Perubahan iklim ekonomi, kenaikan harga yang tidak akan pernah turun, telah membuat pengukuran akuntansi menggunakan prinsip historical cost menjadi mulai dipertanyakan. Sudah lama kritikan pengukuran akuntansi dengan prinsip ini dipertanyakan oleh pelaku pasar modal. Penurunan kandungan sumber daya alam seiring meningkatnya populasi manusia sebagai makluk utama di muka bumi ini yang ikut andil dalam penurunan potensi sumber daya alam tersebut, telah membuktikan bahwa penurunan harga sangat sulit terjadi ataupun harga yang stabil. Penggunaan Historical cost dalam pengukuran akuntansi lambat laun menjadi tidak relevan lagi. Hasil pengukuran dengan prinsip ini tidak up to date,.. informasi akuntansi yang dihasilkan akan menjadi tidak ada gunanya. Informasi akuntansi lambat laun apabila tidak dilakukan perubahan dalam prinsip pengukuran akan ditinggal pergi oleh pengguna. Kalaulah hal ini terjadi, timbul pertanyaan, untuk apa akuntan?
Dalam standar akuntansi indonesia, konsep pengukuran aset, utang dan ekuitas dicantumkan dalam Kerangka Dasar Dalam Penyusunan Laporan Keuangan yang dikenal dengan singkatan KDDPLK yang merupakan bagian dari isi Standar Akuntansi Indonesia (SAK). Dalam pengukuran aset, menganut konsep multiple measurement. Artinya pengukuran aset tidak hanya satu konsep pengukuran saja dalam hal ini historical cost, tetapi dapat juga menggunakan current cost, future value, net realizable value, market value, dan replacement cost. Untuk Aktiva tetap, dalam PSAK 16 yang lama, pengukuran aktiva tetap masih menggunakan historical cost. Tentu saja pengukuran ini tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang. IAI melalui Kompartemen Standar Akuntansi, telah melakukan revisi PSAK 16 (revisi 2007) tentang aktiva tetap. Revisi terutama terkait dengan dasar pengukuran aktiva tetap, dapat menggunakan dua alternatif yaitu cost base atau fair value base. Cost base digunakan dengan mengacu pada harga historis (saat perolehan aset tersebut), sedangkan fair value base mengacu pada harga sekarang dari aset tetap tersebut. Masing-masing alternatif pengukuran aset di laporan keuangan memberikan konsekwensi ekonomi yang berbeda bagi perusahaan, manajemen, investor dan kreditor.
Meskipun memberikan konsekwensi ekonomi yang berbeda bagi stake holder, pemberian dua alternatif dasar pengukuran aset tetap akan menimbulkan masalah komparatif, relevansi dan kehandalan pengukuran laporan keuangan, serta memberikan konsekwensi pajak bagi perusahaan. Penerapan fair value base akan dihadapkan pada kendala objektivitas dan evidensi pengukuran aset tersebut....Perlu bantuan pihak III yang sangat independen dalam penerapan fair value base, agar pengukuran-nya tidak subjektif dan kehandalan dapat terjamin. Dengan demikian kita perlu melihat sejauh mana kesiapan lembaga penilai untuk dapat dihandalkan dalam hal ini. Semoga saja.....paling tidak IAI telah mengikuti perubahan zaman dan tekanan pasar dengan mengadopsi IFRS terkait dengan aset tetap....
Sumber :
SPARTA POST
AKUNTANSI, KEUANGAN, EKONOMI DAN AKUNTANSI SYARIAH, MANAJEMEN RISIKO, PENDIDIKAN, DAN UMUM