Rotating X-Steel Pointer

Selasa, 29 November 2011

CHAPTER 5 PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 DAN 24

I. Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh:
1.      Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;
2.      Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.

II. Pemungut & Objek PPh Pasal 22
1.      Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), atas impor barang;
2.      Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), Bendaharawan Pemerintah Pusat/ Daerah yang melakukan pembayaran, atas pembelian barang;
3.      BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD);
4.      Bank Indonesia (Bl), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT.Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun dari non APBN;
5.      Industri semen, industri rokok putih, industri kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
6.      Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas, atas penjualan hasil produksinya.
7.      Industri dan eksportir perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Paja, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.

III. Tarif PPh Pasal 22
Atas impor :
1.      yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor;
2.      yang tidak menggunakan API, 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;
3.      yang tidak dikuasai, 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
1.      Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJA, Bendaharawan Pemerintah, BUMN/BUMD (angka II butir 2,3, dan 4) sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian dan tidak final.
2.      Atas penjualan hasil produksi (angka II butir 5) ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
o    Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
o    Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
o    Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
o    Rokok = 0.15% x Harga Bandrol (Final)
o    Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
3.      Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh Pertamina dan badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan baker minyak jenis premix, super TT dan gas adalah sebagai berikut:
Jenis Bahan
Bakar
SPBU
Swastanisani (% dari penjualan)
SPBU Pertamina (% dari penjua- lan)
Premium
0,3
0,25
Solar
0,3
0,25
Premix/
Super TT
0,3
0,25
Minyak Tanah

0,3
Gas LPG

0,3
Pelumas

0,3
Catatan:
4.      Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur /dealer/agen, bersifat final
5.      Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul (angka II butir 7) ditetapkan sebesar 0,5 % dari harga pembelian.

IV. Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22
1.      Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (8KB).
2.      Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh DJBC.
3.      Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
4.      Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah yang jumlahnya paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
5.      Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos.
6.      Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
7.      Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
8.      Impor kembali (re-impor) yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
9.      Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.

V. Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22
1.      Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
2.      Atas pembelian barang (angka II butir 2,3, dan 4) terutang dan dipungut pada saat pembayaran;
3.      Atas penjualan hasil produksi (angka II butir 5) terutang dan dipungut pada saat penjualan;
4.      Atas penjualan hasil produksi (angka II butir 6) dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order);
5.      Atas pembelian bahan-bahan (angka II butir 7) terutang dan dipungut pada saat pembelian.

VI.Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22
1.      PPh Pasal 22 atas impor barang (angka II butir 1) disetor oleh importer dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang dipungut oleh DJBC harus disetor ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro dalam jangka waktu 1(satu) hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
2.      PPh Pasal 22 atas pembelian barang (angka II butir 2 dan 3) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro secara kolektif pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut menerbitkan bukti pungutan rangkap tiga, yaitu:
o    lembar pertama untuk pembeli;
o    lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak;
o    lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah masa pajak berakhir.
3.      PPh Pasal 22 atas pembelian barang (angka II butir 4) disetor oleh pemungut atas nama Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
4.      PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (angka II butir 5 dan 7) disetor oleh pemungut atas nama wajib pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP. Pemungut menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
5.      PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (angka II butir 6) disetor sendiri oleh Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (delivery order) ditebus dengan menggunakan SSP. Pemungut wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap 3 yaitu:
o    lembar pertama untuk pembeli;
o    lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;
o    lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.

Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.


PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 24 adalah Pemotongan Pajak Penghasilan atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri yang berasal dari Luar Negeri

Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut :
1.      Untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan
2.      Untuk penghasilan berupa dividen, dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut (650/KMK.04/1994 Jo SE - 22/PJ.4/1995 Jo SE - 35/PJ.4/1995)
3.      Untuk penghasilan lainnya, dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut
4.      Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak di Indonesia.

Mekanisme Pengkreditan PPh yang Dibayar di Luar Negeri (164/KMK.03/2002)
  • Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.
  • Pengkreditan PPh yang dibayar di Luar Negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam tahun pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di Indonesia.
  • Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang lebih rendah di antara PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri dan seluruh Penghasilan Kena Pajak, atau maksimum sebesar PPh yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak dalam hal di dalam negeri mengalami kerugian (Penghasilan dari LN lebih besar dari jumlah Penghasilan Kena Pajak).
  • Apabila penghasilan dari luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan PPh Pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negara.
  • Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ) dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri (Pasal 8 ayat (1 dan 4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ) tidak dapat digabungkan dengan penghasilan lainnya, baik yang diperoleh dari Dalam Negeri maupun dari Luar Negeri.
  • Dalam hal jumlah PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan di tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan tidak dapat direstitusi.
  • Untuk melaksanakan prengkreditan PPh Luar Negeri, wajib pajak wajib menyampaikan permohonan ke KPP bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh, dilampiri dengan ;
1.      Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri
2.      Foto kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri
3.      Dokumen pembayaran PPh di luar negeri.
  • Atas permohonan wajib pajak, Kepala KPP dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian lampiran-lampiran di atas, karena alasan-alasan di luar kekuasaan wajib pajak.
  • Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT Tahunan yang bersangkutan dengan melampirkan dokumen-dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
  • Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang dibayar, maka atas kekurangan bayar tersebut tidak dikenakan sanksi bunga.
  • Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.

Contoh 1 :
PT X berkedudukan di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 adalah sbb :
·        Penghasilan neto dari dalam negeri sebesar Rp 8.000.000.000,00.
·        Di Singapura memperoleh penghasilan (laba neto) Rp 2.000.000.000,00, dimana PPh yang dibayar di Singapura sebesar Rp 800.000.000,00
·        Di Vietnam memperoleh penghasilan (laba neto) sebesar Rp 6.000.000.000,00, dimana PPh yang dibyar sebesar Rp 1.500.000.000,00
·        Di Malaysia menderita kerugian (rugi neto) sebesar Rp 5.000.000.000,00.
Perhitungan Kredit PPh Luar Negeri-nya adalah sbb :
Penghasilan neto dalam negeri Rp 8.000.000.000,00
Penghasilan neto dari Singapura Rp 2.000.000.000,00
Penghasilan neto dari Vietnam Rp 6.000.000.000,00
Jumlah Penghasilan Neto Rp 16.000.000.000,00
Rugi neto yang berasal dari Malaysia tidak boleh digabung (tidak diakui).
Perhitunga PPh Terutang :
10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
30% x Rp 15.900.000.000,00 = Rp 4.770.000.000,00
Jumlah Rp 4.782.500.000,00
Batas Maksimum Kredit Pajak Luar Negeri :
Singapura = (2 Milyar / 16 Milyar) x Rp 4.782.500.000,00 = Rp 597.812.500,00
PPh yang dapat dikreditkan hanya Rp 597.812.500,00 meskipun secara nyata membayar PPh di Singapura sebesar Rp 800.000.000,00. Sisanya tidak boleh dikompensasi ke tahun berikutnya, direstitusi, maupun dibebankan sebagai biaya.
Vietnam = (6 Milyar / 16 Milyar) x Rp 4.782.500.000,00 =Rp 1.793.437.500,00.
PPh yang dapat dikreditkan sebesar Rp 1.500.000.000,00 (sebesar yang nyata-nyata dibayar/terutang di Vietnam).

Contoh 2 :
PT Y berkedudukan di Surabaya memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sbb :
Penghasilan neto (rugi) di dalam negeri  Rp   (600.000.000,00)
Penghasilan neto dari usaha di Philipina Rp 3.000.000.000,00
Jumlah                                                        Rp 2.400.000.000,00
PPh yang terutang di Philipina sebesar    Rp 1.200.000.000,00
Perhitungan Kredit Pajak Luar Negeri :
Jumlah Penghasilan Neto (Penghasilan Kena Pajak) Rp.2.400.000.000,00
PPh Terutang :
10% x Rp 50.000.000,00         = Rp     5.000.000,00
15% x Rp 50.000.000,00         = Rp     7.500.000,00
30% x Rp 2.300.000.000,00    = Rp 690.000.000,00
Jumlah                                     = Rp 702.500.000,00
Batas Maksimum Kredit Pajak Luar Negeri :
Karena jumlah Penghasilan Kena Pajaknya lebih kecil dari pada Penghasilan Neto dari Luar Negeri (di Dalam Negeri mengalami kerugian), maka maksimum Kredit Pajak Luar Negeri adalah sama dengan jumlah PPh yang terutang, yaitu Rp 702.500.000,00. PPh yang telah dibayar di Philipina adalah sebesar Rp 1.200.000.000,00, sehingga terdapat sisa sebesar Rp 497.500.000,00, yang tidak dapat dikompensasi ke tahun berikutnya, direstitusi, maupun diakui sebagai biaya.