasi harapannya menjadi hancur. Kehidupan kita juga akan sengsara kalau orang-orang tua dan para pemimpin memiliki akhlak yang jelek, karena kejelekan akhlak mereka membuat arah kehidupan menuju kehancuran yang menakutkan.
Dengan demikian, akhlak yang mulia harus kita tegakkan dan akhlak yang jelekkan harus kita kikis dan tidak kita beri tempat dan peluang untuk berkembang. Itu sebabnya kita amat prihatin kalau di negeri kita ini masih saja diberi tempat atau pasilitas dan kesempatan untuk mereka yang melakukan tindakan yang menggambarkan akhlak yang rusak dan merusakkan akhlak masyarakat.

8. SEMANGAT MENIMBA ILMU.
Aktivitas Ramadhan juga telah merangsang kegairahan kita untuk menimba ilmu pengetahuan, khususnya yang menyangkut pendalaman ajaran Islam. Kuliah subuh, kuliah zuhur, ceramah tarawih, pesantren Ramadhan dan studi keislaman lainnya di bulan Ramadhan merupakan aktivitas-aktivitas yang merangsang semangat kita untuk menimba ilmu pengetahuan. Aktivitas ini membuat kita tidak hanya lebih panatis sebagai seorang muslim, tapi juga paham dan memiliki wawasan keislaman yang lebih baik.
Namun perlu kita ingat bahwa sedalam-dalamnya ilmu yang kita gali, tetap saja terasa cetek dan sedikit ilmu yang kita peroleh, apalagi ilmu Allah itu sangat luas. Menyadari hal ini semestinya kita semakin terangsang untuk menimba ilmu dan sesudah Ramadhan ini, semangat itu harus kita buktikan.

9. SEMANGAT MEMAKMURKAN MASJID
Ramadhan juga telah melatih kita untuk kembali ke masjid, kembali memakmurkan masjid, kembali beraktivitas di masjid. Itu sebabnya selama Ramadhan, kita rasakan masjid-masjid kita relatif lebih makmur, pengurus dan jamaahnya lebih aktif dan aktivitas lebih banyak dan bervariasi.
Berakhirnya Ramadhan tidak boleh membuat masjid kita kembali sepi, tanpa kepengurusan yang serius, tanpa jamaah yang aktif dan tanpa aktivitas. Oleh karena itu keberhasilan ibadah Ramadhan kita juga harus dibuktikan dengan selalu aktif memakmurkan masjid, mulai dari shalat berjamaah hingga mengatasi dan memecahkan persoalan umat dan mengatur strategi perjuangan meningkatkan kualitas umat. Seharusnya tiap kali seorang muslim ada di rumahnya, maka saat waktu shalat tiba dengan diperdengarkannya adzan, dia menuju ke masjid. Bahkan semestinya orang berpatokan bahwa si fulan tidak ke masjid dekat rumahnya dalam shalat berjamaah hanya karena belum pulang alias tidak ada di rumah atau dalam keadaan sakit. Oleh karena itu semestinya bila seseorang ingin bertemu kita, maka dia cukup ke masjid dekat rumah lalu nanti bertemu di masjid itu untuk selanjutnya baru ke rumah dan bila kita tidak ada di masjid, itu artinya kita tidak ada di rumah atau ada tapi sedang sakit.
Ada banyak contoh kasus dari kisah para sahabat yang menggambarkan betapa perhatian yang sedemikian besar dari mereka terhadap masjid. Sebut saja misalnya Abdullah bin Ummi Makhtum yang meskipun matanya buta dan rumahnya jauh dengan masjid, dia tetap datang ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah karena dia selalu mendengar panggilan adzan sebagaimana yang dianjurkan kepadanya.
Disamping itu sahabat Bani Salamah sebenarnya punya niat untuk pindah rumah ke dekat masjid agar bisa menunaikan shalat berjamah di masjid dengan mudah, maka Rasulullah menyatakan bahwa orang yang jauh rumahnya dengan masjid akan memperoleh pahala yang lebih besar karena langkahnya, maka Bani Salamah tak jadi pindah rumah ke dekat masjid karena ingin memperoleh pahala yang besar dan dia memang rajin ke masjid.
Oleh karena itu kita perlu merenungi diri kita masing-masing, sudah sejauhmana perhatian kita bterhadap pemakmuran masjid.

10. SOLIDARITAS SOSIAL YANG TINGGI.
Ibadah Ramadhan juga telah mendidik kita untuk merasakan betapa tidak enaknya lapar dan haus itu yang juga telah disertai dengan menunaikan kewajiban sakat fitrah bahkan diselingi dengan infaq dan shadaqah yang kesemua itu bermuara pada penumbuhan dan pemantapan rasa tanggung jawab sosial. Karena itu sesudah Ramadhan berakhir, semestinya semakin mantap rasa tanggung jawab sosial kita sehingga kita punya perhatian terhadap kaum muslimin yang mengalami kesulitan hidup secara ekonomi.
Wujud perhatian itu adalah dengan berusaha mengetahui kondisi kehidupan saudara-saudara kita sesama muslim, lalu memikirkan apa yang harus kita lakukan dalam rangka membantu mereka untuk meningkatkan martabat dan kualitas kehidupan mereka. Ini semua harus kita lakukan karena tentu kita tidak ingin hanya karena persoalan ekonomi mereka berubah menjadi kufur.
Dengan demikian, ibadah Ramadhan yang hampir kita akhiri, tentu saja harus meninggalkan bekas yang mendalam sehingga ketaqwaan kita kepada Allah Swt semakin mantap yang berarti apapun yang kita hendak lakukan selalu berpijak pada nilai-nilai luhur yang terdapat dalam Islam yang agung.


Materi 11:
PUASA DAN AL-QUR`AN


شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS Al-Baqarah: 185).

Salim al-Hilali dan Ali Hasan Abdul Hamid dalam kitabnya “Shifatu Shoumu an-Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam” mengatakan bahwa penjelasan tentang Al-Qur`an yang diturunkan pada bulan Ramadhan, lalu dikaitkan dengan kalimat فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ yang merupakan kewajiban berpuasa dengan huruf “fa” yang berfungsi sebagai alasan dan sebab, itu artinya dipilihnya Ramadhan menjadi bulan puasa adalah karena Al-Qur`an diturunkan pada bulan itu. Bahkan dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa Kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi yang lain juga diturunkan pada bulan Ramadhan.
Ayat di atas juga memberikan pemahaman kepada kita bahwa puasa dan Al-Qur`an memiliki kaitan sangat erat. Keduanya akan menjadi penolong kita di akhirat kelak. Rasulullah Saw. bersabda,
“Puasa dan Al-Qur`an itu akan memberikan syafa’at kepada hamba di hari kiamat. Puasa akan berkata, ‘Ya Rabbi, aku telah menghalanginya dari makan dan syahwat, maka perkenankanlah aku memberikan syafa’at untuknya.’ Sedangkan Al-Qur`an akan berkata, ‘Ya Rabbi, aku telah menghalanginya dari tidur di malam hari, maka perkenankanlah aku memberikan syafa’at untuknya.’ Maka Allah Swt. memperkenankan keduanya memberikan syafa’at.” (HR Imam Ahmad dan Ath-Thabrani).
Dengan diwajibkannya puasa pada bulan Ramadhan, sedangkan pada bulan itu juga diturunkan Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan sebagai furqan (pembeda antara yang hak dan yang bathil), maka Allah Swt. menginginkan agar kewajiban puasa tidak dianggap sebagai beban. Al-Qur`an memuat ketentuan-ketentuan yang memudahkan pelaksanaan ibadah puasa. Sementara puasa adalah sarana untuk mencapai insan bertaqwa. “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS Al-Baqarah: 185).
Oleh karena itu, jika Allah Swt. memberi taufik kepada kita untuk menyempurnakan ibadah Ramadhan kali ini dalam rangka menaati Allah, maka hal itu merupakan hidayah dan hadiah yang patut disyukuri.
“Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur” (QS Al-Baqarah: 185).
Ketika amaliyah Ramadhan dapat kita sempurnakan dan dilanjutkan dengan ucapan serta sikap syukur kepada Allah, maka Allah Swt. akan mengabulkan semua permintaan dan permohonan kita.
“Dan apabila hambaa-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS Al-Baqarah: 186).
Imam Hasan Al-Banna ketika mengulas ayat ini mengatakan bahwa Allah Swt. amat dekat kepada hamba-Nya pada bulan Ramadhan. Tentang keistimewaan bulan Ramadhan di sisi Allah ditegaskan sendiri oleh Allah Swt. melalui hadits qudsi, “Semua amalan anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Ia adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasanya” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. bersabda, “Jika bulan Ramadhan datang, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, setan-setan dibelenggu, kemudian datang seorang penyeru dari sisi Allah Yang Maha Benar, ‘Wahai pencari kejahatan, berhentilah! Dan wahai pencari kebaikan, kemarilah!” (HR Bukhari dan Muslim).
Pintu-pintu surga dibuka karena manusia berbondong-bondong melaksanakan ketaatan, ibadah, dan taubat, sehingga jumlah pelakunya banyak. Setan-setan dibelenggu, karena manusia beralih kepada kebaikan, sehingga setan tidak mampu berbuat apa-apa. Hari-hari dan malam-malam Ramadhan merupakan masa-masa kemuliaan yang diberikan Allah Swt. agar orang-orang yang berbuat baik menambah kebaikannya dan orang-orang yang berbuat jahat bertaubat dan mohon ampun kepada-Nya.
Ada ikatan hakikat dan fisik antara turunnya Al-Qur`an dengan Ramadhan. Ikatan ini adalah selain Allah menurunkan Al-Qur`an di bulan Ramadhan, maka di bulan ini pula Allah mewajibkan puasa. Karena puasa artinya menahan diri dari hawa nafsu dan syahwat. Ini merupakan kemenangan hakikat spirutual atas hakikat materi dalam diri manusia. Ini berarti jiwa, ruh, dan pemikiran manusia pada bulan Ramadhan akan menghindari tuntutan-tuntutan jasmani. Dalam kondisi seperti ini, ruh manusia berada di puncak kejernihannya, karena ia tidak disibukkan oleh syahwat dan hawa nafsu. Ketika itu ia dalam keadaan paling siap untuk memahami dan menerima ilmu dari Allah Swt. Karena itu, bagi Allah, membaca Al-Qur`an merupakan ibadah paling utama pada bulan Ramadhan yang mulia.
Sedikitnya ada empat kewajiban kita terhadap Al-Qur`an. Pertama, hendaknya kita memiliki keyakinan yang sungguh-sungguh dan kuat bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkan kita kecuali sistem sosial yang diambil dan bersumber dari Kitab Allah Swt., yaitu Al-Qur`an. System sosial apapun yang tidak mengacu atau tidak berlandaskan Al-Qur`an pasti bakal menuai kegagalan. Banyak orang yang mengatasi problema ekonomi dengan terapi tambal sulam. Sementara Al-Qur`an telah menggariskan aturan zakat, mengharamkan riba, mewajibkan kerja, melarang pemborosan, sekaligus menanamkan kasih sayang antarsesama manusia.
Kedua, kita wajib menjadikan Al-Qur`an sebagai sahabat karib, kawan bicara, dan guru. Kita harus mendengarkannya, membacanya, dan menghafalnya. Jangan sampai ada hari yang kita lalui sedangkan kita tidak menjalin hubungan dengan Allah Swt. melalui Al-Qur`an. Dengarkanlah Al-Qur`an agar kita mendapat rahmat Allah Swt., “Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” (QS Al-A’raf: 204).
Hendaknya kita membaca Al-Qur`an secara rutin, meskipun sedikit. Sunnah mengajarkan kita agar mengkhatamkannya tidak lebih dari satu bulan dan tidak kurang dari satu hari. Umar bin Abdul Aziz apabila disibukkan oleh urusan kaum Muslimin, beliau mengambil Al-Qur`an dan membacanya walaupun hanya dua atau tiga ayat. Beliau berkata, “Agar saya tidak termasuk mereka yang menjadikan Al-Qur`an sebagai sesuatu yang ditinggalkan.” Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah, maka ia memperoleh satu kebaikan, dan satu kebaikan berlipat sepuluh kali. Aku tidak katakan alif lam mim itu satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf” (HRTirmidzi).
Kita pun harus berupaya untuk menghafal Al-Qur`an agar tidak diidentikkan dengan rumah kumuh yang hampir roboh. “Orang yang tidak punya hafalan Al-Qur`an sedikit pun adalah seperti rumah kumuh yang hampir roboh” (HR Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas).
Ketiga, hendaknya kita merenung dan meresapinya. Jika hati kita belum dapat konsentrasi sampai pada tingkat menghayatinya, hendaklah kita berusaha untuk menghayatinya. Jangan sampai syetan memalingkan kita dari keindahan perenungan sehingga kita tidak dapat mereguk kenikmatan darinya.
Allah Swt. menjelaskan bahwa Al-Qur`an diturunkan untuk ditadabburi ayat-ayatnya dan dipahami maknanya. “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS Shaad: 29).
Ali bin Abi Thalib Ra. berkata, “Ketahuilah tidak ada kebaikan dalam ibadah kecuali dengan ilmu, tidak ada kebaikan dalam ilmu kecuali dengan pemahaman, dan tidak ada kebaikan dalam membaca Al-Qur`an kecuali dengan tadabbur.”
Keempat, kita wajib mengamalkan hukum-hukumnya lalu mendakwahkannya kepada orang lain. Inilah tujuan utama diturunkannya Al-Qur`an. “Dan Al Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat” (QS Al-An’am: 155).
Hukum-hukum Al-Qur`an menurut yang saya pahami terbagi menjadi dua. Pertama, hukum-hukum yang berkaitan dengan individu, seperti shalat, puasa, zakat, haji, taubat, dan hal-hak yang berkaitan dengan akhlaq Islam, seperti jujur, adil, komitmen kepada kebenaran, dan sebagainya. Kedua, hukum-hukum yang berkaitan dengan masyarakat atau penguasa. Ini adalah kewajiban negara, misalkan menegakkan hudud (sanksi hukum) dan masalah-masalah yang merupakan tugas negara dalam Islam.
Setiap Muslim harus berupaya untuk mengamalkan hukum-hukum yang bersifat individu, baik yang berupa ibadah maupun menerapkan nilai-nilai akhlaqul karimah. Jika nilai-nilai Al-Qur`an telah tegak di hati setiap Muslim, maka ia akan tegak di muka bumi.
Mumpung saat ini kita berada di bulan Ramadhan, marilah kita membaca Al-Qur`an, menghafal dan mentadabburi ayat-ayatnya, memahami maknanya, mengamalkannya, lalu mendakwahkannya kepada umat manusia. Ketika jiwa manusia kering, Al-Qur`an akan menyejukkannya. Ketika pikiran manusia kacau, Al-Qur`an akan menenteramkannya. Wallahu a’lam bishshawab.


Materi 12:
MERAIH TAQWA DENGAN PUASA RAMADHAN


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS Al-Baqarah: 183).

Dalam setiap khutbah, khotib selalu menyampaikan pesan takwa kepada umat Islam. Bahkan pesan takwa ini merupakan rukun dari khutbah itu sendiri. Mengapa? Karena takwa adalah wasiat dari Allah Swt. dan para Rasul-Nya. Allah Swt. berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam” (QS Ali Imran: 102).
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. bersabda, “Bertakwalah kalian kepada Allah di mana pun kamu berada. Dan ikutilah kejelekan dan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus kejelekan. Dan perlakukanlah manusia itu dengan akhlak terpuji” (HR Tirmidzi).
Takwa menjadi wasiat abadi karena mengandung kebaikan dan manfaat yang sangat besar bagi terwujudnya kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Takwa merupakan kumpulan dari semua kebaikan dan pencegah segala kejahatan. Dengan takwa, seorang mukmin akan mendapatkan dukungan dan pertolongan dari Allah Swt.
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS An-Nahl: 128).
Perintah untuk mencapai derajat takwa kemudian dilanjutkan dengan penjelasan global tentang cara-cara untuk mencapainya dalam sebuah firman Allah Swt., “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa” (QS Al-Baqarah: 21).
Ibadah yang dimaksud dalam ayat ini masih dalam bentuk global, mencakup ibadah wajib dan ibadah sunnah. Ibadah wajib terdiri dari shalat, puasa, zakat, dan haji, ditambah dengan kewajiban-kewajiban sosial yang diperintahkan oleh Al-Qur`an, seperti berbuat baik kepada orangtua, kerabat, yatim, orang-orang miskin, tetangga, teman dekat, dan musafir. Sedangkan yang termasuk ibadah sunnah misalnya berdzikir kepada Allah Swt., berdoa kepada-Nya, memohon ampun kepada-Nya, dan membaca Al-Qur`an. Ibadah-ibadah tersebut semuanya dipersiapkan untuk membentuk setiap Muslim menjadi insan bertakwa.
Di antara kewajiban-kewajiban ibadah yang diperintahkan tersebut, secara lebih khusus, Allah Swt. menekankan pada perintah puasa sebagai saranan pembentukan insan bertakwa, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS Al-Baqarah: 183).
Itqa dan taqwa maknanya adalah menjauhi. Dan taqwallah artinya menjauhi kemarahan dan murka Allah Swt. serta meninggalkan apa yang membuat kemarahan Allah Swt. Dengan demikian, takwa harus diwujudkan dengan melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Takwa dasarnya adalah takut kepada Allah Swt. yang merupakan perbuatan hati. Hal ini dijelaskan Allah Swt. dalam firman-Nya, “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS Al-Hajj: 32). Rasulullah Saw. juga menegaskan, “Takwa itu ada di sini”. Beliau mengulanginya sampai tiga kali sambil menunjuk ke dada beliau (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Takwa juga berarti membuat pelindung dan penghalang yang mencegah dan menjaga diri dari sesuatu yang menakutkan. Jadi taqwallah berarti perbuatan seorang hamba dalam mencari pelindung diri agar terjaga dari siksa Allah yang amat ditakutinya. Caranya adalah dengan melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.
Para salafush shalih mendefinisikan takwa dengan sebuah ungkapan, “Menaati Allah dan tidak maksiat, selalu berdzikir dan tidak lupa, senantiasa bersyukur dan tidak kufur.” Sifat takwa senantiasa melekat pada seorang yang mukmin selama ia meninggalkan hal-hal yang sebenarnya halal, karena khawatir jatuh ke dalam yang haram, demikian kata Hasan Al-Bashri.
Nilai-nilai ketakwaan tidak dapat membumi dan buahnya tidak dapat dipetik, kecuali jika Seorang Muslim memiliki pengetahuan tentang agama Allah yang menuntun dirinya mencapai derajat muttaqin. Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Fathir: 28).
Mengapa demikian? Karena orang yang tidak berilmu tidak tahu apa saja yang wajib dikerjakan dan apa saja yang harus ditinggalkannya. Itulah sebabnya mengapa menuntut ilmu merupakan ibadah yang utama, jalan yang menghubungkan ke surga dan menjadi tanda bahwa seseorang mempunyai keinginan baik.
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memberinya pengetahuan (pemahaman) tentang agama” (Muttafaqun ‘alaih).
Berdasarkan hadits di atas, takwa merupakan perpaduan aktif antara ilmu dan ketaatan. Ilmu akan meningkatkan ketaatan kepada Allah, dan ketaatan akan menambah motivasi untuk meningkatkan ilmu.
Mengapa puasa Ramadhan direkomendasikan oleh Allah untuk menjadi sarana untuk mencapai derajat takwa? Karena di dalam bulan Ramadhan terkumpul hampir semua aktifitas peribadatan. Selain puasa, ada shalat Tarawih, shalat Witir, tilawatil Qur`an, kajian keislaman, zakat, infaq, shadaqah, dan i’tikaf. Selain itu, balasan pahala di bulan Ramadhan juga dilipatgandakan untuk merangsang umat Islam meningkatkan amal salehnya. Oleh karena itu, mari kita sambut kedatangan bulan Ramadhan dengan penuh kerinduan dan suka cita. Siapkan diri kita untuk meraih rahmat, maghfirah, dan pembebasan dari siksa neraka.
Ada beberapa hal yang mesti kita lakukan dalam menyambut datangnya buan suci Ramadhan. Pertama, memperkuat kerinduan dan kecintaan kepada bulan suci Ramadhan dan rasa harap untuk dapat menikmati keutamaannya. Hal ini antara lain dapat diekspresikan dengan doa yang dicontohkan Rasulullah Saw. jika sudah memasuki bulan Rajab,
“Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan” (HR At-Tirmidzi dan Ad-Darimi).
Kerinduan akan datangnya bulan Ramadhan inilah yang juga dirasakan oleh para salafush shalih. Karena begitu banyak kebaikan yang diberikan Allah Swt. di bulan Ramadhan, seperti dibukanya pintu surga, ditutupnya pintu neraka, dibelenggunya syetan, sehingga tidak dapat leluasa mengganggu manusia. Dan puncaknya adalah diturunkannya Al-Qur`an sebagai pedoman bagi manusia. Pada malam diturunkannya Al-Qur`an, Allah Swt. menjadikannya lebih baik dari seribu bulan.
Kedua, mempersiapkan diri, baik persiapan hati, persiapan akal, dan persiapan fisik. Persiapan hati dengan membuang penyakit-penyakit hati, mengokohkan niat, dan membulatkan tekad untuk mengoptimalkan Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Persiapan akal dilakukan dengan mendalami ilmu yang berkaitan dengan ibadah Ramadhan, sehingga pelaksanaan ibadah Ramadhan dapat mencapai hasil terbaik. Persiapan fisik ditempuh dengan menjaga kesehatan, kebersihan rumah, kebersihan lingkungan, serta menyiapkan harta yang halal untuk bekal ibadah Ramadhan.
Ketiga, merencanakan peningkatan prestasi ibadah pada bulan Ramadhan tahun ini dibandingkan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya. Misalkan peningkatan dalam kualitas dan kuantitas tilawah, peningkatan hafalan, pemahaman, dan pengamalan Al-Qur`an. Juga perencanaan untuk mengurangi pola hidup konsumtif.
Indikasi tercapainya ketakwaan sebagai buah tarbiyah Ramadhan dapat dilihat dari perilaku kita ba’da Ramadhan. Seseorang yang bertakwa senantiasa berupaya mencari sarana (wasilah) yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt. (QS Al-Maidah: 35). Seorang yang bertakwa selalu berkata benar (qaulan sadida) (QS Al-Ahzab: 70). Orang yang bertakwa senantiasa berteman dengan orang-orang saleh (QS At-Taubah: 119). Orang bertakwa senantiasa mengutamakan ukhuwah Islamiyah dan menjaga tali silaturrahim (QS Al-Anfal: 1). Orang bertakwa senantiasa mencari harta yang halal, tidak memakan harta riba, harta hasil KKN, dan harta-harta yang diperoleh dengan cara syubhat.
Taqwa yang menjadi tujuan utama ibadah puasa adalah solusi bagi semua krisis yang tengah melanda negeri ini. Bila para pemimpin negeri ini bertakwa, berapa banyak uang negara yang bisa diselamatkan dan digunakan untuk menyejahterakan rakyat (QS Ath-Thalaq: 2-3). Bila para birokrat bertakwa, semua urusan birokrasi dan administrasi yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat akan mudah dan lancar (QS Ath-Thalaq: 4). Wallahu a’lam bishshawab.