Asal-usul manusia memang sudah lama dipertanyakan, mungkin sejak manusia itu sendiri ada. Namun, bagi arkeologi, pertanyaan tentang asal usul manusia sebenarnya baru menjadi fokus kajian setelah Charles Darwin menerbitkan bukunya The Descent of Man (1871), menyusul terbitan bukunya yang terkenal The Origin of Species (1858). Di bukunya itulah Darwin menyebut adanya “the missing link”, mata rantai yang hilang dari proses evolusi primata menuju manusia sejati. Sejak itu, para ahli paleoantropologi dan arkeologi seakan berlomba untuk mendapatkan bukti-bukti “the missing link”.
Dorongan itu pula yang membawa Eugene Dubois untuk meninggalkan kehidupan yang mapan di Belanda untuk berburu fosil di Indonesia. Tahun 1891, Dubois mengaku telah menemukan fosil “the missing link” dalam penggalian di tepian Bengawan Solo, di desa kecil Trinil, tidak jauh dari Ngawi, Jawa Timur (Shipman, 2001).
Museum Trinil atau Kepurbakalaan Trinil terletak di dukuh Pilang, desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi. Berjarak 14 km dari Kota Ngawi ke arah Barat daya, pada KM 10 jalan Raya Ngawi -Solo ada pertigaan belok ke arah Utara. Dan Sepanjang 3 km perjalanan baru sampailah pada Museum Trinil. Dan Letaknya sendiri di Pinggiran kali Bengawan Solo, dan layaknya situs-situs kepurbakalaan yang ada di tanah air memang cenderung dipinggiran sungai. Seperti halnya situs Sangiran atau situs sambung macan Sragen juga dibantaran sungai Bengawan solo.
Disebelah Barat daya di halaman Museum terdapat bangunan berupa Monumen yang didirikan oleh Eugene Dubois yang pertama kali menemukan situs ini. Di monumen itu dituliskan angka tahun pertama kali penemuan fosil manusia purba yang diberi Nama Pithecanthropus Erectus. Disamping manusia purba didalam museum sendiri juga banyak ditemukan berbagai macam fosil binatang purba, yang paling terkenal adalang ditemukan gading Gajah Purba yang sangat besar sekali jika dibandingkan dengan ukuran gading gajah biasa.
Dan manusia purba ini diperkirakan berada pada jaman pleistosin tengah atau 1 juta tahun yang lalu. Dari berbagai temuan adalah: Golongan primate
Pithecanthropus Erectus Dubois
Pithecanthropus Soloensis
Pongo Pygmaeus Hoppins
Symphalangus Syndoctylus Raffles
Hyaobates Ofmeloch Andebert
Nacaca Fascicalois
Dan masih banyak golongan flora ataupun fauna yang lainnya.
Museum Trinil merupakan warisan kepurbakalaan dunia yang semestinya harus dirawat dan dijaga demi perkembangan pengetahuan.
Demikian pula Bengawan-dalam bahasa Jawa berarti sungai besar-Solo yang membentuk aliran air hingga sejauh 600 kilometer. Di sekitar aliran sungai ini, yakni di Desa Trinil, sekitar 11 kilometer dari Kota Ngawi, Jawa Timur (Jatim), seorang berkebangsaan Belanda, Eugene Dubois, menemukan fosil tulang "manusia monyet" (Pithecanthropus erectus) pada tahun 1891. Penemuan itu menjadi bukti betapa sungai terpanjang di Pulau Jawa tersebut menjadi tumpuan hidup nenek moyang ras manusia sejak ratusan ribu tahun silam.
Namun, apakah temuan itu telah menjawab tentang asal-usul manusia sejati? Apakah misteri “the missing link” telah terpecahkan? Ternyata tidak!!! Malahan, fosil-fosil yang ditemukan Dubois seakan menjadi pemicu debat baru di antara para ahli yang akhirnya menyadarkan mereka untuk tidak sekedar mencari dan menemukan “the missing link”, tetapi juga memikirkan kembali apa yang dimaksud dengan “the missing link”. Perdebatan dan fokus kajian pun lalu bergeser. Kalau semula perdebatan hanya berkutat di sekitar : apakah fosil dari Trinil adalah benar-benar “the missing link”, pada tahap berikutnya para ahli mulai bertanya-tanya : apa atau siapakah “the missing link” itu ? Apakah ia adalah satu jenis makhluk yang menjadi perantara dalam proses evolusi dari kera menuju manusia, sehingga E. Haeckel menyebutnya Pithecanthropus (pithecos = kera, dan anthropos = manusia) ? Atau, “the missing link” adalah sosok-sosok makhluk yang proses evolusinya ada di antara kera dan manusia ? Rupanya, hasil penelitian arkeologi dan paleoantropologi cenderung mendukung adanya beberapa makhluk perantara dalam proses evolusi dari makhluk mirip kera (pithecoid) menjadi manusia. Namun, ketika sejumlah fosil “the missing links” (jamak) sudah ditemukan, toh perdebatan tidak berhenti sampai di situ.
Asal-usul manusia sejati (Homo sapiens) belum juga terpecahkan. Masalahnya, para ahli tetap saja berdebat “makhluk fosil” mana yang punah dan mana yang terus menjadi manusia. Karena itu, terdapat sejumlah pohon kekerabatan manusia yang berbeda-beda (lihat skema di bawah) dan teori asal-usul Homo sapiens pun beragam. Dua di antara teori asal-usul Homo sapiens yang kini masih marak diperdebatkan adalah Teori Kesinambungan Setempat (Multi Regional Continuity) dan Teori Penggusuran (Replacement Theory). Teori yang disebut pertama beranggapan homo sapiens muncul di berbagai tempat di dunia dari hasil evolusi homo erectus di kawasan masing-masing, sedangkan teori yang kedua meyakini homo sapiens muncul hanya di Afrika dan kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia untuk menggusur homo erectus yang kemudian punah (Gamble, 1993).
Oleh karena itu, dicarilah bentuk kegiatan lain yang bisa mengingatkan warga Solo akan peranan Bengawan Solo sebagai induk peradaban. Upaya ini bukan sekadar menghadirkan romantisme. Lebih jauh lagi, upaya itu adalah perjuangan untuk menyadarkan masyarakat modern agar menghargai sungai, menghargai induk peradaban besar ras mereka.
Sejarah geologi wilayah Pegunungan Seribu, menurut ahli geologi Dr. Tony Djubiantono, terbentuk pada kala Miosen atau Pleistosen Tengah (jutaan tahun yll), dimana saat itu terjadi perubahan yang spektakuler ketika dasar laut di daerah tsb terangkat ke atas. Pada proses terangkatnya dasar laut yang semula berupa teluk besar, berlangsung pembentukan koloni berupa bukit-bukit yang kemudian menjadi bagian dari Pegunungan Seribu. Bukit-bukit di daerah tsb hingga saat ini secara jelas memperlihatkan format batuan koral serupa dengan batuan di dasar lautan. Bahkan di sejumlah tempat dengan mudah ditemukan fosil-fosil binatang laut (yang menunjukkan bahwa daerah tsb dahulunya merupakan dasar lautan).
Konon Bengawan Solo yang merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa. Panjangnya mencapai sekitar 600 km.