Rotating X-Steel Pointer

Minggu, 03 April 2011

FAKTOR PENYEBAB KEGAGALAN PENDETEKSIAN KECURANGAN

Pendeteksian kecurangan bukan merupakan tugas yang mudah dilaksanakan oleh auditor eksternal (selanjutnya disebut auditor). Atas literatur yang tersedia, dapat dipetakan empat faktor yang teridentifikasi yang menjadikan pendeteksian kecurangan menjadi sulit dilakukan sehingga auditor gagal dalam usaha mendeteksi. Faktor-faktor penyebab tersebut diuraikan seperti dijelaskan di bawah ini.

Karakteristik Terjadinya Kecurangan
Terjadinya kecurangan sebenarnya berbeda dengan kekeliruan. Menurut Loebbecke et al. (1989), kecurangan lebih sulit untuk dideteksi karena biasanya melibatkan penyembunyian (concealment). Penyembunyian itu terkait dengan catatan akuntansi dan dokumen yang berhubungan, dan hal ini juga berhubungan dengan tanggapan pelaku kecurangan atas permintaan auditor dalam melaksanakan audit. Jika auditor meminta bukti transaksi yang mengandung kecurangan, dia akan menipu dengan member informasi palsu atau tidak lengkap.
Johnson et al. (1991) menyebutkan ada tiga taktik yang digunakan manajer untuk mengelabui auditor. Taktik pertama adalah membuat deskripsi yang menyesatkan (seperti mengatakan perusahaan yang sedang menurun sebagai perusahaan yang bertumbuh) agar menyebabkan auditor menghasilkan ekspektasi yang tidak benar sehingga gagal mengenali ketidakkonsistenan. Taktik kedua adalah menciptakan bingkai (frame) sehingga menimbulkan hipotesis tidak adanya ketidakberesan (nonirregularities hypothesis) untuk evaluasi ketidakkonsisten yang terdeteksi. Taktik ketiga yaitu menghindari untuk memperlihatkan ketidakpantasan dengan membuat serentetan manipulasi kecil (secara individual tidak material) atas akun-akun tertentu dalam laporan keuangan sehingga membentuk rasionalisasi atas jumlah saldo yang dihasilkan. Dengan ketiga taktik ini, manajemen klien akan berhasil bila auditor menggunakan cara sederhana melalui representasi tunggal dalam menginterpretasikan ketidakkonsistenan yang terdeteksi. Hasil penelitian Jamal et al. (1995) menunjukkan bahwa sebagian besar auditor (dalam penelitian ini menggunakan partner) tidak mampu mendeteksi kecurangan dengan baik. Walaupun motivasi, pelatihan dan pengalamannya memadai, para partner yang diuji dapat dikelabui oleh bingkai dari manajemen klien.
Ketidakmampuan auditor dalam pendeteksian kecurangan ini ada hubungan dengan keahliannya dibentuk oleh pengalaman yang relevan dengan kecurangan. Kecurangan itu sendiri frekuensi terjadinya jarang dan tidak semua auditor pernah mengalami kasus terjadinya kecurangan, sehingga pengalaman auditor berkaitan dengan kecurangan tidak banyak. Loebbecke et al. (1989) yang melakukan survey atas 1.050 partner audit KPMG Peat Marwick menemukan adanya 77 kasus kecurangan yang pernah mereka alami. Jika dihitung dari jumlah audit sepanjang karir mereka maka insiden ditemukannya kecurangan menjadi sangat kecil (sekitar 0,32 persen). Dengan jarangnya mereka menghadapi management fraud sehingga jarang pula yang mempunyai latar belakang yang pantas yang mengarah pada kemampuan mendeteksi kecurangan. Dari hasil studi Johnson et al. (1991) dan Jamal et al. (1995), tampak bahwa pengalaman saja tidaklah cukup dalam mendeteksi kecurangan kecuali jika pengalaman itu diperoleh dari industri yang sama atau melalui penugasan yang melibatkan kekeliruan atau kecurangan yang material.
Selain itu, tugas pendeteksian kecurangan memerlukan pertimbangan yang melibatkan banyak isyarat (multi-cues judgment) yang secara inheren sulit untuk dilakukan tanpa didukung oleh alat bantu (decision aids), bahkan oleh orang yang pakar sekalipun (Eining et al. 1997). Akar dari masalah ini adalah keterbatasan kemampuan kognitif manusia dalam memproses informasi. Hackenbrack (1992) menunjukkan adanya efek dilusi dalam pertimbangan auditor. Adanya informasi yang tidak relevan (disebut juga bukti non diagnostik) yang bercampur dengan informasi relevan (bukti diagnostik atau red flag dalam pendeteksian kecurangan) akan mengakibatkan penilaian risiko kecurangan oleh auditor menjadi kurang ekstrim. Penilaian risiko yang tidak sensitif ini akan berakibat serius bagi tugas pendeteksian kecurangan.

Standar Pengauditan Mengenai Pendeteksian Kecurangan
Dalam pendeteksian kecurangan yang menjadi masalah bukanlah ketiadaan standar pengauditan yang memberikan pedoman bagi upaya pendeteksian kecurangan, tetapi kurang memadainya standar tersebut memberikan arah yang tepat. Hal ini terlihat dari uraian perkembangan standar pengauditan di depan yang menunjukkan usaha untuk terus-menerus memperbaiki standar yang mengatur pendeteksian kecurangan. Perbaikan ini terutama timbul dari kenyataan bahwa tanggung jawab pendeteksian kecurangan pada praktek belum cukup efektif dilaksanakan. Keluarnya SAS No. 53 menjawab tantangan kesenjangan harapan dengan secara signifikan meningkatkan tanggung jawab auditor berkaitan dengan kecurangan. Dalam standar ini ditegaskan auditor harus menilai risiko bahwa kekeliruan dan ketidakberesan kemungkinan menyebabkan laporan keuangan berisi salah saji material. Berdasarkan penilaian ini, auditor harus merancang auditnya untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi pendeteksian kekeliruan dan kecurangan yang material atas laporan keuangan. SAS No. 53 memandang persyaratan (requirement) terhadap kekeliruan sama dengan kecurangan. Namun menurut Loebbecke et al. (1989) setahun setelah standar ini terbit, kedua jenis salah saji ini sama sekali berbeda. Demikian pula persyaratan atas dua jenis ketidakberesan yaitu defalcation dan management fraud juga berbeda. Loebbecke et al. percaya bahwa mendeteksi kekeliruan yang material lebih langsung (straightforward) dan mudah dilakukan. Sebabnya adalah pertama, kekeliruan terjadi tanpa adanya penyembunyian sehingga dapat terungkap begitu bukti-bukti diuji. Kedua, bila kekeliruan dalam jumlah kecil-kecil dijumlahkan menjadi jumlah yang material, sangat mungkin satu atau lebih bagian bukti yang mengandung kekeliruan akan diuji oleh auditor. Ketiga yaitu jika satu atau lebih kekeliruan itu secara sendiri-sendiri jumlahnya besar maka mungkin saja detil transaksi atau akun yang berhubungan akan dipilih untuk diuji auditor.
Walaupun SAS No. 53 ini telah memuat sejumlah faktor-faktor yang dapat mengindikasi adanya salah saji material, namun menurut Loebbecke et al. standar ini tidak secara spesifik memberitahukan cara faktor-faktor ini digunakan untuk membedakan antara kekeliruan dengan ketidakberesan serta bagaimana hasil dari tinjauan atas faktor-faktor tersebut diterjemahkan menjadi kecenderungan (likelihood). Berdasarkan penelitiannya, Loebbecke et al. menyarankan agar auditor membuat penilaian yang terpisah atas kekeliruan yang material, penggelapan (defalcation) yang material dan kecurangan manajemen yang material. Tidak adanya pemisahan yang jelas antara penilaian risiko terhadap salah saji yang sengaja dan tidak sengaja pada SAS No. 53 ini, juga terbukti dalam penelitian Zimbelman (1997) tidak mendorong auditor untuk sensitif terhadap risiko kecurangan.
Perubahan SAS No. 53 menjadi SAS No. 82 berusaha mengatasi kelemahan di atas. SAS No. 82 meminta penilaian risiko kecurangan dilakukan secara eksplisit dan terpisah. Auditor juga diminta untuk mendokumentasikan penilaian risiko kecurangan secara terpisah. Zimbelman (1997) dalam penelitiannya mengatakan standar ini harusnya dapat mengarahkan audit untuk memberi banyak waktu membaca isyarat kecurangan dan merancang rencana audit yang lebih sensitif terhadap risiko kecurangan. Seperti terbukti dari penelitian Zimbelman ini, SAS No. 82 memang cukup berhasil mengarahkan auditor untuk memperhatikan kecurangan. Namun SAS No. 82 ini, seperti didapat dari penelitian Zimbelman dan kemudian Glover et al. (2003), tidak cukup untuk mendorong auditor untuk mengubah sifat auditnya sebagai tanggapan atas perubahan risiko kecurangan yang dipersepsikan, sehingga mereka tidak memilih prosedur audit yang berbeda. Hasil ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas SAS No. 82 dalam membantu meningkatkan pendeteksian kecurangan. Dengan kata lain, dengan standar ini auditor memang melakukan upaya lebih, tetapi mereka tetap mempertahankan strategi audit yang konstan yang kemungkinan tidak efektif untuk mendeteksi kecurangan. The Panel of Audit Effectiveness (PAE) berpendapat serupa yaitu proses penilaian risiko dan tanggapannya menurut SAS No. 82 ini tidak efektif karena hal ini tidak “mengarahkan prosedur audit secara spesifik terhadap pendeteksian kecurangan”. PAE juga menyatakan standar pengauditan yang ada merupakan pedoman yang tidak mencukupi dalam mengimplementasikan konsep skeptisisme profesional (Pany dan Whittington 2001).
Perubahan SAS No. 82 menjadi SAS No. 99 banyak menyerap rekomendasi yang diberikan PAE, sehingga merupakan upaya perbaikan yang signifikan dalam standar pengauditan. SAS No. 99 ini dirancang untuk emperluas prosedur audit yang berkenaan dengan kecurangan material pada laporan keuangan. Standar baru ini mempertimbangkan kecurangan secara menyatu dalam proses audit dan secara terus-menerus dimutakhirkan sampai selesainya audit. Dalam standar ini diuraikan proses dimana auditor (1) menyajikan informasi yang diperlukan untuk mengidentifikasi risiko salah saji material yang disebabkan oleh kecurangan, (2) menilai risikorisiko tersebut setelah mengevaluasi program dan pengendalian oleh entitas dan (3) menanggapi hasil dari penilaian tersebut. Auditor menyajikan dan mempertimbangkan lebih banyak informasi dalam menilai risiko kecurangan daripada yang pernah dialami di masa-masa sebelumnya. Selain itu juga auditor diminta mendokumentasikan penilaian mereka secara eksplisit dalam kertas kerja.
SAS No. 99 ini mengingatkan auditor untuk mengatasi kecenderungan alami mereka seperti terlalu percaya pada representasi klien dan bias dan pendekatan audit mereka dengan sikap skeptis dan pikiran yang mempertanyakan. Hal yang penting juga adalah auditor harus menyesampingkan hubungan masa lalu dan tidak menganggap klien jujur.
Persyaratan yang baru dalam SAS No. 99 ini adalah meminta tim audit agar berdiskusi selama tahap perencanaan mengenai potensi salah saji material karena kecurangan. Diskusi ini dilakukan dengan cara brainstorming yang diharapkan mencapai dua tujuan. Pertama, bersifat strategic yaitu agar tim penugasan mendapat pemahaman yang lebih baik atas informasi yang dipunyai dari anggota tim yang berpengalaman tentang pengalaman mereka dengan klien dan bagaimana kecurangan mungkin terjadi dan disembunyikan. Tujuan kedua adalah menetapkan “tone at the top” yang sepantasnya dalam melaksanakan penugasan audit. Cara ini adalah usaha untuk memodelkan derajat skeptisisme profesional yang tepat dan menetapkan budaya atas penugasan. Budaya ini dipercaya akan merasuk dalam ke seluruh penugasan sehingga membuat semua prosedur audit lebih efektif (Ramos 2003).
Auditor menurut standar baru ini perlu memperluas lingkup informasi yang mereka gunakan untuk menilai risiko salah saji material karena kecurangan, diluar faktor-faktor risiko kecurangan yang terdapat pada SAS No. 82. Faktor-faktor risiko kecurangan itu adalah “kejadian-kejadian atau kondisi yang mengindikasikan insentif/tekanan untuk mendorong kecurangan, kesempatan untuk melaksanakan kecurangan, atau sikap/rasionalisasi untuk membenarkan atau menjustifikasikan tindakantindakan kecurangan” (para. 31). Walaupun faktor- faktor risiko kecurangan tidak harus mengindikasikan kecurangan ada, tetapi faktor-faktor itu sering ada bila bila kecurangan terjadi, sehingga menjadi elemen penting yang dipertimbangkan dalam ruang lingkup perikatan audit.
Selanjutkan auditor diminta untuk mempertimbangkan program dan pengendalian oleh manajemen berkenaan dengan risiko dan menentukan apakah program dan pengendalian itu memperbaiki atau memperburuk risiko yang teridentifikasi. Auditor juga dipersyaratkan agar membangun tanggapan yang tepat atas tiap risiko yang teridentifikasi. Prosedur yang direncanakan harus mempertimbangkan risiko manajemen mengesampingkan pengendalian. Prosedur itu juga mencakup pengujian ayat jurnal dan penyesuaian lain, mereviu estimasi akuntansi atas bias yang terjadi dan mengevaluasi penjelasan bisnis atas transaksi material yang tidak biasa.
Banyak hal-hal baru dalam standar ini dan membawa harapan bagi perbaikan. Carpenter (2007) dalam upaya menguji efektivitas dari salah satu aspek dari SAS No. 99 yaitu penggunaan sesi brainstorming mendapatkan bahwa brainstorming amat berguna dalam melakukan pertimbangan mengenai kemungkinan kecurangan. Hasil dari eksperimen yang dilakukan Carpenter menyarankan meskipun jumlah dari ide-ide yang dihasilkan berkurang, tim audit yang mengadakan brainstorming menghasilkan ide-ide kecurangan yang berkualitas lebih banyak daripada auditor secara individual menghasilkan ide-ide tersebut sebelum sesi brainstorming. Tim audit menghasilkan ideide
kecurangan berkualitas baru selama sesi brainstorming. Hasil-hasil ini juga menunjukkan penilaian risiko kecurangan yang dihasilkan setelah sesi brainstorming secara signifikan lebih tinggi dari penilaian yang dilakukan auditor secara individual sebelum sesi brainstorming, khususnya bila kecurangan itu memang ada. Hasil ini menunjukkan sesi brainstorming cenderung meningkatkan kemampuan auditor mengidentifikasi kecurangan. Harapan perbaikan dengan berlakunya SAS No. 99 ini amat diharapkan seiring dengan diterapkannya cara-cara baru oleh para auditor dalam penugasan.

Tekanan Kompetisi atas Fee Audit
Kompetisi yang semakin tajam di antara kantor akuntan publik untuk memperebut klien memang tidak terhindarkan lagi dalam bisnis jasa akuntansi. Namun hal ini mempunyai implikasi yang perlu menjadi perhatian oleh pihak profesi akuntan publik yaitu kompetisi yang semakin tajam akan mengakibatkan penekanan untuk penurunan fee audit. Tekanan ini akan mengakibatkan KAP mengurangi pekerjaan audit untuk mempertahankan marjin labanya (AICPA 1978) dan mengarah pada perubahan baik atas kejadian kecurangan maupun pendeteksian kecurangan. Untuk menjaga agar marjin laba tetap menguntungkan, maka biaya harus ditekan dan efisiensi diutamakan. Di pihak lain pendeteksian kecurangan yang ekstensif memakan biaya besar dan tidak efisien. Melaksanakan pendeteksian kecurangan mungkin efektif untuk kasus audit yang mengandung kecurangan, namun tidak akan efisien pada kasus pengauditan pada klien yang tidak terjadi kecurangan. Banyak manajemen KAP keberatan atas pelaksanaan pendeteksian kecurangan yang terlalu ekstensif dilatarbelakangi oleh hal ini.
Tekanan kompetisi jelas membawa konsekuensi bagi kualitas pekerjaan auditor eksternal. Studi eksperimen ekonomi oleh Matsumura dan Tucker (1992) menunjukkan beberapa hal tentang masalah ini. Dalam penelitian ini mereka memanipulasi penalti atas auditor, persyaratan pengauditan, struktur pengendalian internal, dan fee audit untuk menguji efek dari dari variabelvariabel ini terhadap pendeteksian kecurangan dan kejadian atau insiden kecurangan. Mereka menemukan kenaikan pada penalti atas auditor menghasilkan penurunan terjadinya kecurangan dan meningkatkan usaha pendeteksian kecurangan. Demikian pula kenaikan dalam jumlah minimum pengujian atas kecurangan meningkatkan pendeteksian kecurangan dan menurunkan terjadinya kecurangan, serta pengendalian internal yang lebih kuat mengarah pada pendeteksian kecurangan yang lebih sering dan menurunkan terjadinya kecurangan. Temuan eksperimen ekonomi, menunjukkan hal penting yaitu peningkatan fee audit menghasilkan penurunan pada kecurangan dan peningkatan jumlah pengujian transaksi dengan pengujian yang lebih sedikit secara keseluruhan. Dengan hasil ini, adanya penurunan fee akan berakibat kenaikan insiden kecurangan dan penurunan upaya pendeteksian kecurangan, dan berarti turunnya kualitas audit.

Tekanan Waktu
Tekanan waktu (time pressure) adalah cirri lingkungan yang biasa dihadapi auditor. Adanya tenggat waktu penyelesaian audit membuat auditor mempunyai masa sibuk yang menuntut agar dapat bekerja cepat. Para peneliti dan praktisi banyak berpendapat bahwa tekanan ini dapat memperburuk kualitas pekerjaan audit.
Berkaitan dengan ini, penelitian oleh Braun (2000) mengilustrasikan salah satu efek dari tekanan waktu atas kinerja auditor dalam pendeteksian kecurangan. Braun menunjuk bahwa pengauditan dilaksanakan dalam suatu lingkungan multi tugas dimana di bawah tekanan waktu, beberapa tugas akan lebih diprioritaskan dibandingkan tugas lainnya. Braun menguji hipotesisnya yaitu bila tekanan waktu ditingkatkan dalam lingkungan multi tugas, kinerja tugas yang lebih rendah/subsidiary (yaitu sensitivitas terhadap isyarat kecurangan) akan menurun sedangkan kinerja tugas yang dominan (mendokumentasi bukti) akan tetap tidak berubah. Hasil penelitian menunjukkan auditor yang berada di bawah tekanan waktu yang lebih akan kurang sensitif terhadap isyarat kecurangan sehingga kurang mungkin untuk dapat mendeteksi kecurangan. Walaupun begitu, tekanan waktu tidak mempengaruhi kinerja auditor yang berkaitan dengan pengumpulan bukti atas frekuensi dan jumlah salah saji. Hasil ini konsisten dengan penelitian-penelitian dalam bidang psikologi yang memprediksi bahwa terdapat pengurangan dalam perhatian bila seseorang diperhadapkan dengan tekanan waktu, dan menunjukkan bahwa tekanan waktu akan menyebabkan auditor gagal untuk menghadirkan sinyal-sinyal kecurangan dalam bukti audit.

Hubungan Auditor-Auditee
Beberapa pihak berpendapat bahwa komunikasi memainkan peranan penting dalam mendeteksi kecurangan. Beberapa riset (contohnya Hooks et al. 1994) melaporkan adanya peran komunikasi dalam pendeteksian kecurangan, yaitu (1) komunikasi dengan personel klien penting dalam mendeteksi kecurangan (2) kemungkinan menerima komunikasi sensitif dari personel klien sangat tergantung dari kuatnya hubungan antara auditor dengan orang yang mengetahui adanya tindakan perbuatan salah itu, dan (3) kemauan mengkomunikasi itu dipengaruhi oleh pemahaman orang yang mengetahui tindakan salah atas siapa yang memperoleh keuntungan dari tindakan salah itu–apakah pelakunya atau organisasi atau keduanya. Hal yang terakhir ini relevan dalam upaya melaporkan kecurangan manajemen, karena kecurangan sering melibatkan (paling tidak) keuntungan
jangka pendek bagi pelakunya, perusahaan dan orang yang mengetahuinya. Hasil temuan Schultz dan Hooks (1998) mendukung hal (2) di atas dan mereka menyimpulkan semakin kuat hubungan antara karyawan klien yang mengamati tindakan kecurangan dengan auditor, maka lebih cenderung pengamat melaporkan tindakan salah (wrongdoing).
Walaupun kedekatan hubungan antara auditor dengan auditee mempunyai implikasi atas independensi dan obyektivitas auditor, namun Schultz dan Hooks berargumen kedekatan ini memperkuat kepercayaan dan komunikasi sehingga komunikasi sensitif akan diperlakukan bijaksana dan tindakan tepat dapat dilakukan dengan cara diplomatis namun efektif. Meningkatnya komunikasi ini juga akan menambah kredibilitas terhadap laporan keuangan. Komunikasi ini juga tampaknya lebih efektif dalam menemukan kecurangan dibandingkan menggunakan metode dokumenter.
Namun dalam praktek di lapangan, banyak hal yang menghambat komunikasi yang baik ini. Schultz dan Hooks menjelaskan salah satu sebabnya adalah tekanan kompetisi yang menekankan efisiensi dan mengarahkan perhatian pada usaha mengejar pendapatan. Auditor lebih dituntut untuk mencapai efisiensi audit yang maksimum, dan meluangkan waktu untuk membangun hubungan dengan klien tidak dianggap sebagai aktivitas yang sesuai. Selain itu banyaknya perputaran para partner yang pindah dan masuk tidak memungkinkan menjalin hubungan baik dengan manajemen puncak klien. Klien juga banyak yang berpindah auditor, dan seringkali menjalin hubungan untuk pertama kali ini juga menimbulkan masalah serius.