Rotating X-Steel Pointer

Sabtu, 19 Maret 2011

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP TINGKAT PEMAHAMAN AKUNTANSI



Kecerdasan Emosional
Kamus Bahasa Indonesia kontemporer mendefinisikan emosi sebagai keadaan yang keras yang timbul dari hati, perasaan jiwa yang kuat seperti sedih, luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu cepat. Emosi merujuk pada suatu perasan dan pikiran-pikiran yang khasnya, suatu keadaan yang biologis dan psikologis serta serangkaian kecendrungan untuk bertindak. Emosional adalah hal-hal yang berhubungan dengan emosi.

Menurut Goleman (2000), kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenal perasaan diri sendiri dan orang lain untuk memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi dengan baik di dalam diri kita dan hubungan kita. Kemampuan ini saling berbeda dan melengkapi dengan kemampuan akademik murni, yaitu kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Sedangkan menurut Cooper dan Sawaf (1998), kecerdasan emosional adalah kemampuan mengindra, memahami dan dengan efektif menerapkan kekuatan dan ketajaman emosi sebagai sumber energi, informasi dan pengaruh. Salovely dan Mayer (1990) dalam Cherniss (2000), mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan.

Temuan beberapa peneliti, seperti David Wechsler (1958) dalam Cherniss (2000) mendefinisikan kecerdasaan sebagai keseluruhan kemampuan seeorang untuk bertindak bertujuan, untuk berfikir rasional, dan untuk berhubungan dengan lingkungannya secara efektif. Aspek-aspek yang terkait dalam afeksi, personal dan faktor sosial. Temuan Wechsler ini mengidentifikasikan, selain aspek kognisi, aspek non-kognisi juga berpengaruh dalam mencapai keberhasilan hidup. Kematangan dan kedewasaan menunjukkan kecerdasan dalam hal emosi. Mayer, dalam Golemen (2000), menyimpulkan bahwa kecerdasan emosi berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman dari kanak-kanak hingga dewasa, lebih penting lagi bahwa kecerdasan emosional dapat dipelajari.

Komponen Kecerdasan Emosional
Steiner (1997) dalam Kukila (2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosional mencakup 5 komponen, yaitu mengetahui perasaan sendiri, memiliki empati, belajar mengatur emosi-emosi sendiri, memperbaiki kerusakan sosial, dan interaktivitas emosional. Cooper dan Sawaf (1998) merumuskan kecerdasan emosional sebagai sebuah titik awal model empat batu penjuru, yang terdiri dari kesadaran emosi, kebugaran emosi, kedalaman emosi, dan alkimia emosi.

Goleman dalam William Bulo (2002) secara garis besar membagi dua kecerdasan emosional yaitu kompetensi personal yang meliputi pengenalan diri, pengendalian diri, motivasi diri dan kompetensi sosial yang terdiri dari empati dan keterampilan sosial. Goleman, mengadaptasi lima hal yang tercakup dalam kecerdasan emosional dari model Salovely dan Mayer, yang kemudian diadaptasi lagi oleh Bulo (2002) yaitu pengenalan diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan kemampuan sosial.
Kecakapan terbagi kedalam beberapa kelompok, masing-masing berlandaskan kompentensi kecerdasan emosional yang sama, namun seperti yang dinyatakan Goleman dalam William Bulo (2002) resep untuk memiliki kinerja menonjol hanya mempersyaratkan kita kuat dalam sejumlah kecakapan tertentu, biasanya paling sedikit enam, dan kekuatan itu tersebar merata di kelima bidang kecerdasan emosional.

Pemahaman Akuntansi
Suwardjono (1991) menyatakan akuntansi merupakan seperangkat pengetahuan yang luas dan komplek. Cara termudah untuk menjelaskan pengertian akuntansi dapat dimulai dengan mendefinisikannya. Akan tetapi, pendekatan semacam ini mengandung kelemahan. Kesalahan dalam pendefinisian akuntansi dapat menyebabkan kesalahan pemahaman arti sebenarnya akuntansi. Akuntansi sering diartikan terlalu sempit sebagai proses pencatatan yang bersifat teknis dan prosedural dan bukan sebagi perangkat pengetahun yang melibatkan penalaran dalam menciptakan prinsip, prosedur, teknis, dan metoda tertentu.

Atas dasar definisi yang diajukan para ahli atau badan autoritatif (antara lain Grady, 1965 dan Accounting Principles Board, 1970), dalam Suwardjono (1999) akuntansi didefinisikan dari dua sudut: sebagai perangkat pengetahuan dan sebagai proses atau praktik.
Kedua definisi di atas dapat dijelaskan arti dan implikasinya dengan cara mengenali kata kunci yang terkandung didalamnya:
  • Perekayasaan penyediaan jasa
  • Informasi 

    Peneliti setuju dengan pendapat Suwardjono (2002) berkaitan dengan penggunaan istilah akuntansi. Istilah akuntansi merupakan suatu anomali istilah kalau digunakan untuk mengacu pada pengertian sebagai suatu bidang studi, untuk sementara masih digunakan istilah akuntansi dalam karya ini semata-mata untuk mengikuti tradisi dan bukan untuk membenarkan istilah tersebut.
    • Laporan keuangan kuantitatif
    • Unit organisasi
    • Bahan olah akuntansi
    • Transaksi keuangan
    • Pemrosesan data dasar
    • Pihak yang berkepentingan
    • Cara tertentu prinsip (akuntansi berterima umum)
    • Dasar pengambilan keputusan 

      Pendidikan tinggi mengadakan program pendidikan mengacu pola link dan match. Pengertian link and match yang dimaksud adalah keterkaitan antara produktifitas pendidikan baik mencakup kuantitas, kualitas, kualifikasi yang dibutuhkan dengan kebutuhan pembangunan, dunia industri, masyarakat maupun individu lulusan perguruan tinggi yang bersangkutan. Kenyataannya pasar kerja dan dunia kerja, tidak hanya membutuhkan lulusan perguruan tinggi yang semata-mata memiliki penguasaan akan ilmu pengetahun, tetapi dibutuhkan juga sejumlah kompensasi lain yang tidak berhubungan dengan ilmu pengetahuan secara langsung.

      The Institute Of Chartered Accountens Of Australia (ICAA) (1993), (Ward, 1996), dan juga Accounting Education Change Comission (AECC) yang dibentuk di Amerika Serikat untuk menindaklanjuti pernyataan The Bredford Comitee mengatakan pendidikan akuntansi setidaknya harus dapat mempersiapkan peserta didik untuk memulai dan mengembangakan keanekaragaman karier profesional dalam bidang akuntansi. AECC mengajukan rekomendasi diadakannya reorientasi fokus pendidikan tinggi akuntansi. Pada dasar AECC menyarankan sistem pendidikan akuntansi yang mampu menghasilkan lulusan yang utuh sebagai tenaga profesinal. Untuk itu diperlukan tidak semata-mata pengetahuan bisnis dan akuntansi, tetapi juga penguasaan keterampilan intelektual, interpersonal, dan komunikasi serta orientasi profesional.

      Sumber : http://www.akuntansiku.com/